Memburu Kenangan Hingga Ke Seberang
https://www.helmantaofani.com/2017/12/memburu-kenangan-hingga-ke-seberang.html
Setelah tidak kebagian tiket di Jumat, hari ini berhasil juga menonton “Coco”.
Premis nonton Coco karena Disney dan Pixar, ternyata ceritanya “berat” juga. Untuk ukuran anak saya, 6 tahun, terlau berat sampai ia tertidur dan bangun lalu tertawa di adegan-adegan slapstick.
Saya, di luar dugaan, sangat menikmati utamanya dari dua sisi. Yang pertama adalah musiknya bagus-bagus. Weak spot saya di musik latin, wabil khusus gitar. Modyar saja ketika film dengan tema mariachi dan gitar flamenco dipadu lirik gombal ala Meksiko.
Yang kedua adalah tema mengenai alam usai kematian. Film ini “menguliti” festival Dia de los Muertos di Meksiko, atau perayaan mengenang orang-orang yang meninggal. Core cerita sangat setia menggambarkan tradisi tersebut, dalam penuturan yang mudah dipahami. Ternyata konsep festival tersebut bukan rocket science. Tapi tema "alam barzah" ini sesuatu yang terlalu berat dijelaskan ke anak-anak.
However, orang dewasa seperti saya (mestinya) malah nangis usai film selesai. Utamanya di adegan-adegan akhir, membuat saya mengenang orang-orang terkasih yang sudah berada di alam kematian. Saya ingat pagi sebelumnya membaca status di Facebook tentang “ngaji lewat film”. Menonton Coco rasanya seperti baru dijelaskan juga mengapa ada anak saleh yang mendoakan orangtua bisa membantu mereka di alam kematian dalam konsep agama yang saya anut.
Ringkas kata, sinopsis Coco ini kurang lebih seorang anak (Miguel) yang berusaha mendapatkan restu atas passion-nya ke dunia musik hingga mengantarnya menyeberang ke alam setelah kematian. Tema ini gayut dengan festival Dia de los Muertos dan setting Meksikonya. Di alam kematian, Miguel mesti mendapatkan restu dari mendiang keluarganya agar bisa kembali ke dunia fana.
Sesampai di alam roh, Miguel ternyata disadarkan mengenai pentingnya keluarga. Tentang kenangan-kenangan yang tak sinambung antara hidup dan mati. Tema ini menjadi berat (untuk anak-anak) sekaligus sangat berkesan bagi siapapun. Adegan di Coco tidak dibuat dalam tonal melankoli, tetapi mau tidak mau, tema kematian ini menjadi gampang beresonansi pada semua orang yang pernah mengalami. Maksudnya melihat orang, terutama yang dikasihi, meninggal dunia.
Cukup ajaib juga betapa kepercayaan di dunia mempunyai irisan yang menarik, terutama berkait hal-hal yang spiritual. Entah bagaimana menjelaskannya ke anak saya yang masih kelas satu SD. Tapi usai film saya mendapatkan “hook” untuk mengingatkan ia agar kelak tak lupa mendoakan saya. Juga menanyakan (atau memastikan) apakah saya sudah meninggalkan cukup kenangan baginya.
Pixar dulu sukses mengharu-biru penonton via romansa pasangan yang menua dalam “Up”. Kali ini mereka menjabarkan cinta yang melewati batas kehidupan dan kematian. Masih tetap mengharu-biru, tapi baru akan terasa pada akhir cerita. Berbeda dengan melankoli yang ada di Toy Story 3 yang dibesut oleh Lee Unkirch. Sutradara yang sama menjaga Coco, tonal berbeda tapi kesan tetap emosional. Inilah kehebatannya.
Tonton film ini, lalu menangislah. Kenang orang terkasih yang sudah berpulang. Apalagi bila itu adalah orangtua Anda.
Posting Komentar