Hakikat Pembuka
https://www.helmantaofani.com/2017/07/hakikat-pembuka.html?m=0
Sering saya dengar imam membacakan surat al Fatihah (kala salat) dan mengubah nada atau berhenti sejenak setelah "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in". Habis itu nadanya berubah hingga selesai.
Beruntung dulu ayahku sangat galak dan disiplin, memaksa anak-anaknya untuk hapal arti surat pembuka Al Quran itu. Ternyata, surat tersebut memang menerangkan ketergantungan kita kepada Tuhan.
Ada dua bagian yang dihubungkan dengan ayat "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" itu tadi.
Bagian pertama (baik yang berpendapat "bismillahirrahmanirrahim" masuk ke surat atau tidak) mengajarkan adab meminta sesuatu dengan merendahkan diri, dan meninggikan yang dimintai. Puji-pujian dan sebutan bagi Tuhan harus disebut. Tuhan semesta alam. Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Raja di hari pembalasan. Merendahkan diri, dan memuji sang pemberi itulah yang disebut menyembah.
Jadi, bila sudah berikrar hanya kepada-Mu kami menyembah, mulai sekarang, bila meminta sesuatu kepada manusia lain jangan pakai "taktik" ini. Tidak boleh merendahkan diri dan memuji-muji dengan niat agar diberi pertolongan. Di Islam, dasar segala dosa (mother of all sin) itu sirik.
Kepada Tuhan kita "nasta'in", atau memohon. Konsep agama memang cuma dua ini. Menyembah dan memohon. Lihat saja di semua agama. Hanya saja mungkin yang diminta berbeda-beda. Di Islam, ini yang menggariskan konsep "yaslamu", ternyata sudah disebut di Fatihah. Kita sejatinya hanya memohon satu hal.
Ditunjukkan jalan yang benar.
Satu hal saja, karena ayat selanjutnya adalah pokok penerang. Diterangkan menerangkan. Yaitu jalan orang yang diberi nikmat, bukan sebaliknya. Ini penting lho, karena Tuhan memang menyediakan jalan yang sesat juga selain jalan yang benar. Islam ini agama yang hakikinya demokratis. Mengapresiasi free will. Saya teringat ini ketika main ke Selasar dan mendapati pertanyaan dari pengguna, "mengapa Tuhan membiarkan Adam memetik buah terlarang?".
Jadi memang dari awal Tuhan sudah membentangkan banyak jalan. Kita bebas kok memilih. Tetapi tidak semuanya benar. Makanya, imam di Arab terutama, acap mengubah nada ketika masuk ke ayat "ihdina as shiratal mustakim".
Disediakan jalan yang banyak, tapi kita tidak tahu mana yang benar ini berkaitan dengan konsep waktu. Qada dan qadar. Semua baru ketahuan kalau kita sudah melaluinya. Tuhan menyediakan petunjuk, tetapi untuk beroleh (petunjuk) juga kita mesti kembali ke bagian pertama Fatihah itu tadi. Menyembah.
Tiap hari, tiap jam, tiap menit, kita dihadapkan pada persimpangan-persimpangan jalan. Dari dua pilihan abadi, yin and yang, iblis dan malaikat, tugas Raqib dan Atid, simbol dialektika sederhana, tugas kita sebagai manusia ya cuma mengambil satu di antara dua.
Jalan yang benar itu mestinya mendatangkan kesenangan (nikmat). Dan nikmat inilah tujuan kita semua hidup. Bukankah demikian?
Maka Tuhan kemudian berbaik hati menyediakan audiensi kepada kita untuk memohon lalu meminta ditunjukkan jalan. Minimal tujuhbelas kali sehari. Bisa lebih karena Fatihah juga bisa dibaca freewill. Ia lekat di semua salat sunat. Sujud, simbol menyembah, bisa hilang saat salat jenazah. Tapi Fatihah-nya ada. Surat ini adalah personal salvation, yang hanya ketika kita mati nanti baru tidak bisa merapalnya.
Ini yang kemudian marak kalau ada yang meninggal, atau teringat orang yang sudah mati kemudian dianjurkan baca Fatihah. Buat siapa? Ya buat kita.
Wallahua'lam.
Posting Komentar