Protagonis Arsitektur Columbus
https://www.helmantaofani.com/2017/11/protagonis-arsitektur-columbus.html
Kebiasaanku kala pelesir adalah memotret bangunan. Ngga ada fotoku di sana. Aku senang dengan bangunan, arsitektur, lansekap, tempat, apapun, sehingga mereka layak mendapatkan frame sendiri. Gambar yang biasa jadi latar (background), aku jadikan foreground.
Buatku bangunan yang baik punya jiwa. Memancarkan maksud dari penggagasnya. Kehidupan di dalamnya. Atau masa yang telah melampauinya. Ragam cerita terperangkap di dalamnya. Itulah mengapa upaya seluruh dunia untuk membuat Venesia kedua akan sia-sia. Karena ada cerita 15 abad yang tidak bisa dipersembahkan di Makau, Singapura, atau Amsterdam. Ketika Venesia-nya Makau berumur 3 abad, guratan tembok Venesia sudah menjumpai 18 abad.
Columbus, kota di Indiana, AS memutuskan untuk bergerak berbeda. Membuat penanda sendiri. Kota ini baru "ramai" mulai dekade 1950-an, ketika ekonomi mulai bergerak. Orang-orang dari negara bagian Indiana hingga kota metropolis terdekat, Chicago, mulai membuka usaha mereka di Columbus.
Selama empat dekade, ekonomi bergerak, tetapi populasi Columbus tidak. Rata-rata penghuni kota hanya hadir pada siang hari, sorenya mereka menjadi penglajo (commuter) ke kota-kota sekitarnya. Fenomena ini coba diatasi dengan tata kota yang berambisi menjadikan Columbus sebagai Mekah-nya arsitektur modern. Arsitek kenamaan mulai mengisi kota ini dengan sumbang pikiran mereka.
Mungkin butuh 1-2 dekade lagi untuk melihat bagaimana Columbus bernasib. Tetapi di dekade kedua milenia ini, kota sudah mulai berbentuk. Objek arsitektur mulai menjadi bagian integral. Pohon dan hijau-hijauan yang dulu jadi bagian sketsa sudah tumbuh betulan sehingga desain menemui omnipotensinya. Tur-tur arsitektur kota menjadi promosi wisata unik kota ini. Konon, populasinya juga membaik hingga 40.000 lebih jiwa tercatat ber-KTP Columbus.
Aku membuat pengantar di atas panjang lebar di atas untuk mengenalkan unsur ekstrinsik yang jadi foreground dari film berjudul Columbus (produksi 2017, disutradarai Kogonada). Kisahnya berlatar kota Columbus, mengenai dua orang yang terpaksa menjalani jeda dalam rencana hidup mereka karena birul walidain, atau berbakti pada orang tua.
Casey (Haley Lu Richardson) mesti menunda mimpinya jadi mahasiswa arsitektur. Ibunya butuh perhatian agar tidak kembali ke narkoba. Ia tak mungkin kuliah ke luar kota meski sebagian besar teman SMA-nya meninggalkan Columbus. Minatnya terhadap arsitektur masih dinyalakan dengan beberapa kali ekskursi atau sekadar nongkrong kontemplatif di depan bangunan-bangunan keren Columbus.
Jin (John Cho) anak dari arsitek terkenal di Columbus. Ia memutuskan untuk tidak jadi arsitek dan bekerja di Korea. Kali ini ia mesti kembali ke Columbus, lantaran ayahnya mengalami koma. Di kota ini ia diingatkan skeptisismenya atas arsitektur yang mengalienasi diri dan ayahnya. Motivasi itu rupanya yang membuat Jin ogah meneruskan tongkat estafet ayahnya.
Jin dan Casey bersua dalam hubungan platonis. Keduanya berbeda usia, dan memang terlihat. Selain kondisi mereka dan orangtua, satu hal lagi menjadi penghubung, yaitu objek arsitektur di Columbus. Bangunan-bangunan itu menjadi katalis kebutuhan spiritual Jin dan Casey sehingga mereka memutuskan untuk ekskursi atau mendatangi satu per-satu objek yang ada dalam senarai Casey.
Sejak awal, film ini menggunakan sudut pandang latar sebagai foreground, sedangkan manusianya sebagai latar. Sinematografer Elisa Christian piawai sekali mengambil sudut gambar yang statis, mewakili cara pandang arsitektural. Adegan dilihat dari komposisinya terhadap bagunan. Sebagai contoh, porsi gambar orang yang diperlihatkan melaui cermin yang ada di dalam ruangan. Atau posisi dua orang yang ada di ekstrim kiri bawah untuk memberi perhatian pada menara dengan jam yang tidak simetris.
