Kembalinya Media Cetak (Bagian Kedua)
https://www.helmantaofani.com/2018/10/kembalinya-media-cetak-bagian-kedua.html
Beberapa bulan kemudian, usai pertemuan yang membuat gusar tersebut, saya tengah berada di sebuah basement dari bar yang bernama Book Club. Bar ini terletak di Shoreditch, sarangnya hipster di London. Ibukota Inggris tersebut, terutama di distrik East End yang menaungi Shoreditch, adalah pusat dari skena penerbitan media cetak baru, terutama berbentuk majalah.
Basement sesak dengan ratusan orang berusia 20-30 tahunan yang menghadiri event bernama Stack Live. Steven Watson, pendiri layanan langganan majalah independen bernama Stack, menggawangi sesi tanya jawab yang diselenggarakan tiap bulan bersama narasumber dari majalah yang mereka distribusikan saat itu. Malam itu, Watson menanyai Rosa Park, pekerja kreatif Amerika yang menerbitkan majalah biannual (dua tahunan) Cereal. Majalah ini merupakan rising star di skena majalah independen Amerika.
Park lahir di Seoul, besar di Vancouver, dan bekerja di marketing fesyen di New York sebelum lantas pindah ke Bath, Inggris untuk mengejar S2. Di Bath, ia bersua dengan Rich Stapleton, desainer Inggris, dan pada 2012 keduanya meluncurkan Cereal, majalah travel yang fokus pada desain, dengan gaya estetika Skandinavia. Edisi cetak pertama mereka buat di oplah 1500. Pada 2015, oplah mereka naik jadi 35.000 yang ludes terjual. Barang seken-nya bahkan dijual dengan harga dua sampai tiga kali lipat di pasar daring. Tahun lalu, Cereal merilis edisi berbahasa Korea, Tiongkok, dan Jepang untuk mengembangkan pasar selain di Amerika. Pada edisi pengembangan ini, Cereal menambah tema perabot, lukisan, dan kriya gerabah. Saat ini, Park sudah mengembangkan usahanya ke label pencetak piringan hitam dan tata bunga. Park dan Stapleton menangani ini semua dengan hanya dua karyawan full-time.
"Saya tidak habis pikir," kata Watson sambil tertawa. "Kalian pasti tidak punya anak."
Watson bertanya perihal edisi khusus Cereal tentang city guide. Mengapa ia dan Stapleton memutuskan untuk merilis edisi tersebut dalam format cetak ketimbang digital, meski mereka paham sepenuhnya ribetnya berurusan dengan dunia tinta dan kertas. "Aku sebetulnya berpikir ini bakal jadi barang online," kata Park. "Namun, permintaan untuk edisi cetak sangat besar. Kami mencetak edisi city guide London sebagai eksperimen dan langsung ludes dalam dua minggu. Kini, kami mengubah sedikit bisnis modelnya jadi membuat versi cetak yang bisa dibeli, dan versi lebih ringkasnya di digital."
Saya mengangkat tangan dan bertanya pada Park, keuntungan apa yang dia dapat dengan merilis majalah cetak yang saat ini bersaing di pasar dengan edisi digital. "Orang-orang akan mengenali produk cetak lebih cepat dibanding digital," katanya. "Produk cetak langsung terpapar di depan mata ketika Anda melalui toko, hotel, atau ketika seseorang membacanya di sebelah Anda dalam kereta. Sekali kita merilis produk dalam cetak, pasti akan dikenal."
Park kemudian melanjutkan dengan membicarakan sisi bisnis dari Cereal, termasuk alasan mereka tidak pernah melepas satu kopipun secara gratis. Saya melihat ke sekeliling dan menyaksikan audiens tengah mencatat pernyataan Park di buku catatan mereka. Orang-orang ini bukan hanya penggemar Cereal, tetapi mereka yang ikut bersorak akan kebangkitan media cetak. Mereka masih muda, tentu saja melek digital, tetapi ada di sana sambil mencatat resep sukses Park di atas kertas. Sebagian dari mereka mungkin berharap resep sukses ini bisa diterapkan di majalah yang mereka gawangi.
