Pragmatisme Pembuat Wine
https://www.helmantaofani.com/2017/11/pragmatisme-pembuat-wine.html
"Sepakbola itu dimainkan dengan kepala. Kaki hanyalah alat." - Andrea Pirlo
Andrea Pirlo lahir sebagai aristokrat. Anak orang kaya, petani dan pembuat wine dari Brescia. Prestasi akademiknya mentereng, dan sebaliknya (normalnya) ia tidak terlalu berbakat di atletik. Ia digadang menjadi penerus bisnis anggur orangtuanya. Jalur akademik, lalu menuntaskannya di magister bisnis sebelum mengambil alih ladang anggur dan pengolahannya.
Andrea kecil ikut tim sepakbola sekolahnya agar mendapatkan teman. Ia jarang bicara, penyendiri, dan sering dirundung. Ternyata lapangan hijau, selain ladang anggur, bisa menjadi pelampiasannya. Ia bisa berkreasi dengan bagus di lapangan 40x60 meter. Dipasang sebagai penyerang, menghasilkan gol-gol ajaib dari kaki kanannya.
Selepas sekolah menengah, kontrak dari klub Brescia datang. Di lapangan 50x100 ia masih berkilau. Mencetak gol indah dan asis bagi rekannya yang mendatangkan debut profesional pada usia 16 tahun, debutan termuda Brescia. Melangkah ke lapangan 60x120, rata-rata dimensi lapangan profesional Italia, kelemahannya terlihat. Ia tidak mau berlari.
"Usai pertandingan, denyut nadi Pirlo terlihat seperti orang yang baru saja berjalan di piazza," kata fisioterapis Brescia.
Oleh karena itu, pelatih Brescia, Mircea Lucescu, hanya memainkan Pirlo di penghujung laga. Ketika pemain lain sudah lelah, dengan demikian kecepatan (atau kelambatan) larinya bisa sama dengan lapangan. Tapi Lucescu percaya penuh dengan bakat Pirlo, sehingga ketika ia diboyong ke Inter, Andrea juga diangkutnya.
Kini Pirlo harus menghadapi kompetisi dengan pemain-pemain berkelas di Inter. Waktu itu, tahun 1998, untuk mendapatkan menit bermain saja sudah perjuangan yang sangat keras. Ada Roberto Baggio, Youri Djorkaeff, Ivan Zamorano, atau Alvaro Recoba yang harus ia sisihkan untuk bisa bermain dengan Ronaldo Luis Nazario Lima. Inter tersendat, Lucescu hengkang, dan Pirlo makin terpinggir. Ia merantau ke Reggina (sukses) dan balik ke Brescia bersama Carlo Mazzone dan Baggio.
Di buku biografinya, Pirlo menyebut bahwa Carlo Mazzone adalah pelatih pertama yang memainkannya sebagai gelandang bertahan. Dengan segala hormat, adalah Carlo Ancelotti yang membawa renaisans ke bakat Pirlo, terutama kemalasannya berlari. Mazzone memegang Pirlo di Brescia selama separuh musim (10 partai di Serie A). Benar bahwa ia tidak bermain sebagai penyerang, posisinya mulai mundur sebagai gelandang serang dalam formasi 3-5-2 saat itu bersama Jonathan Bachini dan Andres Yllana.
Pirlo juga dibeli Milan dari Inter untuk diplot sebagai gelandang serang. Dan ia memang dimainkan sebagai posisi itu, dalam 4 partai di paruh musim debutnya bersama Rossoneri. Pirlo dibeli oleh Fatih Terim sebagai cadangan playmaker Rui Costa yang baru didatangkan dari Fiorentina.
Baru ketika Terim dipecat dan digantikan Ancelotti di paruh musim ia mendapatkan menit bermain yang signifikan. Ia bermain di 15 dari 18 laga paruh akhir Serie A musim 2001/2002 sebagai gelandang bertahan menjalani peran Fernando Redondo yang tak kunjung sembuh dari cedera. Titah Ancelotti simpel, ia bermain pertiga lapangan, antara garis tengah dan kotak pinalti. Bedanya, bukan kotak pinalti lawan tapi tim sendiri. Dengan demikian, limitasi atletisnya bisa teratasi.
"Andrea tidak bertugas untuk memberikan umpan panjang. Ia harus mengalirkan bola, memindah posisi. Saya akan mengembalikan bola kepadanya untuk dialirkan ke sisi lain," kata Clarence Seedorf via Instagram.
