Belajar Jadi Orangtua
https://www.helmantaofani.com/2017/09/belajar-jadi-orangtua.html?m=0
Dua hari kemarin "dipaksa" sekolah anakku untuk ikut kelas parenting. Ini penting disebutkan dengan kata paksa, karena acaranya berlangsung di akhir pekan, jam 7 pagi sampai jam 6 sore, DUA HARI!
Yakin sebagian peserta, orangtua siswa, bersungut seperti aku karena akhir pekannya dirampas. Akhir pekan di sini mengacu pada kegiatan super tidak produktif yang ditandai dengan gogoleran sepanjang hari sambil main henfon.
Terpaksa kami (aku dan istriku) ikut kelas tersebut, yang diisi oleh Ihsan Baihaqi. Ternyata, setelah mengikuti kelasnya, kok malah jadi menarik ya. Ketertarikan yang pertama tentu karena pengajarnya sangat enak membawakan materi. Dengan joke-joke yang menampar ketidakbecusan kami sebagai orangtua.
Salah satu yang diingatkan adalah seringnya kita membatasi anak untuk mengakomodasi kepentingan kita, yaitu: MALAS. Ya kaya tadi itu, seolah gogoleran ngga mandi sampai sore adalah hakikat libur karyawan. Hal lain yang diingatkan juga tentang panduan-panduan parenting ini ternyata cukup banyak yang sudah dipesankan agama.
Tajuk dari acara ini adalah "Menjadi Orangtua Saleh Sebelum Meminta Anak Saleh" (kurang lebih begitu). Masuk akal sih, serta seharusnya materi seperti ini didapat sebelum pasangan mempunyai anak. Kami sudah mempunyai dua anak, 8 dan 6 tahun. Agak jump-start, oleh karenanya sering "tertampar" dengan berbagai contoh kasus di acara ini.
Then, jadi tahu juga kalau tantangan sesungguhnya jadi orangtua itu utamanya akan sangat menanjak kala anak kita beranjak remaja (12 tahun ke atas). So, masih ada waktu juga bagi kami berbenah menyiapkan diri dan memperbaiki beberapa pola asuh yang keliru sebelumnya.
Ada untungnya juga dipaksa oleh sekolah anakku untuk ikut parenting class. Menjadi pengingat bahwa segala sesuatunya tidak selesai dengan kalkulasi materialistis.
Oya, ada yang analog dengan catatanku di buku Labbaik, tentang siapa sih yang wajib menjaga anak? Di bab yang kuberi judul "Siapkan Penyelamat Akhirat" itu berisi pengalamanku membandingkan didikan ayahku dan aku.
Kemarin pak Ihsan mengingatkan kewajiban ini, serta menyindir para ayah yang bersandar pada pepatah "ibu adalah madrasatul ula (sekolah awal)". Ia (pak Ihsan) mengutip (salah satu) surat favorit saya, Lukman. Di situ DITEGASKAN siapa seharusnya yang bertanggung jawab menjadikan anaknya beragama dengan baik, berbuat baik menjauhi kejahatan, dan tidak sombong.
Aku.
Posting Komentar