Samba Terbaik di Italia
https://www.helmantaofani.com/2018/03/samba-terbaik-di-italia.html?m=0
Dalam bukunya, Futebol Nation, David Golbatt menceritakan booming talenta sepakbola Brasil ketika apartheid dihapuskan yang membuat pemain berwarna boleh ikut turun ke lapangan hijau. Belum pernah ada penelitian sains mengenai pengaruh ras, tetapi masuknya ras campuran (mulatto) mulai membuat bibit-bibit sepakbola Brasil bermunculan. Lalu ditambah dengan kondisi ekonomi mereka yang tidak spektakuler, membuat para pebola Brasil siap sedia bermain di manapun mereka bisa dibayar.
Hal itu yang kemudian memicu ekspor pemain Brasil. Hingga saat ini, Brasil menempati peringkat pertama negara yang paling banyak mengirim pemainnya ke seluruh belahan dunia (1700-an pemain Brasil tak bisa dikejar 900-an pemain Argentina, negara kedua pengekspor pemain bola). Tak terkecuali Italia yang pertama terpana oleh gocekan samba Leonidas da Silva di Piala Dunia 1938. Leonidas seorang mulatto, bermain tanpa alas kaki yang mampu meliuk-liuk memperlihatkan hibrid insting dan kekuatan fisik.
Usai perang, impor pertama ditandai dengan para pebola Brasil yang ditempatkan pada posisi striker, guna mengimbangi impor striker Skandinavia dan Eropa Timur yang dikenal bertenaga. Nama-nama terus bermunculan, hingga pergantian milenia ini pemain Brasil masih diburu karena oleh publik Italia dianggap menjawab kebutuhan akan maestro bola yang (dulu) mampu dibayar murah.
Meski kemudian pemain Brasil juga mengalami inflasi, tetapi hingga kini ada ratusan orang Brasil yang menjadi bintang di Serie A. Hebatnya, tidak hanya dari posisi striker, tetapi bisa disusun menjadi sebuah kesebelasan.
Berikut ini sebelas pemain Brasil terbaik di tiap posisi, sejak Serie A bergulir, yang sudah mematenkan namanya di liga Italia.
Starting XI (4-3-3)
1 - Dida; 2- Cafu, 3 - Alex Sandro, 5 - Thiago Silva, 6 - Aldair; 4 - Toninho Cerezo, 7 - Kaka, 8 - Alemao; 9 - Ronaldo, 10 - Altafini, 11 - Careca
Cadangan:
12 - Julio Cesar; 13 - Lucio, 14 - Maicon; 15 - Dunga, 16 - Emerson; 17 - Adriano, 18 - Vinicio
Dida/Julio Cesar (Kiper)
Kiper bukan posisi utama yang membuat dunia melirik pemain Brasil. Biasanya pemain Samba dibidik untuk mengisi posisi pemain teknis, dengan skill tinggi, sehingga biasa menempati posisi bek sayap, pemain menyerang, atau striker.
Namun, fenomena itu membuat mudah memilih kiper Brasil yang mencuat di Serie A. Di antara beberapa kiper (yang belakangan makin banyak) asa Brasil, dua kiper asal klub kota Milan: Dida dan Julio Cesar sulit dipilih mana yang lebih baik. Perolehan caps yang lebih banyak membuat kita mulai dengan membicarakan Dida terlebih dahulu.
Tinggi, besar, tapi ceroboh. Dida butuh kesempatan kedua untuk merebut hati Milanisti, setelah periode pertamanya penuh dengan catatan blunder. Paling diingat adalah blunder fatalnya yang berujung gol bagi Leeds United di pertandingan menentukan Liga Champions. Ia kemudian dipinjamkan ke Corinthians sebelum balik kembali ke Milan musim berikutnya.
And boy, he’s back with a bang. Jauh lebih matang, Dida kemudian menggeser Christian Abbiati sebagai kiper utama Rossoneri. Di musim penebusan pertamanya, Dida berperan penting dalam membawa trofi Liga Champions. Di final ia menjadi penentu kemenangan adu pinalti melawan Juventus.