Dalam skema Ancelotti, awalnya, Pirlo tidak dikenal dengan trademark umpan panjang ke belakang garis pertahanan lawan. Pirlo harus mengalirkan bola untuk membuat alternatif serangan. Itu sebabnya raihan asis di musim 2002/2003-nya kosong. Ia malah membuat 9 gol, rata-rata dari tendangan pinalti. Ketenangannya dimanfaatkan Ancelotti sebagai algojo pinalti utama skuad yang memiliki Rui Costa, Rivaldo, Shevchenko, Seedorf, dan Inzaghi.
Pirlo baru mulai dipercaya sebagai pengirim umpan panjang langsung ke kotak pada musim 2006/2007. Milan, kala itu, bermain dalam skema 4-5-1. Pirlo perlu mengirim bola direct ke Inzaghi atau Kaka. Pada posisi inilah inovasi Ancelotti kemudian membuat posisi Pirlo jadi legenda. Peran yang sama ia jalani untuk tim nasional Italia dan kemudian Juventus di bawah Antonio Conte.
Enambelas tahun kariernya dikenang dengan posisi ia bermain di pertiga lapangan. Peran yang dijalani dengan penuh ketenangan.
"Pagi setelah briefing, saya tidur. Siangnya saya bermain Playstation sampai sore. Malam harinya saya berangkat dan bermain di final Piala Dunia," kata Pirlo mengenang apa yang ia lakukan sebelum pertandingan yang memberinya Piala Dunia pada 2006.
Kunci suksesnya, menurut Pirlo di buku biografinya, ia hanya berpikir mengenai bola saat di lapangan. Tidak ada overkomplikasi, atau stres berlebih. Di luar itu, ia lebih tertarik untuk membuat ramuan cocktail atau mencicipi wine. Di Brescia, ramuan cocktail yang diberi nama "The Pirlo" ditahbiskan sebagai cocktail terbaik oleh New York Times tahun ini.
Buku biografi Pirlo bukanlah material layak adaptasi untuk layar film. Ia tidak punya kisah dramatis, seperti biografi Zlatan Ibrahimovic. Kisahnya juga tidak diberkati cerita yang eksotis seperti buku Guillem Balague yang mampu membuat alur dramatis pada kisah Josep Guardiola atau Lionel Messi. Ia bertutur datar saja, karena menurut Pirlo, berkah terbesar dalam hidupnya adalah segala sesuatunya berjalan dengan lancar.
Ia suka tertawa melihat para pakar menganalisa dengan berlebihan keputusannya untuk mengirim "no-look pass" kepada Fabio Grosso alih-alih menembak di semifinal Piala Dunia 2006. Atau over-analisa mengenai tendangan panenka-nya atas Joe Hart di Euro 2012.
"Saya melihat ia (Hart) membuat gestur sebagai psy-war. Saya hendak memberinya tendangan keras ke kanan. Ketika saya mulai berlari, ia sudah bereaksi. Jadi saya balik memberinya psy-war dengan mencungkil bola," kenang Pirlo.
Ia bukan tipe traumatis. Pirlo pernah gagal memalukan dengan panenka-nya ke gawang Barcelona semasa berkostum Milan. Tapi di muka gawang Joe Hart ia tidak ingat momen semacam itu. Sikap dinginnya juga ditunjukkan dengan tidak membawa emosi ketika pindah setelah 400 partai bersama Milan ke Juventus. Ia tetap merayakan golnya ke gawang Milan pada 2013.
Tahun ini Pirlo memutuskan gantung sepatu. Tentu orang akan mengenang kembali rekaman-rekaman indah yang pernah dicapainya. Umpan panjangnya ke Roberto Baggio. Pinalti gagalnya ke gawang Jerzy Dudek. Redemption tendangan pantulnya ke Liverpool. Highlight permainannya di timnas Italia, dan seterusnya.
Ketika merefleksi kembali rekam jejaknya, adalah luar biasa ia mengatur hidup dari keputusan-keputusan sepersekian detik sebelum terjadi. Sesungguhnya Pirlo adalah definisi sahih dari pragmatisme. Tidak tercerminkan dari tipe filosofer seperti Pep Guardiola. Tidak seperti judul bukunya, "Penso Quindi Gioco" yang menganalogikan seolah-olah ialah Rene Descartes sepakbola. I Think, Therefore I Play.
Andrea pada dasarnya hanya bertanggungjawab pada keputusannya memilih menjadi pebola dibanding meneruskan bisnis wine orangtuanya.
Posting Komentar