Nirvana Versus Pearl Jam (Lagi)
https://www.helmantaofani.com/2017/11/nirvana-versus-pearl-jam-lagi.html?m=0
Nirvana versus Pearl Jam? Ini dipicu dari posting Vice yang cukup hangat disambut di forum Pearl Jam Indonesia.
Here we go again.
To put this simple, Nirvana itu seperti The Beatles, Sex Pistols, atau Ramones. They put simplicity, honesty, and brilliance. Lagu mereka sederhana yang membuat jutaan anak muda mengangkat gitar di usia awal. Boleh dibilang lagu-lagu Nirvana jadi kurikulum genjreng di tongkrongan. Ini cinta pertama yang tidak mungkin dilupakan.
Meanwhile, Pearl Jam itu seperti The Doors, The Clash, atau The Who. Mulai ada kompleksitas musik dan lirik. It is beyond tongkrongan. Mesti ngerti lirik, konsep, atau kord EMajAdd3 dan sebagainya. Yang kaya gini ini soulmate, teman hidup. Sampai usia 35 tahun ini saya merasa masih relate dengan “creating walls to call your own” (All Those Yesterdays, Pearl Jam).
Complexity is not for everybody. Kalau bicara dimensi horisontal, sudah jelas influens Nirvana (dibanding Pearl jam) pasti lebih lebar. Haqqul yaqiiin! Taruhan semua koleksi vinyl Pearl Jam-ku. Tanya semua orang yang pernah hidup di dekade 90-an siapa itu Kurt Cobain, atau di-challenge genjreng “About a Girl” yang cuma E ke G.
Tapi kalau ngomongin soal longevity, itu dimensi vertikal. Sampai seberapa jauh seorang penggemar mau ngulik (passionate), faktor kompleksitas mulai masuk. Penggemar musik progresif yang saya kenal hampir semuanya ngulik. Memang sih ada yang ngaku suka Pink Floyd karena pakai kaos Dark Side of the Moon (itu lho, yang segitiga spektrum warna) tapi ngga tahu dari lagu apa frase itu diambil.
Dus, sudah tentu jumlah orang yang passionate itu sedikit. Trus, seperti analogi soulmate, banyak influence yang kita “take it for granted”. Kadang kita menihilkan influens atau kebaikan pasangan hidup dan melihat mantan selalu lebih terkenang kan? Sahih banget potongan lirik “you don’t know what you got ‘til it’s gone” dari lagu Big Yellow Taxi.
Nirvana membuat anak muda mengangkat gitar dan nyanyi. Pearl Jam merevolusi model bisnis industri. Kurt Cobain menanamkan percaya diri kepada pemuda-pemuda parau dan fals. Eddie Vedder membuat penggemarnya googling mengenai West Memphis 3.
We are homo nostalgic. Kita jago me-reka fantasi dunia yang ideal sesuai kemauan. Kurt Cobain dan Nirvana tepat ada di sana, karena ia tidak akan pernah menua. Ia tidak akan pernah dewasa. Nirvana tidak akan pernah membuat album semi-country yang membuat penggemarnya patah hati. Bayangan kita akan Nirvana berhenti tepat di titik ideal.
Mungkin sesuai keinginan Cobain.
Sementara realita yang kita jalani berubah. Kita berubah. Makin tua, reyot, kepikiran mengenai hutang (okay, ini saya), dan anak-anak yang makin dewasa. Ini kenyataan yang mungkin tak seindah bayangan ketika muda dulu. Kirain kalau menikah itu bisa having sex tiap hari tanpa pengaman.
Pearl Jam is the perfect soundtrack to moving on. Ketika lagu teenage angst macam “trouble souls unite, we got ourselves tonight” (Leash) sudah tidak relevan, mereka mengeluarkan lirik mendengarkan sirine ambulan yang kelak akan menjelang. It’s hard fact, ngga enak. But it’s reality.
Influens yang pahit semacam itu biasanya kita buang. We despise them. Seperti kalian yang menyembunyikan foto pasangan hidup agar dikira masih available tapi mapan.
Ngga ada yang meng-credit “that” vedderesque baritone. Ngga ada yang akan bilang pengaruh manajemen Pearl Jam yang menjadikan tur dan konser sebagai main revenue sekarang diikuti band-band idola kalian. Tahun 2000, ketika Disc Tarra masih jaya, Pearl Jam sudah jadi touring band, merilis butleg resmi, mencatat arsip setlist, main 70 kali dalam setahun. Sekarang seperti itu juga pakem band-band besar.
Filantropi dan aktivisme juga jadi sampingan musisi. Sepanjang saya amati ketika website Pearl Jam masih bernama Synergy (1997), sudah ada tab “Activism”. Vitalogy Foundation circa 1995 juga masih eksis sekarang, fans menghimpun dana untuk disalurkan ke LSM regional. Sekarang jadi model pengelolaan fans club juga, diikuti oleh band-band idola kalian.
It’s pseudo-influence. It is in your sub-conscious. Butuh Freudian slip untuk mengatakannya.
So, back to contention. Without a doubt, Nirvana obviously unanimously has wider influence. It’s crazy to despise that “Smells Like Teen Spirit” as the anthem of the ‘90s.
End of discussion.
1 komentar
Promo Bola:Bonus Deposit 10% terbatas bagi pendaftar baru. Mari bergabung bersama agen piala dunia 2018 terpercaya : www.juniorbola.com
Ayo daftarkan diri anda di www.junorbola.com dan nikmati berbagai bonus menarik Piala Dunia 2018.
Add contact kami BBM : d8c328fc Whatsapp : +62-821-6835-2486 Line: juniorbola
Posting Komentar