Dida menjadi bagian dari masa keemasan Milan di bawah Carlo Ancelotti dan bahkan membantu boyong trofi Liga Champions keduanya di 2007. Dida dijuluki “Bagheera” yang merupakan nama macan kumbang di kisah Jungle Book. Julukan itu modifikasi dari panggilan “il pantera nera” yang diberikan komentator Carlo Pellegatti.
Sukses Dida dibayangi oleh Julio Cesar, kiper di klub rival, Internazionale. Sama seperti Dida, Cesar juga memenangi Liga Champions dan bahkan scudetto lebih banyak (5) dibanding Dida (1).
Julio Cesar bertubuh gempal, sebetulnya aga aneh untuk ukuran kiper. Refleks-nya yang menjadikannya bertahan di liga nan keras bagi kiper macam Serie A. Ia menghabiskan tujuh musim di Inter dan memenangi segalanya bersama Nerazzurri.
Sesudah periode Dida dan Cesar, klub Serie A mulai banyak melirik kiper Brasil. Di antara yang sukses kemudian adalah Neto (bersama Fiorentina) dan Allison (bersama Roma).
Dida 206 caps bersama Milan
Julio Cesar 228 caps bersama Inter
Cafu/Maicon (Bek Kanan)
Pos ini sudah pasti direbut oleh Cafu yang bermain lebih dari satu dekade bersama Roma dan Milan. Ia adalah pemenang Piala Dunia, legenda dalam posisi bek kanan. Namun, tidak bisa mengabaikan Maicon, penerusnya. Bersama Inter, Maicon juga memenangkan segalanya.
Cafu 282 caps bersama Roma dan Milan
Maicon 236 caps bersama Inter dan Roma
Aldair (Bek Tengah)
Nomor enam sempat dipensiunkan Roma untuk mengabadikan dedikasi bek juara dunia ini. Bermain di negara penghasil bek, Aldair bertahan tigabelas tahun di Italia. Ia juga terkenal karena menolak ban kapten AS Roma, tetapi malah menyarankan untuk diberikan kepada pemain muda bernama Francesco Totti.
Aldair 330 caps bersama Roma (dan 17 bersama Genoa)
Mencari padanan Aldair di posisi bek sentral Brasil di Serie A cukup sulit. Ada Juan Jesus yang tahun ini memasuki tujuh tahun pengabdian di Serie A. Tetapi kadang tidak butuh masa pengabdian lama untuk bersinar di Italia.
Thiago Silva/Lucio (Bek Tengah)
Thiago Silva menjalani empat musim menyenangkan di Milan. Mewarisi estafet bek hebat seperti Paolo Maldini dan Alessandro Nesta. Ia beroleh satu scudetto dan berada di puncak karier (serta bermain sebagai kapten Milan) ketika Rossoneri kemudian tunduk pada kibasan dollar PSG. Kesan yang ditorehkannya amat positif, sehingga publik Italia merasa melihat Silva adalah pemain yang membawa obor kejayaan seni bertahan mereka.
Sementara, Lucio datang (mestinya) di kurva turun parabola kariernya. Sebagian besar waktunya dihabiskan di Bundesliga. Tetapi ia masih membuktikan mampu sukses besar di Serie A kala menjadi bagian dari Inter yang meraih treble winners.
Thiago Silva 93 caps bersama Milan
Lucio 96 caps bersama Inter
Alex Sandro (Bek Kiri)
Roberto Carlos masih berbentuk pemain muda berbakat ketika ia datang ke Serie A. Di liga yang frase “bek kiri” identik dengan Paolo Maldini, Carlos hengkang setelah semusim. Lalu entah kenapa Serie A kekurangan stok bek sayap Brasil di sisi lapangan ini ketimbang sebaliknya.
Dewasa ini, bek Juventus Alex Sandro menjadi representasi mumpuni. Ia tangkas, atletis, agresif, dan membawa nama baik bek-bek kanan Brasil di Serie A. Ia adalah catatan yang belum selesai, tetapi bisa dibilang ia bermain lebih banyak dan lebih baik dibanding Roberto Carlos di Serie A.
