Grunge, Definisi, dan Opini Umum
https://www.helmantaofani.com/2018/08/grunge-definisi-dan-opini-umum.html?m=0
Menelisik mengenai komunitas grunge memang menarik. Di Indonesia, 24 tahun sejak kematian Kurt Cobain, komunitas ini masih bergerak dan menggeliat. Sejumlah band yang memproklamirkan diri sebagai band grunge juga masih eksis. Festival atau parade masih dilakukan, dan mungkin yang mengagetkan, ada regenerasi pengikut juga.
Sekitar dua tahun lalu saya mengadakan survey kecil mengenai grunge, sebagai musik terutama. Survey ini saya lakukan lantaran konsensus mengenai grunge ini tidak pernah ada. Berbeda dengan speed metal, thrash, punk, dan sebagainya. Pembahasan mengenai grunge ini agaknya lenyap bersama dengan letup senapan yang menghabisi Kurt Cobain. Saya melakukan survey ini di kalangan penggemar grunge. Survey direspon cukup baik, sesuai batasan 100 responden yang dilakukan secara online.
Asal mula kata grunge sendiri juga masih samar. Sumber paling sahih menyebut kata tersebut digunakan Mark Arm (Green River, Mudhoney) untuk mendefinisikan karakter sound dari band-nya. Selanjutnya digunakan dalam strategi marketing label Sub Pop yang berbasis di Seattle. Ketika Nirvana menjadi simbol Sub Pop, term grunge mulai masuk ke ranah mainstream hingga definisinya makin meluas.
Yang disebut grunge bisa mengacu kepada karakter sound, band asal Seattle, band alternative rock tahun 1990-an, atau band yang masih punya keterkaitan dengan Nirvana. Dari The Fastbacks hingga The Pixies, seberapa jauh biasnya. Kepada responden survey, kami menanyakan bagaimana seseorang mengidentifikasikan sebuah lagu atau musik itu sebagai grunge?
80% lebih responden menyatakan bisa mengidentifikasi grunge dari karakter sound atau musiknya. Kami tidak menggali lebih lanjut seperti apa sound yang dimaksud, barangkali masih dalam bracket sama dengan definisi Mark Arm. That sound!
Sebagian besar responden (lebih dari 65%) menyebut suara khas dari grunge dihasilkan oleh distorsi gitar khusus. Bagi pengamat skena grunge, mungkin akrab dengan rangkaian pedal yang kurang lebih seragam. Kira-kira set up yang dipakai Cobain. Atau, yang lebih hardcore, menggunakan efek atau pedal yang jadi nama album Mudhoney. Super Fuzz dan Big Muff.
Yang menarik, ada 10% lebih responden yang menilai sound grunge dari keberadaan feedback. Mungkin ini masih dalam satu ciri khas yang acap terdengar dari Mudhoney atau Nirvana.
Hal yang sama juga dijadikan pedoman dalam menilai sebuah band, apakah ia grunge atau bukan. Hampir 70% responden menilai sebuah band itu grunge apabila ia memenuhi kriteria sound yang di maksud dalam paragraf atas.
Ini, tentu saja, kontradiktif dengan ragam sound milik band-band yang selama ini diidentifikasikan sebagai grunge. Antara Nirvana dan Pearl Jam, memiliki sound yang (relatif) berbeda. Alice in Chains jelas berbeda dengan The Pixies. Dan seterusnya. Namun, fenomena ini bisa menarik bagi band yang ingin berkarier di jalan grunge. Ambil sound spesifik, mungkin lengkap dengan pedal Super Fuzz, agar setidaknya memenangkan kuping mayoritas penggemar grunge.
Ketika diminta menunjukkan contoh band grunge, tidak mengherankan bila Nirvana muncul sebagai pilihan pertama yang dipilih. Di tempat kedua muncul nama Pearl Jam, walau secara kaidah musik tidak persis seperti yang dimau responden. Menyusul kemudian Mudhoney, Alice Chains, dan Soundgarden. Di 10 besar pilihan, tidak ada nama mengejutkan, kecuali mungkin munculnya Sonic Youth di peringkat 8. Band ini tidak berasal dari Seattle, tidak muncul di momentum '90s, serta identik dengan genre lain yaitu Noise Rock (mungkin perlu survei lanjutan mengenai hal ini).
Beranjak ke dalam negeri, nama Navicula muncul dalam survey mengenai band grunge lokal. Ini tidak mengherankan karena kedekatan Robi cs dengan skena ini. Yang mengejutkan, setelah Navicula, yang muncul berikut adalah Plastik, band yang muncul di dekade '90s, dipimpin oleh Ipang. Dulu Ipang sering disebut sebagai Eddie Vedder-nya Indonesia karena suara baritonnya mirip dengan vokalis Pearl Jam tersebut. Tetapi secara musik, Plastik berbeda jauh dengan ekspektasi sound yang diidentikkan dengan grunge.
