Romantisme Tapal Batas
https://www.helmantaofani.com/2018/04/romantisme-tapal-batas.html
Saya memiliki romantisme khusus terhadap perbatasan (border). Ketika sering bepergian, zaman kecil dahulu, saya selalu minta dibangunkan (kalau tidur) bila kendaraan hendak melewati batas provinsi atau kabupaten.
Kadang-kadang tidak ada apa-apa pada perbatasan. Tetapi ada perasaan berbeda ketika melintas batas. Dengannya, saya bertumbuh mempelajari dan menghayati makna batas-batas wilayah. Mulai dari batas alamiah, hingga batas artifisial.
Obsesi saya adalah melakukan perjalanan darat melewati batas-batas hingga batas negara. Saya pernah membuat itinerari rute perjalanan dari Mekah hingga Jakarta menggunakan kendaraan darat, melewati Kuwait, Iran, Pakistan, India, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, kemudian Indonesia.
Saya juga memimpikan romantisme naik kereta dari Singapura hingga London. Dengannya pasti akan melewati berbagai batas negara.
Di sekolah dan kuliah, saya mempelajari bahwa penentuan batas wilayah banyak juga disebabkan oleh batas alami. Artinya, banyak batas wilayah yang menggunakan sungai, gunung, danau, dan sebagainya untuk jadi acuan batas. Batas alami ini mudah dianati ketika kita melintas batas. Bila ada sungai, tentulah sungai dan keloknya yang menjadi acuan. Bila melewati gunung, biasanya ketika melintas batas, kita sudah tiba di sisi sebaliknya.
Aviasi dan perjalanan laut membawa kita melintasi batas abstrak. Demikian pula batas yang disusun berdasarkan garis lintang atau garis bujur yang maya.
Siang usai melihat Neuschwanstein, kami meninggalkan Jerman untuk menuju ke Swiss menggunakan bis. Füssen yang terletak di selatan Jerman berjarak sekitar 200-an kilometer dari Zürich di Swiss. Untuk menuju ke sana, perbatasan yang akan dilewati ada dua, yaitu perbatasan Jerman dan Austria, serta perbatasan Austria dan Swiss.
Dua perbatasan akan dilalui melaui jalan tol antarnegara (European Highway). Melintas batas Jerman ke Austria di wilayah Lindau (Jerman) menyeberang ke wilayah Bregenz (Austria). Tapal batas alaminya merupakan sungai Leiblach yang mengalir dari danau Constance. Kami akan menjumpai lagi danau Constance nantinya, dari sisi Swiss, karena danau ini juga menjadi batas antara kedua negara.
Perjalanan di Austria hanya sekejap, segera melintasi batas ke Swiss di Lustenau yang berbatas sungai Rhine. Setelah masuk Swiss, jalan menuju Zürich melewati sisi danau Constance. Di ujung danau adalah wilayah Jerman.
Pemikiran mengenai batas ini kerap membuat saya berpikir mengenai perbedaan besar yang bisa digariskan dari sebuah garis maya. Mendapati bendera, rambu jalan, plat nomor, atau sampai ke level bahasa, aturan, dan cara hidup yang berbeda.
Dalam kasus Swiss, Jerman, dan Austria ini masih relatif seamless. Sensasi menyeberang negara tidak terlalu berasa, sehingga ketika saya menuliskan catatan ini sering lupa bahwa Füssen itu berbeda negara dengan Zermatt, misalnya. Swiss dominan kultur Jerman, meski mengadopsi tiga kultur lainnya (Perancis dan Italia). Sementara Austria, ya Jerman.
Yang terlihat berbeda adalah ketika kami berhenti di rest area yang sudah masuk wilayah Swiss. Kembalian hasil membeli segelas ovomaltine hangat diberikan dalam kepingan CHF (Swiss Franc), meski kami memberinya dalam bentuk Euro.