Personalitas dari tiap bangunan juga dipancarkan melalui narasi yang wajar. Konsep transparansi arsitektur modern melaui sebuah bangunan yang didominasi kaca (The Republic, kantor usaha penerbitan koran, didesain oleh Myron Goldsmith) dipaparkan dalam sebuah adegan. Transparansi yang tidak berbatas fisik, tetapi juga keterbukaan atas segala fakta di dalamnya yang tak bisa disembunyikan. Ia turut berperan di dalam titik balik cerita film.
Gambar di film ini diambil dengan sangat hati-hati. Menunggu momentum dan memancarkan superioritas arsitektur atas manusia. Beberapa bangunan tetap indah tanpa manusia, sebagai pesan subtil yang ingin disampaikan. Manusia tidak melulu mempengaruhi benda mati, pada prinsip arsitektur, akan terjadi katalis di mana hal sebaliknya terjadi.
Columbus digambarkan tengah menemui titik balik tersebut. Ketika benda-benda arsitektural di dalamnya mulai menjalani peran masing-masing yang menghidupi kota. Transformasi katalis ini yang menjadi inti cerita, disampaikan dengan sudut pandang kota dan bangunan dalam sebuah film yang bernas. Kisah ini bahkan seperti disimpulkan dengan gambar struktur batu bata yang tidak saling bertemu dari bangunan Balai Kota Columbus (karya Edward Charles Bassett).
Melihat film ini, buatku, seperti membawa ke dialog yang kulakukan dengan objek-objek arsitektur. Aku masih ingat pertama kali terpaku dan duduk diam “meruang” di Sendang Sono. Romo Mangun menyusun amfiteater dengan menyusun paving blok dalam formasi yang tidak wajar. Tidak ada narasi yang gamblang mengenai fungsi dari benda-benda tersebut, tapi dalam kebersahajaan ia sudah membuka dialog dengan apresiatornya.
Waktu itu aku berada di Sendang Sono untuk mata kuliah fotografi arsitektur. Normalnya, arus utama fotografi saat itu tengah berkiblat pada tren antroposentris. Objek buruan pasti mengandung manusia. Ini masih terjadi hingga hari ini, menyimak kasus-kasus pelanggaran privasi biksu yang berdoa di Borobudur. Tapi untuk yang doyan arsitektur, kehadiran struktur, detail benda mati saja sudah cukup.
Menyimak feed Instagram rekan-rekanku yang arsitek (atau punya minat), kadang mereka mengambil foto tembok, atap, sambungan talang, dan sebagainya. Absurd bagi umum, tapi aku bisa mengerti apa yang hendak mereka sampaikan.
Elisa, sinematografer di film Columbus, berkisah dalam frame yang sama. Sudut yang sama digunakan menjadi frame adegan depan wastafel. Demikian juga dengan gang di antara bangunan, fasad, tampak muka kamar mandi, atau langit-langit gedung perpustakaan. Perletakan manusia bukan menjadi fokus komposisi, tapi kalaupun ada ia hanyalah menjadi bagian dari framing sinematografi.
Entahlah apabila film ini ditonton oleh orang yang kurang berminat terhadap latar, khususnya lagi arsitektur. Yang jelas ekses menonton film ini bagiku ada tiga. Yang pertama adalah romansa. Sudah kuceritakan panjang lebar di paragraf-paragraf sebelumnya.
Yang kedua, celaka duabelas menonton Columbus menaikkan minatku untuk bertandang ke sana. Anggap saja itu masuk ke bucketlist. Apalagi sekarang ini banyak tur-tur kuratif dengan tema arsitektur di sana.
Yang ketiga, lebih celaka lagi, film ini membangkitkan lagi minatku untuk meniti jalan pedang arsitektur. Ya, aku sudah murtad sedekade lebih, tapi melihatnya membuatku ingin menggoreskan pena lagi. Bergelut dengan skala dan imajinasi. Tapi setidaknya sebelum ke sana, bagus juga untukku mulai lagi dengan mendengarkan kisah-kisah dari sekitarku. Kisah yang dibisikkan oleh benda-benda mati.
Arsitektur itu sebuah cerita. Aku menunggu satu masa ia akan menjadi sentral bukan sekadar latar. Paling mudah adalah mengalaminya di sebuah kota.
Posting Komentar