Berlekas-lekas, Bermalas-malas
https://www.helmantaofani.com/2017/10/berlekas-lekas-bermalas-malas.html?m=0
Secara historis, Jerman dan Italia seharusnya KFAIN saja. Tidak ada sejarah permusuhan atau rivalitas apple to apple antara keduanya. Benar bahwa imperium Romawi diratakan oleh kaum Goth. Tapi yang merasa orang Romawi paling tinggal mereka yang tinggal di Roma. Selebihnya woles.
Tapi dua negara tersebut terlibat rivalitas sengit yang muncul dari akar budaya nan kontras. Naif kalau menyebut orang Italia pemalas, katakan saja mereka sangat menikmati hidup sesuai dengan semboyan “il dolce far niente” yang mereka anut. The art of doing nothing. Atau woles dalam keseharian.
Hidup mereka less stressful, bisa lebih fokus bagaimana cara menghasilkan satu scoop gelato enak di hari itu dibanding memikirkan metode untuk memproduksinya dalam jumlah banyak dan mencari stabilitas rasa. Tebak siapa yang berpikir seperti kategori kedua? Yak, Jerman!
Bukan gugatan historis yang meletakkan genetik, iklim, dan sebagainya, tapi entah kenapa di Jerman mereka seperti tertempa untuk berpikir mekanis, metodis. Itu resep yang dulu membangkitkan mereka melalui tiga jilid nasionalisme, tapi juga sebetulnya menghancurkan mereka juga. Fleksibilitas yang kurang, kaku, dan terlalu metodis membuat mereka cenderung “ngambek” dan memilih restart. Membangun lagi dari scratch.
Saya teringat komparasi dua negara (atau kultur) gara-gara di Quora ada yang bertanya mengapa hidup di Singapura itu membuat stres?
Paralel bisa kita katakan juga mengapa hidup di Jakarta lebih melelahkan ketimbang di kampung?
Saya pernah mengalami suasana yang kurang woles di Singapura. Iya, ini generalisir. Ceritanya kami sedang makan di kedai, lalu anak saya (autistik) menumpahkan makanan. Sigaplah saya membereskannya. Mengambil tisu, mengelap lantai, dan membersihkan sisa makanan.
Pemiliknya datang, saya pikir akan membawa lap atau apalah. Tapi dia menyempatkan beranjak sebentar dari meja kasir untuk menegur saya bahwa tidak boleh mengotori tempat.
Lain waktu di negara yang sama, kami menginap di sebuah shophouse (ruko antik) yang kamarnya cukup luas untuk ditempati sekompi pasukan. Saya membawa istri dan dua orang anak. Saya kemudian nonton konser, dan pulangnya bawa “oleh-oleh” kerabat yang bersua di venue konser. Tahu bahwa ia tak punya tenpat menginap, saya tawarkan ia untuk menginap di kamar kami. Esoknya ia akan ke bandara untuk pulang ke Indonesia.
Saya pikir hal itu wajar, karena toh tidak melanggar norma di Indonesia (dia kerabat, laki-laki, plus join bersama kami yang bawa separuh kompi). Tapi setelah mengantar kerabat ke pinggir jalan untuk mencegat taksi, saya diomeli pemilik penginapan. Secara aturan nggak boleh, dan mestinya saya kasih notifikasi ke mereka. Halah.
Kejadian itu membuat saya membandingkan mentalitas yang ada dalam satu negara itu memang bisa berbeda. Beda sikap, beda standar woles-nya, tak peduli jiran atau bukan. Hidup di negara maju juga menuntut sikap yang sama. Tunduk kepada norma yang normatif, tapi membuat kita bisa berpikir dan bertindak lebih mekanis, kalkulatif, lalu kala gagal akan mudah putus asa karena menganggap dunia mereka seperti bangunan lego yang ditabrak bayi lima tahun. Hancur berantakan.
Di sisi lain, tinggal di negeri yang permisif, woles, dan gemah ripah, membuat mental lebih lentur, fleksibel, NRIMO, dan normanya juga berdasarkan asas kewajaran. Inilah negeri yang mayoritas penduduknya menerima dogma “innamal a’malu bin niyat”. Yang penting niatnya. Jadi ngga heran juga kalau banyak yang nggak kelar, karena yang penting udah niat.
Tapi negeri ini pula yang menolerir kegagalan, lebih sehat bagi mental saya yang menganggap perjalanan hidup itu sepotong-sepotong, dan kita bisa berbelok sesuai dengan keadaan. Mengutip jargon anak jaman now, YOLO. You only live once. Gagal ya woles, mulai lagi, ngga perlu clean slate, kalau perlu ambil jalan lain.
Apalagi saya sebagai orangtua dengan ABK, bisa gila memikirkan kondisi anak yang boro-boro calistung, ngomong saja masih "babababa". Tantangan terbesar saya adalah norma, yang bahkan di negeri permisif ini masih sering bermasalah. Norma kewajaran dan perilaku, bagaimana pula kalau itu menjadi denda dari berbagai kanon peraturan negara maju?
Lucu juga mulai membandingkan standar maju dan tidaknya diukur dari penerapan norma. Seperti yang dibilang di Quora, mengapa Singapura itu bikin stres, padahal ia adalah "negara berkembang". Yang nanya orang Eropa sepertinya, dia menganggap hidup di negara berkembang itu woles, dan di negara maju itu stres. Memang sih, stigmanya demikian, Italia itu negara berkembang di Eropa, dan Jerman adalah simbol kemajuan.
Ada studi menarik di Cross Cultural Psychology yang dirilis Business Insider mengenai kecepatan atau pace yang menjadi indikator hidup di satu tempat. Penelitian menunjukkan Jepang dan negara Eropa Barat sebagai negara yang cepat dan cekatan. Apa-apanya lekas, produktif, dan individualis. Sementara di negara berkembang kebalikannya. Hasil riset juga menunjukkan negara dengan iklan dingin cenderung lebih lekas dibanding sebaliknya.
Negara-negara lekas ini membawa konsekuensi juga dengan penyakit yang acap dijumpa adalah penyakit jantung koroner dan stres.
Paralel mulai bisa menarik garis merah “friksi” orang Italia dan tetangga tedesci mereka. Orang Italia melihat orang Jerman terlampau kaku, dan sebaliknya orang Jerman memandang orang selatan ini kampseupay (astaga, istilah lama!), yang ngga berprospek di kemudian hari. Lalu tinggal kita yang melihatnya mau mengambil ceruk yang mana?
Lalu, bagaimana kita menentukan pace atau kecepatan hidup kita sendiri? Orientasinya apa? Mekanis berkecukupan, atau alon-alon asal kelakon? Dua-duanya punya konsekuensi.
Asal jangan "alon-alon asal kelon".
Foto: Today Online
Posting Komentar