Swiss mengakui Euro, di banyak tempat, sebagai kurs 1:1 dengan CHF. Artinya uang 10 Euro setara dengan 10 CHF. Realita mestinya, CHF sedikit di bawah Euro. Ketika saya menukar Rupiah ke Euro, saya mendapatkan kurs sekitar Rp 17.000/Euro. Di hari yang sama saya bisa mendapat nilai tukar sekitar Rp 15.500/CHF.
Swiss menggunakan mata uang non Euro lantaran posisinya sebagai banking capital of the world. Kepercayaan diri negara yang terjepit (berbatasan dengan Perancis, Italia, Austria, Jerman, dan Liechtenstein) ini sejak mula sejarah memang mengagumkan.
Sama seperti negara Jermania lain, Swiss merupakan hasil penyatuan berbagai kantong-kantong feodal yang alamiahnya dihuni suku-suku yang berbeda. Kantong tersebut kemudian menjadi “canton” atau wilayah federal, semacam negara bagian. Mayoritas merupakan canton yang dihuni penduduk berbahasa Jerman, dengan perkecualian beberapa canton berbahasa Perancis dan satu Italia.
Sejak awal, ide penyatuan canton menjadi konfederasi (nama resmi Swiss adalah Confederatio Helvetia) adalah jaminan atas hak dan cara hidup masing-masing. Oleh karena itu, di Swiss menggunakan empat bahasa resmi, yaitu Jerman, Perancis, Italia, dan Latin. Bahasa-bahasa tersebut masih digunakan di canton terkait, seperti Ticino yang merupakan satu-satunya canton berbahasa Italia.
Di batas-batas canton terjadi amalgamasi menarik ketika bahasa-bahasa tersebut bersua. Di Zermatt misalnya, kampung ski yang terletak di ujung selatan. Di balik gunung yang tergapai dari Zermatt adalah wilayah Italia. Namun, Zermatt masuk dalam canton Jermania, sehingga penduduknya masih menggunakan bahasa Jerman tetapi sangat mengerti bahasa Italia.
Dari Zermatt, kami bermalam di Martigny, yang berada di canton berbahasa Perancis (berada di tepi Danau Jenewa yang merupakan batas negara Swiss dan Perancis). Di sana papan petunjuk selalu ditulis bilingual, dalam bahasa Jerman dan Perancis. Sama seperti di Zermatt, penduduknya mengerti bahasa Jerman meski bercakap dengan bahasa Perancis.
Pemikiran mengenai batas wilayah ini kemudian menjadi menarik. Swiss ini merupakan contoh negara yang kedaulatannya sangat bergantung pada batas wilayah yang maya. Mungkin juga dengan batas finansial juga dengan beralihnya matauang tiap kita melintas batas.
Batas antaranya dengan Jerman, tak berpandang sosok nyata karena ada di dasar danau Constance. Batas dengan Perancis juga samar sehingga nelayan barangkali berulang melanggar kedaulatan dengan menjaring ikan hingga ke danau Jenewa bagian Perancis. Demikian terjadi di danau Lugano, atau pucuk-pucuk gunung Alpen yang di baliknya mungkin Innsbruck, Tirol, atau Piedmont, entahlah.
Di dalam Swiss sendiri, kita bisa merasakan lintas batas yang lebih nyata. Satu inspirasi yang harus digarisbawahi adalah bahwa batas itu bisa juga berguna sebagai penghubung perbedaan. Mungkin hal itu juga yang membuat canton Ticino dan Jenewa bergabung ke CH meski mereka lebih sama dengan Italia atau Perancis.
Kembali dari lamunan, saya tiba di Zürich pada Kamis (5/4) sore. Zürich adalah kota terbesar di Swiss, dan begitu ke jalan, kesan metropolitan seperti halnya Munich langsung terasa. Trem, bangunan klasik, jalan raya, dan bedanya di sini terdapat air di mana-mana (bukan genangan tetapi sungai serta danau).
Baiklah, waktunya menjelajah negara yang baru lagi.
Posting Komentar