Alex Sandro 69 caps bersama Juventus (hingga Maret 2018)
Alemao/Dunga (Gelandang Bertahan)
Bagian dari Napoli yang menjuarai Liga Italia dan Piala UEFA bersama Maradona, Alemao adalah motor di lapangan. Ia menjalani peran sebagai regista yang baik, posisi yang subur di Serie A. Alemao bahkan bertahan lebih dari separuh dekade di Serie A, bersama Napoli dan Atalanta. Perannya kemudian diteruskan oleh suksesornya di Serie A dan tim nasional: Dunga.
Alemao 133 caps bersama Napoli dan Atalanta
Dunga 170 caps bersama Fiorentina, Pisa, dan Pescara
Toninho Cerezo/Emerson (Gelandang Bertahan)
Sama seperti kiper, gelandang bertahan bukan posisi yang dilirik untuk pemain asal Brasil. Biasanya, mereka yang terlalu lambat berlari kemudian bertransformasi menjadi regista. Pakem ini juga bisa menjelaskan mengapa Brasil juga banyak mengekspor gelandang bertahan jagoan. Tersebut Alemao yang scudetto bersama Napoli, dan juga Toninho Cerezo (scudetto bersama Sampdoria).
Toninho adalah pekerja di ruang mesin Sampdoria yang memenangkan juara liga tak terduga bersama pelatih Vujadin Boskov. Kokohnya lini tengah membuat Samp leluasa menyuplai duet striker paten mereka, Luca Vialli dan Bobby Mancini. Di musim sukses mereka, Toninho mencatat raihan asis tertinggi untuk klub dengan total menyetor 12 umpan yang disantap jadi gol. Ia juga memegang rekor umpan sempurna di tim yang kalah dua kali dari Barcelona-nya Johan Cruyff di final antarklub Eropa.
Sementara Emerson kenyang bermain di klub-klub elit Italia, bahkan Real Madrid. Ia dibeli untuk alasan yang sama dengan peminat gelandang Brasil. Bisa menjadi regista (pengatur serangan) dari belakang, sekaligus dibekali fisik prima.
Toninho Cerezo 215 caps bersama Roma dan Sampdoria
Emerson 199 caps bersama Roma, Juventus, dan Milan
Kaka (Gelandang Serang)
Ricardo Izecson bukan mulatto yang identik dengan paha-betis atletis seperti Garrincha. Ketika dibeli Milan, banyak yang menduga ia akan bermain seperti Zico yang mengirim bola dengan pikiran. Namun, musim pertama Kaka justru diambilnya dengan sangat Brasil: dribel kuat, cepat, bertenaga, dan skill istimewa.
Banyak gelandang serang yang diimpor Serie A dari Brasil, tapi tidak banyak yang bisa bertahan lama dan memberi dampak. Gaya samba biasa memberi efek kejut cepat, tetapi kalau pemain gagal beradaptasi dengan tempo yang lebih lambat ia akan terbaca. Serie A adalah liga dengan porsi latihan menonton moviola (video analisa) dijadwalkan di satu hari dalam seminggu. Pemain tidak berimprovisasi, ia layu dengan cepat.
Di sini keistimewaan Kaka terlihat. Dari tipikal gelandang samba, gaya Kaka makin Eropa, makin industrial dan di akhir kariernya bersama Milan ia bermain sebagai striker. Penyesuaiannya ini yang membuatnya istimewa, meraih satu scudetto, satu Liga Champions dan menjadi bagian tim Rossoneri yang mendominasi Eropa. Ballon d’Or-nya di 2007 adalah kali terakhir penghargaan individu itu dimenangkan pemain selain Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Kaka membuktikan diri sebagai gelandang serang Brasil paling sukses. Lebih dibanding Zico atau Socrates sekalipun yang sempat mencicipi atmosfer Serie A, tapi tidak bertahan lama dan juga nirgelar.
Kaka 223 caps bersama Milan
Altafini/Vinicio (Striker)
Paskaperang, impresi striker Brasil terus diburu yang mendaratkan Vinicio. Ia merantau ke Italia, dan tak pernah kembali sepanjang 15 tahun kariernya di Liga Italia. Durasi tinggalnya membuat Vinicio memperoleh status warga negara Italia. Namun, ia menolak membela tim nasional Italia.