"Tag 'Digital Will Kill Print' ini narasi sederhana yang ironisnya tidak terbukti," kata Jeremy Leslie, pagi setelah event Stack Live. Kami ngobrol sembari minum teh. Leslie adalah mantan desainer untuk koran dan majalah. Ia telah merilis dua buku tentang desain majalah, dan saat ini mengelola blog populer bernama Mag Culture untuk mengomentari dunia permajalahan. "Ketika ada yang bilang 'mengapa ini bukan akhir dari media cetak', saya akan mengatakan padanya bahwa meski ada banyak masalah, semua penerbit di berbagai level masih menghasilkan banyak uang dari cetak. Dan faktanya, media cetak baru malah bermunculan sekarang."
Menurut Leslie, industri majalah itu tahan banting. Untuk tiap majalah yang tumbang dan memicu obituari media cetak, lebih banyak lagi majalah baru yang muncul. Berdasarkan statistik yang dikompilasi Samir Husni, akademisi Amerika yang dijuluki Mr Magazine, ada sekitar 20-an majalah baru yang beredar tiap bulan di Amerika Serikat. Ini termasuk dengan majalah-majalah yang naik daun macam Cereal, Little Brother (majalah mikro untuk esai), Kinfolk (majalah hipster), Lucky Peach (majalah kuliner global), Drift (majalah kopi dan travel), California Sunday (mirip New Yorker versi West Coast), termasuk judul-judul mulai dari Gay Wedding Magazine hingga Girls Guns and Rods.
Titel majalah-majalah tersebut menunjukkan pergeseran model bisnis produksi dan penjualan media cetak, terutama pada era ekonomi posdigital. Majalah-majalah tersebut mengawali dari kecil, menumbuhkan audiens mereka secara organik dengan oplah mula hanya ratusan hingga seribuan kopi. Hal ini kontradiktif dengan bisnis publisher besar yang mungkin langsung menghajar pasar dengan ratusan ribu kopi pada edisi perdananya. Namun, banyak majalah-majalah independen yang baru mulai edar satu dekade silam sekarang mempunyai level oplah yang sama dengan majalah dari publisher besar. "Kami mulai melihat publisher besar seperti Conde Nast dan Hearst meniru model bisnis publisher independen," kata Leslie. Artinya, lebih sedikit media cetak tetapi kualitasnya makin bagus, dan menyasar pasar audiens yang lebih kecil, yang lebih berkualitas.
Leslie menyebut bagian penting dari tren media cetak ini justru teknologi digital, terutama desktop publishing software yang memudahkan publisher manapun untuk menghasilkan majalah dengan kualitas baik. Steven Watson sepakat bahwa kebangkitan media cetak ini mempunyai akar digital. "Saat ini majalah sedang booming," kata Watson ketika saya jumpai di Book Club setelah event Stack Live dengan Cereal.
"Tidak banyak perputaran uang di dunia permajalahan, tetapi malah lebih banyak titel majalah yang kini dijual berkat teknologi." Aspek ini termasuk software desain, kampanye penggalangan dana (crowdfunding), serta digital printing. Watson juga menggarisbawahi peran blog. "Orang-orang membuat blog, mereka besar bersama blog dan menulis blog sebagai wadah ekspresi diri," ujarnya. "Sekarang, orang-orang itu ingin tampil di media cetak, untuk melegitimasi ide mereka." Sifat kertas yang permanen menegaskan layer yang lebih tinggi di bidang kredibilitas yang tidak bisa dicapai daring.
Semakin majalah bertumbuh, Watson mengamati munculnya gap yang cukup fundamental di pasar. Banyak majalah, banyak pula penggemarnya. Tetapi sistim distribusinya masih menggunakan model publisher besar. Majalah-majalah yang diterbitkan publisher besar (Time, Playboy, Golf Digest, Forbes, dll) dicetak banyak, dijual rugi, dan sepenuhnya disubsidi oleh iklan. "Pasar majalah tradisional berdasarkan model bisnis yang usang, di mana kita mencetak oplah dua kali lipat, lalu gelontorkan semuanya ke pasar. Padahal separuh lebih tidak laku," tukas Jeremy Leslie.
