Tentang Pengambilan Keputusan
https://www.helmantaofani.com/2018/03/tentang-pengambilan-keputusan.html?m=0
Oscar memenangkan film “Spotlight” sebagai Best Picture tahun 2016. Film berlatar jurnalistik tersebut mengisahkan upaya investigasi dari wartawan koran Boston Globe yang mengungkap kasus pelecehan seksual yang dilakukan dalam organisasi keagamaan. Atas upaya jurnalisme investigatif tersebut, The Globe lantas mendapatkan Pullitzer, penghargaan prestisius atas karya jurnalistik.
Genre yang mirip, berkisah mengenai investigasi jurnalistik, banyak diangkat ke film. Salah satu film yang terkenal adalah “All The President’s Men” yang menceritakan tentang skandal Watergate. Upaya ini tidak main-main, karena bisa menggulingkan presiden negara adidaya. Persamaan dengan “Spotlight”, keduanya fokus terhadap proses investigasi jurnalistik yang kadang mempengaruhi pribadi sang wartawan.
Tahun ini, film bergenre jurnalistik kembali hadir dalam “The Post”. Film karya Steven Spielberg ini juga masuk bursa Best Picture Academy Awards tahun 2018, termasuk nominasi untuk sutradara dan aktris terbaik. Berbeda dengan “Spotlight” dan genre umum film jurnalistik, “The Post” lebih banyak bicara mengenai pengambilan keputusan sebagai salah satu hal mutlak dan memberi warna dalam industri media. Dalam hal ini adalah suratkabar atau koran. Angle ini mungkin relatif selaras dengan film seri “Newsroom”.
“The Post” berkisah mengenai keberanian koran Washington Post untuk mengungkap skandal kebohongan Pemerintah AS mengenai Perang Vietnam sejak usai Perang Dunia II. Dengan latar era Presiden Nixon, secara linimasa bisa dibilang film ini prekuel “All the President’s Men”. Meski ada unsur investigatif, namun film ini tidak mengulas mengenai upaya penyelidikan untuk mendapatkan dokumen rahasia tersebut. Dalam film dijelaskan bahwa Washington Post mendapatkan “lead” berupa hibah berkas rahasia, di kala kompetitor koran utama, New York Times, mendapatkan tekanan pemerintah untuk tidak menerbitkan berkas tersebut. Investigasi tidak banyak diulas di “The Post”.
Kisah film lebih banyak fokus kepada keputusan-keputusan yang diambil oleh pemilik The Post, Katharine “Kay” Graham, (diperankan Meryl Streep) sebagai CEO wanita di tengah patriarki industry media. Selain itu, keputusan yang diambil oleh Ben Bradlee (diperankan Tom Hanks), kepala redaksi The Post, juga mendapatkan banyak sorotan. Dari awal, penonton diajak untuk mengikuti serunya (atau beratnya) pengambilan keputusan seperti menentukan tema editorial, penugasan wartawan, hingga faktor penting macam keputusan melepas saham.
Koran menjadi subjek unik dalam film, karena karakternya yang sangat ditentukan oleh pengambilan keputusan. In daily basis. Koran mempunyai daur edar (harian), tenggat berita, dan keputusan untuk jalan cetak. Keputusan-keputusan diambil mengikuti khittah tersebut, sehingga “The Post” juga banyak menguak seni industri koran yang saat ini dipandang masuk ke senjakala. Tak heran, dari perspektif Kay, menjalankan industri koran itu pekerjaan sulit. Banyak hal yang menjadi dilematis baginya, antara lain keputusan bermain aman dan menyelamatkan ratusan pekerjanya, ataukah mengambil resiko. Bagaimana menempatkan relasi, sebagai narasumber, rekanan, atau obyek berita? Kepentingan siapa yang harus dibela?
Film ini menjadi menarik untuk ditonton milenial bersama orangtua mereka yang (mungkin) baby boomers yang besar dengan koran. Scene sebuah klub eksklusif dengan pengunjung di dalamnya semua membaca koran adalah testamen dari era paskaperang yang mengglorifikasi abad koran. Ini hal serupa dengan mengapa buku Bahasa Indonesia yang dicetak Balai Pustaka menggambarkan kepala keluarga yang membaca koran di sampulnya (keluarga Budi).
Di sisi lain, film ini juga memperlihatkan proses komposit dan cetak koran dengan “lino” (mesin huruf) mungkin menarik bagi milenial untuk mendapatkan gambar dokumentasi cikal bakal font, software layout, dan barang cetak yang (mungkin) diambil lalu oleh mereka.
Dalam koran, tenggat juga berarti titik untuk memutus. Sama seperti keputusan Kay untuk IPO, ada tenggat yang masih memungkinkan kembali (investor berhak menarik investasinya apabila ada “bencana”). Ada tenggat yang bisa ditawar. Tenggat yang sama dengan tenggat berita, ketika keputusan untuk menerjunkan cerita mendapatkan ancaman nyata dari sisi legal.
Tetapi keputusan besar harus diambil ketika tuas cetak mulai dijalankan. Ada istilah “stop press” tapi pada dasarnya, keputusan cetak dalam koran adalah point of no return. Ada kepastian yang harus berjalan hari itu, dan disampaikan kepada khalayak dalam beberapa jam kemudian. Tidak ada proses hapus atau tarik edar, lantaran dalam film digambarkan juga hingga proses distribusi koran hingga terpampang di newsstand esok harinya.
Jurnalisme masih tetap sama, apapun mediumnya. Proses investigasi dan dasar pers sebagai pilar kelima demokrasi (atau amandemen pertama Amerika) adalah poros yang tak lekang platform. Tetapi proses dan seninya jelas bergantung platform. Inilah yang membuat “The Post” menjadi berbeda karena mengambil dari sisi koran, di mana keputusan besar diambil dalam rentang harian.
Saya menonton “The Post” tidak lama dari membuat posting tentang imperfeksi koran. Mungkin saya subyektif ketika banyak menyeka air mata ketika melihat proses yang dilakukan untuk menghadirkan ragam berita dalam beberapa lembar kertas. Dari membuat layout, mencetak, gambar mesin cetak yang bekerja, tangan-tangan penyortir hingga mobil boks pengiriman. Berakhir dengan “bal” koran yang dilempar ke kios.
Subyektif karena saya ada di lingkar dalam industry ini, sehingga kontekstual betul dengan apa yang disajikan dalam “The Post”.
Segala khutbah mengenai moralitas dan posisi pers sudah sering saya dengar, tetapi sudut pandang bahwa memilih dan mengambil keputusan itu tidak mudah adalah juaranya. Ini yang menjadikan film ini kemudian menjadi berbeda dengan film lain yang berlatar dunia jurnalistik. Koran dalam “The Post" ini menjadi latar yang memberi nyawa kepada film.
Karena ketika koran berpindah medium, ia tidak akan pernah lagi menjadi koran. Seni-nya jelas sudah berbeda.
Posting Komentar