Dolores dan Romansa
https://www.helmantaofani.com/2018/01/dolores-dan-romansa.html?m=0
Apa yang ditinggalkan Dolores O’Riordan untuk kita? Bagi saya, banyak.
Dari sekian mereka yang merasakan tumbuh di dekade 90-an, rata-rata mengenal kurikulum belajar gitar di tongkrongan. Untuk versi pemula, kord atau rif yang dipelajari tidak jauh dari “Creep”milik Radiohead, dan “Zombie” dari The Cranberries.
Saya memegang gitar dan menggerakkan jari pertama dengan tujuan kala melagukan bassline dari “Zombie”. Rif lagu tentang dampak perang itu cukup mudah dimainkan karena hanya menggunakan dua senar paling atas. Lagu yang fenomenal di dekade 90-an tersebut (terbukti dengan berbagai versi parodi) tentu saja juga menyentuh banyak tangan lain yang kemudian membawa juga ke takdir masing-masing.
Takdir saya, masih berevolusi di seputar Dolores O’Riordan, vokalis The Cranberries, yang baru saja tutup usia Senin (16/1) kemarin. Hasil dari belajar gitar pertama itu kemudian terakumulasi dengan membolak-balik kaset album No Need to Argue (1994) via walkman merk Aiwa oleh-oleh dari tanah Arab. Album yang membawa band asal Irlandia itu meroket hingga diundang untuk tampil pada gelaran Woodstock 1994.
Dolores menjadi penulis utama dari semua lagu, termasuk memilih tema-tema yang kemudian menjadi musik latar bagi banyak kalangan. Umumnya ia dikenal dengan lagu-lagu lembut macam “Linger”, “When You’re Gone” atau “Ode to My Family” yang jamak berotasi di radio. Namun, ia pula yang menuliskan tema gagah yang banyak tertampung pada album To the Faithful Departed (1996).
Album ketiga yang dirilis dengan latar perang Balkan ini disebut-sebut sebagai salah satu album terburuk. Saya bersedia menggugat kenapa.
Di album ini Dolores menajamkan kemampuannya menulis lirik (dan judul) yang lebih blatant. Dalam beberapa versi rilisan, terdapat lagu berjudul “Bosnia” yang tentu merupakan sinambung tema dengan “War Child” di album yang sama. Atau dengan “Zombie”di album sebelumnya.
Tema lirik kemudian bergeser menjadi cinta platonik pada album Bury the Hatchett (1999) seolah menjadi pernyataan Dolores sendiri dari yang vokal menjadi lebih riang serta empatik.
Ia menjadi ibu, dan cara pandangnya pun berubah. Perubahannya ini bergerak bersama penggemarnya yang juga bertumbuh. Rata-rata perempuan yang beranjak dewasa. Ada juga sampel di luar populasi seperti saya. Laki-laki, dalam demografi yang mungkin belum mencapai rerata usia penggemar The Cranberries, serta masuk pula dalam jamaah Metallica dan Pearl Jam.
Pada tahun 2000, saya mengalami kecelakaan hebat. Motor saya ditabrak dari belakang oleh sepeda pengangkut rumput sehingga melaju bebas ke arah truk yang melaju dari arah berlawanan. Sampai di situ yang saya ingat sebelum kemudian terbangun di UGD sebuah rumah sakit. Jawaban saya ketika ditanya apa yang diingat: “Saya ingat sedang bersenandung ‘Ridiculous Thoughts’ sebelum ditabrak.”
Demikian Dolores dan The Cranberries yang senantiasa hadir dalam kisah-kisah terbaik saya. Tak mesti di kisah bahagia. Histori romansa saya juga selalu bermusik-latar band yang sempat mampir ke Indonesia pada 2011 ini.
Adalah lagu “Every Morning” dari album Wake Up and Smell the Coffee (2001) yang menjadi lagu persembahan, dinyanyikan tiap pacar saya dulu ulang tahun. Ironisnya, kutipan dari lagu “Dying in the Sun” (Bury the Hatchett) dituliskan oleh mantan pacar saya (orang yang berbeda dengan subyek sebelumnya) ketika kami berpisah.
Dengan mantan pacar yang sekarang jadi istri, giliran album CD To the Faithful Departed yang saya temukan di Cihapit, Bandung, jadi pemberian kenangan manis.
Dengan banyaknya momen yang bersentuhan itu, tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan kala The Cranberries tampil di Java Rockin’ Land pada tahun 2011. Ini adalah salah satu dari sedikit konser yang saya hapal semua lagu dalam repertoirnya.
Konon, indikator seorang penggemar adalah ketika kamu hapal lebih dari separuh repertoir konser. Saya, tidak hanya hapal, tapi juga mulai demanding dengan berharap Dolores membawakan lagu-lagu yang “tidak umum”.
Saya ingat ketika The Cranberries merilis Wake Up and Smell the Coffee usai sukses Bury the Hatchett, tidak banyak sambutan antusias. Tetapi saya justru suka dengan album kelima tersebut, terutama lagu “Time is Ticking Out” yang mengkapitulasi evolusi Dolores dari album sebelumnya.
Ia membawa tema katastrofik global yang (hanya) bisa diselesaikan dengan tindakan empatis. Tentu saja, lagu ini tidak populer dan tidak muncul dalam repertoir konser “greatest hits” di Jakarta pada 2011.
Kesedihan saya hanya satu hal pada saat konser itu. Kakak saya, yang mengenalkan band ini, tidak bisa hadir. Sehingga, ketika “Ridiculous Thoughts” dibawakan saya sempat menelpon untuk ia bisa mendengarkan langsung. Sedikit inisiatif untuk berbagi sekaligus retribusi karena berkat gitar dan kasetnya saya kemudian terdampar dalam khasanah musik yang membahagiakan.
Sejarah romansa ini bertalu-talu muncul ketika membaca kabar bahwa Dolores O’Riordan melepas nyawa. Saya sempat tertegun dan tanpa sadar jari meneruskan tautan berita ke beberapa grup WhatsApp berisi orang-orang yang tentu tahu bahwa The Cranberries menjadi bagian cerita di masa lalu.
Pada usia jelang empat dasarwarsa ini, sedemikian cepat kesenangan terhadap pribadi atau grup beralih jadi kabar duka. Tahun lalu saya berduka untuk Chris Cornell. Sebagian khalayak mungkin juga berduka untuk Chester Bennington. Sebuah penanda bahwa apa yang kita sukai itu sebetulnya fana. Kemudian kehilangan ini akan membawakan kita kepingan-kepingan kenangan dari masa lalu yang mungkin akan susah terjangkau tanpa pemantik romansa.
Kemudian ingatan bergulir menari ke si pemantik romansa. Ini adalah obituari yang menutup kemungkinan persuaan lagi kepada Dolores O’Riordan. Meneruskan apa yang dikatakannya sendiri dalam lagu.
“…suddenly feels empty.”
***
Versi edit dari tulisan ini dimuat di CNN Indonesia.
1 komentar
Promo Togel: Free Chip 10.000 terbatas bagi pendaftar baru. Mari bergabung
bersama agen Togel terpercaya : www.juniortoto.com
Add contact kami BBM : d8c328fc Whatsapp : +62-821-6835- 2486 Line: juniorbola
Posting Komentar