Dekonstruksi Popularitas Spider-Man
https://www.helmantaofani.com/2017/07/dekonstruksi-popularitas-spider-man.html?m=0
Semua orang tahu dan kenal siapa itu Spider-Man. Untuk menyebut bahwa pria di balik kostum merah-biru itu bernama Peter Parker sudah seawam orang tahu Bruce Wayne adalah Batman.
Spider-Man yang saya kenal sudah berusia lebih dari tiga dasawarsa, semenjak mengikuti komik stripnya di Suara Merdeka yang dibawa pulang ayah dari kantor. Takdirnya, sampai hari ini, komik sama buatan Larry Lieber dan Stan Lee ini masih menjadi urusan sehari-hari di kantor, selama Kompas masih menayangkannya tiap hari.
Cerita di komik strip menampilkan Peter Parker dewasa, yang sudah menikah dengan Mary Jane Watson. Karakter ini juga sudah berkali-kali muncul dalam berbagai versi dan adaptasi yang membuat Spidey menjelma sebagai karakter superhero paling populer yang dimiliki Marvel.
Meski demikian, baru di Spider-Man Homecoming (rilis 5/7) karakter ini menyatu dengan Marvel Cinematic Universe (MCU). Terima kasih kepada Kevin Feige yang punya ide menggabungkan gado-gado superhero dalam MCU. Ia bergabung di jagad fiksi sama bersama Avengers, Guardians of the Galaxy, Daredevil, dan sebagainya yang tiap tahun menjadi hiburan bagi kita semua. Karakter seperti Iron Man, Captain America, atau Thor ini yang belakangan mulai terkerek popularitasnya.
Dalam Homecoming, latar berjalan dari apa yang ditinggalkan film Captain America: Civil War (2016). Peter (Tom Holland) menjalani "probation" agar bisa bergabung ke Avengers yang kini dipimpin oleh Tony Stark (Robert Downey Jr). Ia mendapatkan fasilitas teknologi kostum yang membuatnya bisa menjadi Spider-Man, superhero, dengan layak.
Mewujudkan jargon "The Friendly Neighborhood Spider-Man", aksinya berkutat di Queens, New York, dengan bergelut melawan kriminal teri. Aksi yang dianggapnya tidak akan mengesankan hati Stark. Hingga muncul Vulture (Michael Keaton), bandit kakap yang menggunakan teknologi Chitauri (Avengers, 2012) untuk membuat exoskeleton berwujud sayap dan aneka senjata berbahaya lain.
Inilah kesempatan bagi Spider-Man untuk leverage statusnya sebagai pahlawan nasional, supaya bisa sejajar dengan Iron Man. Tidak lagi menjadi jagoan lokal di Queens.
Tom Holland menjalani perannya sebagai Peter Parker seraya mengalami nasib akan dibandingkan dengan karakter yang dihidupkan Toby Maguire dan Andrew Garfield. Secara setting, ketiganya sama, mengambil latar SMA. Tetapi versi Holland ini tampak paling masuk akal sebagai bocah SMA yang naif dibanding Toby dan Andrew.
Kisah sampingannya juga lebih masuk di akal sebagai anak-anak SMA dibandingkan pembawaan Maguire yang gloomy dan ngenes, atau Garfield yang kelewat dewasa. Di sinilah kekuatan MCU untuk menciptakan kisah sampingan yang lebih menarik dan membumi. Realitas yang dibangun terasa wajar. Peter Parker bersama sahabatnya, Ned (Jacob Batalon), bertemu dinamika anak-anak SMA. Bolos, bullying, prom nite dan naksir perempuan cantik di sekolah. Ini bisa dibandingkan juga dengan kisah sampingan di film Ant Man (2015).
Di konteks rivalitas dua pemegang lisensi komik populer, MCU terasa lebih pintar mengolah cerita ketimbang DC yang juga tengah membuat jagadnya di sekeliling Justice League.
MCU, meski me-reboot Spider-Man juga memutuskan untuk tidak menceritakan origin-nya. Mereka tahu bahwa karakter ini sudah demikian dikenal sehingga tidak usah digambarkan lagi kekuatan Peter diperoleh dari gigitan laba-laba. Juga tidak dijelaskan mengenai kekuatan mutasi Spider-Man, sama awamnya dengan orang tahu Superman bisa terbang.
Tetapi harus dicatat juga potensi swing-raters yang mungkin bisa membuat approval penggemar lama Spider-Man berkurang. Ada satu dekonstruksi cerita yang baru ketahuan di akhir film. Tapi itu keputusan berani yang mungkin bisa memberi warna baru bagi generasi baru yang menggemari Spider-Man. Karakter ini sudah kelewat populer sehingga dibutuhkan terobosan agar orang kembali menunggu kemunculan Spider-Man.
Posting Komentar