Liberalisasi Adaptasi Ritchie
https://www.helmantaofani.com/2017/05/liberalisasi-adaptasi-ritchie.html?m=0
Ya, kita bingung melihat trailer film King Arthur: Legend of the Sword. Imaji kita mengenai kisah tersebut adalah pedang dan naga, orang-orang gondrong dan baju zirah, serta lansekap medieval dengan kastil dan mungkin lagu Kelt. Yang muncul malah protagonis berambut pendek, pakaian yang masih konteks dengan zaman kiwari, serta lagu Led Zeppelin (Babe I'm Gonna Leave You).
Sebetulnya melihat siapa yang ada di belakang film tersebut kita bisa menarik kesimpulan cepat. Guy Ritchie, yang namanya dikutip di film ini (from the director of "Sherlock Holmes" and "Lock, Stock, and Two Smoking Barrels"), bisa memberikan gambaran. Ritchie mendekonstruksi kisah Holmes menjadi film steampunk, berlatar Inggris era pos-industrialisme tetapi realisme akting dan dialog masa kini. Mungkin ada juga yang protes Robert Downey tidak tampak seperti Brit snob?
He purposely miscasts.
Bersiaplah untuk mendapatkan film di luar premis atau ekspektasi. Sama seperti trailer, King Arthur ini juga sama membingungkannya. Ia (masih) merupakan steampunk berlatar Inggris medieval, tetapi dengan liberasi cerita yang memasukkan fantasi, parodi politik, hingga gangster flick beraksen Cockney. Ia adalah Lock, Stock, and Two Smoking Barrels bercampur Inglorious Basterds dengan aksentuasi western dan kisah tentang legenda Raja Arthur.
Penonton yang berharap mendapatkan film "serius" mengenai setting bisa jadi kecewa. Penonton yang ingin menonton kolosal dan epos, boleh jadi kurang berkenan. Film ini peragaan apa yang membuat Ritchie hebat, Mengenai efek spesial (adegan aksi) dan time-warp, atau adegan yang mendahului timing cerita. Coba ingat model ini di Sherlock Holmes, ketika detektif Baker Street itu memaparkan deduksinya.
Charlie Hunnam, aktor kelahiran Newcastle, Inggris, berperan sebagai Arthur. Seperti di mitos, ia dikisahkan sebagai anak Uther Pendragon. Tidak ada Lancelot dan Guinevere hari ini, karena kisah di film ini bercerita mengenai bagaimana Arthur mendapatkan Excalibur, pedang mistis yang melegitimasi kekuasaannya atas Kamelot. Di sini Kamelot dibilang bagian dari Inggris. Ada juga London (bernama Londinium), lengkap dengan slum, gangster, dan dialek Cockney. Ini film yang kata "fuck" mendahului masanya. Tidak usah terlalu pusing dengan hal itu.
Jangan juga terlalu pusing mencari meja bundar, Merlin, Morgana, Sir Gawain dan sebagainya. Yang ada Jude Law, sebagai paman Arthur. Ia orang Inggris, yang meski dengan kostum mirip jas, wajar tanpa pengecualian kala ia duduk sebagai raja yang menggantikan Uther Pendragon. Tapi silahkan bingung dengan casting Astrid Berges-Frisbey sebagai penyihir yang bicara dengan aksen mirip Spanyol. Atau Djimon Honsou yang naik sebagai ksatria di antara orang-orang Briton. Ketika melihat setting Londinium, juga jangan mempertanyakan mengapa itu tampak seperti London hari ini. Ada orang Asia dan Eropa Timur. Ini adalah liberasi casting, sama seperti nasib kostum.
Oh ya, ada David Beckham.
Legenda Arthur dan Excalibur tampak hanya menjadi tunggangan Guy Ritchie untuk membuat steampunk berlatar medieval. Alurnya akan mematahkan segala ekspektasi mengenai latar dan jalan cerita. Ketika penonton berharap akan ada pertempuran kolosal, ia malah beralih ke heist-like guerilla.
Daniel Pemberton memberikan scoring kontemporer yang menarik. Sangat menyatu dengan adegan, seperti ketika ia memberi sampling bernafas pada adegan yang konteks. Tidak ada Led Zeppelin yang masuk ke dalam cerita, tetapi scene dengan latar lagu "The Devil and the Huntsman" (yang juga ada di trailer) tampak bad ass.
Film ini sudah tentu tidak akan masuk di kontestasi kostum terbaik Oscar. Dari poster filmnya saja Charlie Hunnam tampak seperti memakai bomber jacket. Tapi worry not, tetap ada baju zirah, pedang, panah, kapak, dan adegan kolosal. Jalan ceritanya juga tidak rumit, sehingga saya yakin penonton bisa menebak alur dalam 20 menit saja. Plot tidak menjadi bintang, tetapi memang film ini tidak pernah mencoba memberikan kompleksitas dan jalan cerita yang ruwet.
Film ini adalah tentang visualisasi, liberalisasi adaptasi, dan Guy Ritchie (kebetulan ketiganya berima).
Posting Komentar