Yang Terekam dalam "Let's Play Two"
https://www.helmantaofani.com/2017/11/yang-terekam-dalam-lets-play-two.html?m=0
Danny Clinch dan Pearl Jam kembali berkolaborasi. Kali ini menggabungkan konser di Wrigley Field, Chicago (stadion kandang klub baseball Cubs) dengan kisah epik Cubs memenangi World Series. Lalu apa yang membuat video ini istimewa?
Banyak hal yang terekam dalam film berdurasi hampir dua jam ini. Awalnya saya menduga benang merah yang coba ditarik Danny Clinch dari film ini adalah sebatas venue, Wrigley Field, stadion tua yang (waktu itu) tak kunjung didekorasi dengan aneka piala.
Paralel pernah merasakan “aura” serupa ketika melihat stadion Pierluigi Penzo di Venesia. Saat itu (2014), klub tuan rumahnya ada di kasta III sepakbola Italia. Ketika ke sana masih ada ekonomi yang bergerak di sekitarnya. Ibu-ibu penjual minuman dingin, dan kios suvenir. Mereka yang ikut dalam putaran roda ekonomi olahraga.
Upaya Clinch memotret “kesabaran” pendukung Cubs, utamanya bar Murphys yang ada di sebelah Wrigley menjadi menarik ketika disandingkan dengan kegigihan fans Pearl Jam yang sudah antri di depan pintu stadion empat hari sebelum konser demi posisi paling depan.
Tapi potret “longing to belong” paling simple ternyata dekat dengan lensa kamera. Sang frontman Eddie Vedder, penggemar Cubs sejak kecil, menjadi narator mengenai “faithfull” yang akhirnya berbuah manis dengan gelar juara pertama setelah 108 tahun.
Sebagai penggemar olahraga, senang juga diingatkan mengenai pentingnya ikut jatuh-bangun, dan menyatakan cinta terhadap tim justru ketika sedang jatuh.
“Karena yang diomongkan sesama penggemar adalah saling menguatkan, take care each other,” kata Vedder. Bukan euforia.
Lalu saya merefleksi juga mengenai band ini, yang informasi rilisan DVD ini membuat saya langsung pesan ojek dari kantor ke Musik Plus Sarinah demi mengamankan satu jatah. Band ini pula yang membuat saya terbang duabelasribu kilo, menguras tabungan, agar bisa bersorak bersama sekian puluh ribu orang lainnya.
The waiting drove me mad.
Clinch “menjahit” fragmen dalam upayanya bercerita lewat lagu. Ketika harapan Cubs seolah kandas, ia menceritakan dengan nada balada sendu “Crazy Mary”. Pun kala asa naik lagi, “Alive” yang muncul. Urutan lagu di Let’s Play Two tidak muncul dalam kronologi konser. “Release” digunakan untuk mengantar reward yang diberikan Pearl Jam untuk penggemar yang antri empat hari sebelum konser itu tadi.
Di seri menentukan, Cubs kala itu kalah 1-3 dari Cleveland Indians, dan harus main di Cleveland. Kalah lagi berarti Indiana juara. Vedder tidak mampu melihat atau mendengar siarannya, lalu ia “bersembunyi” di kamar mandi. Saya pernah melakukannya juga ketika final Piala Dunia 2016, adu pinalti antara Italia vs Perancis.
“Seharusnya saya tetap menontonnya. Ini bukan soal hasil, tapi proses menuju ke sini,” kata Vedder. Kredo itu kemudian ia ucapkan di inning ketujuh, di Wrigley, kepada pendukung Cubs.
“Kita di sini pertama kalinya sejak 1945. Syukuri saja, dan nikmati pertandingannya, apapun yang terjadi.”
Di luar dugaan, itu menjadi momen kunci pembalik final. Cubs tidak jadi tersingkir dan bahkan menang dramatis di seri ketujuh. 4-3 dan penantian seabad lebih berakhir.
Perayaan juara Cubs ini diiringi dengan lagu “All the Way”. Lagu yang dibuat Vedder karena diminta oleh legenda Cubs, Ernie Banks. Di dalamnya ada penggalan lirik “...mesti menunggu 200 tahun agar juara.”
Nyatanya tidak. Meski tidak lebih lekas juga.
Pemain-pemain Cubs, usai juara, mengerubuti Vedder dan memintanya untuk membuat lagu baru. Eddie bilang ia tak akan pernah memainkan “All the Way” lagi. Pada 2017 lagu itu dirilis lagi dan diingatkan kembali bahwa makna sesungguhnya lagu tersebut lebih besar dibanding gelar juara Cubs.
Adalah tentang kesetiaan dan determinasi yang membuat “selalu ada tahun depan” selalu diucapkan pendukung Cubs. Juga semangat “someday we go all the way” yang terekam dalam lagu tersebut, mencitrakan kecintaan seseorang kepada sebuah objek yang tengah ada dalam titik terendahnya.
Olahraga dan musik beresonansi, dan saya mengambil garis paralel dari hal itu. Tentang balasan-balasan yang didapat dari menjadi penggemar setia. Andai Italia juara pada 1994, mungkin saya tidak akan se-passionate itu terhadap Gli Azzurri. Tetapi rollercoaster hasil pilu hingga 2006 yang membuat gelar di Berlin sangat berkesan.
Demikian juga menjadi penggemar Pearl Jam, yang baru merasakan konsernya setelah dua windu mengakrabi.
Film ini rasanya akan mengena bagi yang mempunyai garis paralel dengan dahaga fans Cubs menunggu gelar. Bisa berupa penggemar olahraga, atau mungkin sekumpulan pemuja grup musik yang berada di negara nan “hopeless” untuk mendatangkan band pujaan mereka.
Kadarnya sudah melewati “faith” lagi, tapi sudah berwujud keajaiban. Itulah mengapa lagu “I Believe in Miracles” yang muncul di film, bukan “Faithfull”.
So, nikmati saja proses menunggu. Suatu hari nanti pasti “we go all the way”.
Posting Komentar