Orang Indonesia Itu Baik
https://www.helmantaofani.com/2018/09/orang-indonesia-itu-baik.html?m=0
Hadir di acara yang inspiratif itu seperti baca buku. Menyerap atau mengonfirmasi hal-hal baru.
Di TEDx Jakarta, Sabtu (8/9) lalu, di antara sekian, saya masih ingat dengan tayangan video TED tentang host acara gay di Fox News. Untuk mendudukkan ke konteks, Fox News di Amerika identik dengan TV-nya orang konservatif, pendukung Trump. Jadi, sederhananya, ia membawa acara di staisun yang keliru dan audiens yang keliru.
Hasilnya, si pembawa acara ini udah biasa nerima hate mail, messages, dan sebagainya. Kasar-kasar, itu biasa.
Saya terkesan dengan kesimpulannya mengenai pilihannya untuk tidak mengeluarkan “sisi manusia” terhadap audiens dan lingkungan kerjanya hanya karena berbeda pilihan politik. Ia memberi tips bahwa orang-orang konservatif itu mayoritas orang baik. Mereka sayang kepada keluarganya dan senang membantu. Hanya karena pilihan politik mereka berbeda, tidak berarti menjadikannya sebagai “less-human”.
Saya teringat kejadian setahun lalu, ketika mobil kami “nyangsang” di separator jembatan layang Permata Hijau. Mobil stuck, bikin macet di belakang. Lalu, out of nowhere, para pengendara sepeda motor segera berhenti dan menawarkan bantuan. Ada juga satu mobil yang berhenti dan membawakan tali. Mereka semua mengelilingi mobil saya, dan mengangkat bersama-sama. Akhirnya mobil bisa lepas, saya segera menepikan dan keluar untuk menemui orang-orang yang telah membantu. Namun, selain pengendara mobil yang bawa tali (tengah memasukkannya ke mobil), semua penolong saya sudah pergi lagi.
Kejadian itu membuat saya merenungi bahwa pada dasarnya orang (Jakarta) itu baik. Mungkin sifat dasarnya itu tersaturasi oleh tensi akibat pilihan politik (waktu itu kental aura Pilkada) yang membuat kita melihat sebaliknya.
Pada sesi II TEDx dihadirkan ibu Pauline, advisor arsitektur yang kembali dari Belanda untuk mengadvokasi kampung kumuh di Indonesia. Ia sempat diminta jadi negosiator untuk Pemprov DKI guna menghadapi nelayan Muara Angke saat relokasi ke rusun. Tidak ada yang berani menghadapi mereka, digambarkan sebagai “orang yang siap menghunus parang” dan deskripsi menyeramkan lain.
Bu Pauline tetap maju nego, dengan keyakinan bahwa mereka sebetulnya instingtif saja bertindak demikian. Naluri alamiah untuk melindungi sarang. Ia menghargai sikap tersebut dan tidak negasi, membuka celah diskusi dan nego dengan “nguwongke”, kalau orang Jawa bilang.
Melihat dari kebutuhan dasar ini (atau dalam teori komunikasi, melihat dari anxiety and desire) mengembalikan konteks sikap atau pilihan seseorang ke ranah manusianya.
Kita sering terjebak pada mendebat pilihan politis sebagai keputusan final. Pertengkaran yang saya lihat di media sosial acap melepaskan konteks manusia (atau kebutuhan dasarnya), dan hanya melihat pilihan politis untuk menilai atau bahkan memutuskan hubungan pertemanan. Ini menyedihkan sebenarnya, karena saya tahu ada banyak hal (lain) yang sebetulnya bisa menyatukan mereka di luar pilihan politis yang berbeda.
Saya melihat pada dasarnya golongan “konservatif” ini (yang biasanya pro-oposan, di Indonesia) adalah orang-orang yang khawatir. Khawatir bagaimana mereka nanti bisa menyediakan lingkungan yang secara moral dan normatif baik bagi anak-anak mereka. Menjaga anak-anak dari bencana norma yang bisa intervensi dengan keyakinan mereka.
Lalu saya melihat juga dasar golongan lawan mereka juga memiliki kekhawatiran serupa, tapi mungkin dari sudut pandang yang berbeda. Sama-sama khawatir masa depan anak-anaknya tidak mendapatkan haknya karena dianggap mengintervensi keyakinan orang lain (memiliki keyakinan berbeda). Di luar itu saya yakin orang Indonesia pada dasarnya baik.
Masih dari TEDx Jakarta, ada cerita dari penyintas perang Suriah. Ia, perempuan Indonesia, bergabung ke ISIS (di Suriah) untuk tinggal di dunia yang dijanjikan. Ia mendapati horor di dunia dan kenyataan yang tak seindah janji. Butuh 3 tahun untuk ia dan keluarganya keluar dari Suriah untuk kembali ke Indonesia.
Kisahnya ini membuat saya merenung dan mensyukuri nikmatnya jadi muslim di Indonesia. Saya berpendapat mungkin Indonesia inilah (salah satu) tempat terbaik untuk hidup sebagai muslim. Ini negara yang menggunakan asas Ketuhanan sebagai puncak norma. Pemeluk agama dan keyakinan (apapun) di sini juga merefleksikan kepercayaannya ke “virtue” dalam hidup sehari-hari. Menjadikan, by default, orang Indonesia adalah orang-orang yang baik.
2 komentar
Menarik.
mungkin komunikasi antar manusia (di Indonesia) memang sangat terpengaruh oleh beragam noise sampai tujuannya tidak tercapai.
dalam konteks politik, kedua kubu sebenarnya berniat mengkomunikasikan hal yang sama: memilih pemimpin terbaik untuk negeri ini, tapi karena noisenya terlalu besar akhirnya tujuan utama malah tidak terkomunikasikan, yang ada malah rasa saling membenci.
Yep, mengerti apa tujuan dan impian mereka itu gerbang empati yang gampang. Eddie Vedder bilang "dream the dreams of other men you will be no one's rival." Bener banget sih.
Posting Komentar