Yang tidak menolak adalah pemain akbar lain dari Brasil bernama Jose Altafini. Ia seorang oriundo, generasi kedua dari migran Italia. Sejak bermain di Brasil, Altafini sudah diidentikkan dengan negeri leluhurnya, di mana ia dikenal dengan sebutan Mazzola. Ode untuk gaya mainnya yang mirip dengan kapten Torino, Valentino Mazzola. Mazzola asli mendominasi Eropa dan meninggal bersama seluruh skuad Torino dalam tragedi Superga.
Sementara Mazzola Brasil berangkat ke Piala Dunia 1958 yang mencuatkan sosok Pele. Ia tak kembali ke Brasil, dan mendapatkan kewarganegaraan Italia. Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan nama aslinya, Jose Altafini.
Altafini turut dalam skuad Italia di Piala Dunia 1962 di Cile. Ia mencatatkan diri sebagai top skor Milan sebelum ditumbangkan Andriy Shevchenko.
Vinicio 348 caps bersama Napoli, Bologna, Vicenza
Jose Altafini 519 caps bersama Milan, Napoli, Juventus, dan Chiasso
Ronaldo/Adriano (Striker)
Kedua fenomeno ini tidak bertahan lama karena dua sebab. Ronaldo mendapat julukan “Fenomeno” karena ketakjuban publik Italia atas kemampuannya. Ia cepat, kokoh, skill dewa, dan banyak mencetak gol. Satu-dua musik pertama ia mengobrak-abrik tatanan pertahanan tekstual klub Serie A. Di musim ketika, para bek yang tak ingin ketinggalan lari darinya mulai menerapkan marking berlebihan. Treatment sama yang pernah diberikan pada Diego Maradona.
Fenomeno tumbang di musim ketiga karena cedera. Ia absen lama, dan tak lagi merasa tempatnya ada di Serie A. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan dirinya kembali ke Real Madrid, ia langsung menyambarnya dan di Spanyol ia kembali menjadi fenomeno.
Di sisi lain, pemain yang sama berbakatnya dengan Fenomeno adalah Adriano. Ia dijuluki Imperatore lantaran bisa mencetak gol semaunya. Dari dribel, sundulan, back heel, atau tendangan bebas. Suka-suka dia.
Berbeda dengan Fenomeno, sang Pemerintah tumbang karena tak tahan dengan gemerlap gaya hidup. Ia absen lama karena cedera, tetapi mulai merasakan nikmatnya gaji buta. Tidak main tapi terus dibayar untuk pesta.
Malam demi malam berlalu, hingga ketika sadar ia sudah berada di pojokan Porto Alegre dengan hutang segunung kepada mafia setempat. Imperatore kini hidup dalam kemiskinan, meninggalkan ilusi kejayaan dulu antara dirinya, Fenomeno, Kaka, dan Ronaldinho pernah membuat kuartet paling dijagokan di medio 2000-an.
Ronaldo 88 caps bersama Inter dan Milan
Adriano 180 caps bersama Inter, Parma, dan Fiorentina
Tetapi begitulah pemain Brasil di tanah rantau. Mereka begitu cepat naik, tapi juga ceroboh untuk lekas turun seperti goyang samba. Perkecualian tentu, ke beberapa individu macam Aldair atau Cafu. Dan satu lagi, Careca.
Careca (Striker)
Antonio de Oliveira Filho, nama asli Careca, didatangkan Napoli dari Sao Paulo untuk mengimbangi sang maestro, Diego Maradona. Ketika didatangkan, ia sudah berstatus pemain tim nasional Brasil. Careca dibeli dengan segala syarat klub Italia membeli pemain Brasil. Striker berteknik, penyelesai istimewa, dan lebih oke lagi lantaran Careca berbonus kesetiaan. Napoli adalah satu-satunya klub Eropa yang pernah diperkuatnya.
Careca bertahan lebih lama dari Diego Maradona, dan menyudahi kiprahnya di Napoli usai menggembleng penerus Diego yang bernama Gianfranco Zola.
Careca 164 caps bersama Napoli
Posting Komentar