Angan Jurnalisme Woles
https://www.helmantaofani.com/2017/09/angan-jurnalisme-woles.html?m=0
Saya ingat janji "muluk-muluk" dari sebuah majalah bernama Delayed Gratification. Ia mengusung genre bernama "slow journalism" dan bertekad hanya akan mengulas sebuah kasus atau fenomena yang sudah ada closure, ending, alias sudah tuntas.
Ini "muluk-muluk", jelas bertentangan dengan asas jurnalisme anget-anget gorengan negeri kita. Heboh mengabarkan mulanya, dengan breaking news yang bertubi-tubi. Di semua kanal, di setiap waktu. Jadi headline, topik pembicaraan, trending di medsos, tapi habis itu?
Diingatkan teman saya mengenai kasus Papa Minta Saham. Wuih, ketika terungkap udah macam skandal Watergate. Koran membuat cover khusus. Pendukungnya berantem di media sosial. Tapi kalau ditanya sekarang, Papa ngapain?
Ha wong kita biasa berkabar ngga tuntas kok. Atau paling ngga media ngga ngabarin tuntasnya kasus dengan jelas. Atau paling ngga lagi, malas mendokumentasikan kasus yang sudah tuntas. Jadi, mungkin kita butuh majalah macam Delayed Gratification itu. Sebagai dokumentasi kasus yang sudah tuntas.
Barusan saya menonton film "American Made" yang dibintangi Tom Cruise. Beda dengan film-film dimana om Cruise berpose miring dengan latar ledakan, yang ini lebih low-key. Di belakangnya ada sutradara Doug Liman yang mengangkat kisah pilot penyelundup di tengah konflik geopolitik Amerika Tengah tiga dasawarsa silam.
Tema serupa pernah diambil film "Kill the Messenger", intinya semakin maju jaman, semakin terbongkar juga peran Amerika Serikat ngerecokin isu internal negara-negara lain. Kadang mengaburkan hukum. Seperti tagline American Made, ngga salah kalo mihak yang bener. Dua film itu diambil dari dokumentasi kasus bisnis trifekta: senjata, uang, dan narkoba yang melibatkan CIA, kartel narkoba, serta milisi bersenjata Amerika Tengah.
Tadinya saya berniat me-review film ini, tapi sepertinya akan segera turun layar. Dan mumpung kita ada di anniversary meninggalnya Munir, yang teringat malah kasus-kasus tak tuntas. Hal yang umum bin jamak di negeri kita. Apalagi sekarang membuat hipotesa kasus bisa diperkarakan dengan pasal hate speech, ITE, atau perbuatan tidak menyenangkan.
Tapi alangkah banyaknya film-film bagus yang dihasilkan dari dokumentasi kasus besar nan tuntas. Tadi menyinggung Watergate, tentu ingat dengan film All the President's Men yang legendaris. Di status sebelum ini juga menyinggung JFK karya Oliver Stone. Adapula Spotlight, upaya tekun Boston Globe membongkar kasus pelecehan seksual. Banyak pula film-film perang, macam Jarhead, yang kadang bersumber dari artikel investigatif media.
CIA sudah sering dikuya-kuya dalam naskah dan film di Amerika. Lembaga inteljen itu mungkin sudah dipersepsikan konyol. Kasus korupsi di Kepolisian juga kerap jadi tema. Di sini?
Belum basi juga kasus orang dipolisikan karena bercerita dan membuat analogi. Sebetulnya sebuah proses ilmiah dan logis pula. Mungkin itu sebabnya kasus-kasus di sini tak kunjung tuntas, lantaran sabar menanti aparat bekerja dan membuka untuk umum. Peran swasta minim. Mungkin disengaja. Mungkin juga tdak (swasta-nya yang ngeper).
Mungkinkah (ah elah, Stinky banget) ada celah untuk membuat kompendium karya jurnalistik woles di sini? Saya ingat, upaya tuntas untuk menjelaskan secara tuntas dari sebuah kasus berbentuk buku yang dulu wajib dipunya semua pegawai negeri. Namanya Buku Putih G30S/PKI.
Ilustrasi: Garcia Media
Posting Komentar