Model baru yang lebih fokus ke pasar niche, sesuai pengamatan Watson, seperti majalah lifestyle untuk orang berambut pirang asal Jerman, MC1R, tidak akan sukses bila mengikuti pola publisher besar. Biaya yang timbul akan terlalu banyak. Inilah celah yang dimasuki oleh Stack. Setiap bulan, Watson akan memilih majalah independen yang berbeda dan mengirimkan edisi terbarunya ke pelanggan Stack. September lalu bisa jadi Address (majalah fesyen), Oktober ini mungkin Elephant (majalah seni dan budaya), lalu bulan depan Intern (untuk pekerja magang), dan Desember nanti bisa jadi Wrap (majalah desain grafis khusus untuk packaging). Harga langganan Stack adalah 190 dollar AS per tahun.
Watson memulai Stack sebagai proyek paruh-waktu di 2008, ketika ia masih bekerja sebagai editor. Pada 2014, ia sudah meraih lebih dari 4.000 pelanggan. Ia ingin Stack bisa mencapai 10.000 pelanggan pada tahun ini. Bisnisnya, yang menurut Watson hanya sedikit menguntungkan, bersumber pada selisih yang didapat dari harga pembelian borongan dengan harga retail. Majalah-majalah independen menyukai Stack karena langsung mendapatkan pembeli dan juga memperkenalkan produk mereka ke audiens baru. Pembaca suka dengan Stack karena mengenalkan mereka ke majalah-majalah baru, dan harganya juga di bawah harga pasar. Watson bermaksud mengembangkan Stack ke Amerika Utara dan meluncurkan layanan distribusi baru yang memungkinkan majalah untuk mencari pembeli secara eceran atau pelanggan tahunan.
"Steve Watson adalah sosok legendaris," kata Rob Orchard, cofounder dan editor Delayed Gratification. Majalah tersebut dipilih Stack pada Januari 2014 dengan mengangkat isu atau berita yang sudah lewat, berbasis analisa yang mereka sebut dengan slow journalism, antitesis dari jurnalisme instan media digital. "Kami (publisher majalah independen) meluncurkan produk secara bersamaan dan saling mendukung. Stack sangat membantu menaikkan interes terhadap majalah. Stack sangat praktis digunakan, karena kita bisa punya oplah kecil tetapi ia membantu kita mendapatkan audiens yang mau membeli. Watson sangat pintar menyiasati masalah yang dihadapi majalah-majalah kecil."
Salah satu hal yang menyatukan orang-orang di skena majalah independen Inggris Raya adalah tekad mereka untuk menyingkirkan anggapan bahwa media cetak menderita karena digital. Ini bukan sekadar ungkapan romantis, tetapi punya argumen ekonoms di belakangnya.
"Aspek kuncinya adalah, orang bersedia membayar untuk media cetak," kata Orchard. Media cetak, lanjutnya, adalah model bisnis yang sudah teruji. Delayed Gratification tidak mengambil untung dari revenue iklan. Mereka berhasil menjual sekitar 5.000 kopi per-edisi, terbit empat kali dalam setahun, dan menghasilkan lebih dari 200.000 poundsterling tiap tahun. Mereka melakukan ini dengan menjual harga majalah di atas ongkos produksinya. Angka tersebut mungkin tidak terlihat banyak, tetapi jelas lebih ekonomis untuk jangka panjang dibanding publikasi yang berbiaya tinggi dan menghasilkan jutaan, tetapi masih bimbang dengan model bisnisnya.
"Saya tidak pernah melihat publikasi digital yang benar-benar sukses," kata Orchard. "Saya sering melihat orang tiba-tiba terjun ke digital, berpikir bahwa itu adalah solusinya, tetapi kemudian gamang ketika ia tidak tahu bagaimana cara menghasilkan uang darinya."
- Terjemahan dari bab Revenge of Print pada buku The Revenge of Analog: Real Things and Why They Matter karya David Sax (Public Affairs, 2016). Bukunya bisa dibeli di sini.
- Kredit foto: Shutterstock.com
Posting Komentar