Bermula dari Percaya
https://www.helmantaofani.com/2017/07/bermula-dari-percaya.html?m=0
Sekitar seminggu dari ujian tesis dan dinyatakan lulus, aku iseng nyoba lowongan sebagai desainer grafis Harian Kompas. Ndilalah diterima dan masih bertahan sampai sekarang. Ini artinya sudah duabelas tahun aku di Kompas, koran yang hari ini berwarsa 52.
Yang berkesan, Kompas ini sudah mempercayaiku sedemikian lama sejak pertama aku masuk. Lha gimana tidak, wong bocah ingusan pakai selembar surat keterangan lulus sementara diterima kerja. Sampai sekarang ya ngga pernah ditanyain ijazahku di mana. Huehehehe.
Tapi duabelas tahun ini, klise, ngga kerasa. Diselingi dua anak yang semuanya ngutang ke Kompas pas persalinannya, semua berasa kaya baru kemarin.
Kok rasanya baru kemarin, kurang ajar banget numpang ke seorang mahasiswa arsitektur Surabaya, yang namanya saja aku lupa, minta jemput di terminal Bungurasih, numpang mandi di kosnya, dan nganterin ke Jemursari untuk tes masuk pertama ke Kompas. Utangku ke sam Yogi Diwangkoro yang kekerabatan Pearl Jam kami membawa ke jejaring mahasiswa arsitektur di Surabaya.
Kok rasanya baru kemarin, di tes kedua ngadepin anak-anak desain grafis hebat Surabaya. Dari Petra dan ITS yang bawa portfolio mentereng. Ada yang berbentuk koper, ada yang berbentuk buku deluxe. Sementara aku cuman bekal pamflet yang dicetak di print laser hitam-putih di fotokopian belakang kampus UNS. Lembar-lembar nista ini diwadahi ke file holder transparan nan semenjana. Hancur hatiku melihat perbandingan portfolio yang dipamerkan, sampai dihibur oleh Nuki Adiati. "Tenang, psikotes ngga akan bisa disogok pake portfolio."
Lha bener lolos ke tes ketiga, wawancara. Aku pede waktu ditanya orang Kompas (belakangan ternyata Pak Didik, capo di capi tutti-nya HR Kompas) apakah nanti akan mengejar ambisi arsitekturku. Kujawab iya. Maklum, masih menggebu baru dua minggu setelah sidang mempertanggungjawabkan tesisku tentang Arsitektur Masa Depan. Jyan, kemaki tenan. Tapi kok ya lolos, ditelpon suruh tes kesehatan di Panti Rapih, Yogyakarta.
Di sana aku ketemu tiga orang. Semuanya melamar posisi copywriter kecuali aku. Kubilang sudah pasti diterima. Edyan po, Kompas membiayai sekian rupiah untuk me-rontgen kami segala demi calon karyawan. Tapi ternyata namaku provisional.
Di sisi user, Iklan Kompas Jatim, yang dipilih mbak-mbak cantik Suroboyo yang memang sejak tes aku naksir. Pura-pura tak titipin amanat buat ngeliatin hasil tes pertama dan kedua biar bisa sms-an dan tahu nomer henfonnya. Ini aku tahu belakangan, dikasih tahu kolegaku pas sudah kerja di Kompas Jatim.
Eh ya dasar takdir, mbaknya gagal tes kesehatan karena ditengarai suka dugem dan bermasalah di apanya gitu. Sudah dites dua kali, masih saja gagal. Suatu siang (ini akhir Mei) di kantin Arsitektur UNS aku ditelepon untuk bisa mulai kerja per tanggal 1 Juni 2005.
Modyar, tanggal 3-nya aku wisuda. Demi foto bertoga ini bapakku menyabung raga, membiayai kuliahku. Jadi, hari pertama kerja, tiba di Jemursari 64, hal pertama yang kulakukan adalah nego ke Manajer Iklan Kompas Jawa Timur, bosku, supaya aku bisa masuk mulai tanggal 5. Kurang ajar tenan, anyaran, baru masuk sekali, mokong.
Setahun probation sebagai Desainer Grafis, sikap mokong-ku mungkin makin menjadi. Sering telat hari Senen karena baru berangkat dari Solo jam 2 pagi demi bisa nongkrong di hik kapal ISI Solo bareng Arief Rinaldi. Aku ngga percaya diri bakal diterima jadi karyawan tetap. Yang yakin justru kameradku, mas Iwul Maulana, yang sampai ngajak taruhan televisi 14 inci. Kalau aku gak lolos, tv-nya buatku.
Juni 2006, surat cinta datang. Aku dilamar Kompas buat jadi karyawan tetap. Sebelum memutuskan ya, sempet kutelepon bapakku. Apakah ini berarti aku murtad selamanya dari cita-cita jadi arsitek? Bapak bilang istikharah, tapi kalau jalannya memang ngga jadi arsitek, urip yo mlaku terus. Life goes on. Sing penting nduwiti.
Sampai sekarang, aku temangsang di Kompas. Sudah duabelas tahun tapi ukuran segitu kaya telek lencung dibanding kolegaku yang mayoritas mengabdi di Kompas selama seperempat abad lebih. Tapi gak apa-apa, duabelas itu pauca sed bona.
Kenanganku di Kompas sudah terlampau panjang untuk dibuang. Yang tidak pernah kulupa adalah media ini memberiku kesempatan. Percaya dengan cah ndeso, ireng, elek, mbelgedes, tapi ngga suka dugem dibanding mbak-mbak desainer ITS yang ayu, enak dipandang, yang namanya ilang karena henfon Siemens Scorpionku raib sebelum dunia menemukan teknologi cloud.
Dari sebagian hidupku selama lebih dari sedekade ini aku menerima apa yang namanya dipercaya. Dari koran yang hari ini berusia 52 tahun. Semoga engkau tetap berani percaya pada orang-orang, beyond dari tampang dan kelihatannya. Semoga engkau senantiasa jadi kompas dalam kebersahajaan di dunia yang makin banal ini.
Dirgahayu Kompas!
Posting Komentar