Menyusul di bawah Navicula dan Plastik, nama populer yang mendominasi adalah Cupumanik, Toilet Sound, Besok Bubar, serta Nugie (ALV). Nama terakhir merupakan eksponen seangkatan Plastik, yang sependek pengamatan, tidak melejit dari skena bawah (grunge) namun identik karena (mungkin) karakter vokal Nugie.
Seharusnya para penggemar grunge menambahkan identitas vokal sebagai salah satu penanda genre. Dalam hal ini bariton Vedder (atau power vocal Cobain). Di Amerika, identitas ini sempat berbiak dengan genre post-grunge (Creed misalnya).
Grunge, setidaknya yang muncul dalam skena di tanah air, identik juga dengan tema lagu anti-kemapanan, kritik sosial, dan sebagainya. Intinya, "loser attitude" menjadikan tema cinta jadi subjek terlarang untuk diangkat dalam lirik. Ini terbukti dari jawaban responden yang menyebut kritik sosial (35%) dan perjuangan hidup (32%) sebagai tema favorit untuk di angkat. Menyusul di dekatnya adalah tema melawan kemapanan (19%) yang selama ini identik dengan budaya punk.
Pilihan tema lingkungan yang diambil salah satu band (yang diidentikkan sebagai) grunge di Indonesia, Navicula, ternyata hanya mendapat tanggapan kecil sebagai identifikasi atas grunge. Band Cupumanik, yang mendeklarasikan diri grunge sebagai jatidiri (via lagu "Grunge Harga Mati") barangkali memiliki gayut tema yang lebih relevan terhadap penggemar musik grunge di Indonesia.
Deklarasi Cupumanik mengenai jatidiri grunge-nya ini menarik, karena kami juga menanyakan apakah mereka percaya dengan klaim tersebut? 60% responden menyebut harus mendengarkan apakah sound-nya masuk dalam range grunge (that sound) atau tidak. Namun, tidak sedikit juga (17%) responden yang menyebut mereka menilai dari attitude (tingkah) band yang menyebut dirinya grunge. Pendapat ini sesuai dengan pertanyaan lanjutan yang menanyakan apa modal bagi band (yang mengaku) grunge untuk mendapatkan atensi.
Bukan sound yang dominan, melainkan tingkah (attitude) yang mendapatkan suara 40% lebih. Sound gitar yang "benar" (atau yang grunge) dan kepiawaian bermain musik menjadi prioritas kedua dan ketiga. Mungkin ini selaras dengan penampilan banyak band grunge yang mungkin kurang sempurna dari sisi sound dan penguasaan teknis, namun total di panggung. Hal ini mungkin juga menjawab berbagai penilaian di luar aspek musikal untuk musisi atau band yang mengaku grunge. Fenomena ini bisa kita jumpai juga di komunitas punk.
So, menyimpulkan hasil survei, apabila Anda ingin mempunyai band grunge, maka hal pertama yang bisa dilakukan adalah menyempurnakan karakter sound, terutama gitar untuk bisa memenuhi "kaidah" grunge.
Setelah itu, buatlah lagu dengan tema kritik sosial, anti-kemapanan, atau perjuangan hidup. Jangan pernah membuat lagu cinta apabila Anda tidak ingin dicibir.
Yang ketiga, ikutlah konsensus yang berlaku di komunitas grunge. Dari dresscode hingga perilaku (attitude), penggemar genre ini mempunyai kaidah ketat dalam menyeleksi band pendatang baru. Aktif dalam komunitas (10% menyebut mereka mempertimbangkan sebuah band itu grunge apabila aktif di komunitas), dalam artian merangkul dan menjalin sense of camaraderie (perkawanan).
Siapa tahu dengan mengikuti kaidah tersebut, Anda bisa menonjol untuk mengisi posisi sebagai (salah satu) pionir band grunge masa kini. Jangan ragu untuk merangkul media mainstream atau major label. 37% responden menyatakan tak ragu mendukung, mungkin sebagai akibat minimnya ekspos atas komunitas ini belakangan.
Tetapi hati-hati untuk tidak terlalu sellout, karena suara yang kontra publikasi juga cukup besar. Total 45% menentang jurus populer bagi band grunge. Separuh dari yang menentang ini berpendapat grunge adalah ekspresi yang tidak perlu disebarkan. Pendapat ini diamini separuhnya lagi yang menilai bila band grunge itu bagus, akan terekspose dengan sendirinya.
Passive-aggresive rupanya juga menjangkiti skena lokal.
Fenomena yang terjelaskan juga adalah mengapa bila ada band yang secara kaidah (sound, teknis) sudah benar mengikuti pakem grunge, tetapi masih ditolak oleh konsensus karena attitude-nya kurang "pas".
Ini rasanya perlu follow-up survey tentang attitude seperti apa yang dimaksud. Sementara, demikian secuil insight atas grunge di Indonesia.
Kredit gambar Navicula dari laman resmi band.
Posting Komentar