Kembalinya Media Cetak (Bagian Keempat - Akhir)
https://www.helmantaofani.com/2018/10/kembalinya-media-cetak-bagian-keempat.html?m=0
Bila majalah menampakkan tanda-tanda cerah di platform cetak, maka jalur yang ditempuh koran lebih berliku. Bisnis koran dibangun dengan intensi produk ini sebagai kendaraan informasi yang paling mutakhir dan relevan. Untuk hal ini, media cetak jelas tidak bisa bersaing dengan digital. Bila koran ingin tetap menjadi medium analog yang bernilai, konsep dasarnya perlu dipertimbangkan kembali.
Kebanyakan koran harian masih mencari jalan keluar untuk masa depan mereka. Salah seorang yang dibebani tugas ini adalah Jon Hill, kepala desainer untuk koran konservatif Inggris, The Daily Telegraph. Ia tengah merencanakan redesain besar-besaran untuk versi cetak dan digital The Telegraph ketika kami bertemu di kantornya. Untuk mencari pijakan baru di bisnis penerbitan era posdigital, Hill merasa koran cetak harus dipersepsikan sebagai produk mewah (luxury product). Hal itu tidak berarti koran harus tampak glossy dan mempunyai karakter seperti majalah. Lebih kepada kemewahan esoterik dari informasi berkualitas, serta pengalaman membaca di kala arus informasi gratis kian tak terkendali.
"Membaca koran, kini, seharusnya jadi pengalaman yang menyenangkan," kata Hill sambil membuka lembaran Telegraph di meja. "Harus jadi kegiatan yang kita nikmati. Tidak hanya menerima sepaket informasi, tetapi juga pilihan kita."
Ia menganalogikan koran dengan perpusatakaan. Pengalaman yang seharusnya dirasakan lebih superior ketimbang menikmati noise di timeline Twitter. The Telegraph menganggap produk cetak (seperti koran) memiliki headline-nya lebih lantang terdengar ketimbang sekadar kata-kata yang muncul di layar. "Tidak usah malu mengakui ini layaknya pohon tumbang. Kita kelola saja si pohon tumbang ini." Hill mengatakan bahwa edisi cetak The Telegraph masih menjadi penghasil uang yang utama. Kasus serupa bagi banyak koran termasuk New York Times (NYT).
NYT adalah koran yang mengharuskan saya membayar 300 dollar AS setahun untuk mengakses versi digitalnya (dan sukses meyakinkan pembacanya untuk membayar). Pada 2014, NYT mengadakan riset etnografi di rumah-rumah pelanggan cetaknya. Yang mereka temukan adalah meski ada core pembaca tradisional (misalnya wanita tua yang tinggal di Upper West Side, Manhattan, yang membaca Sunday Times sambil makan bagel dan kopi di Zabar's), sejumlah pelanggan baru edisi cetak justru pembaca muda, yang secara sadar memilih koran.
Responden menyukai pengalaman membaca koran dengan informasi yang bernas (aspek kemampuan menyelesaikan). Mereka juga suka dengan bagaimana berita-berita dikurasi serta ditata untuk membuat narasi untuk memahami konteks editorial yang lebih besar. Riset menyatakan bahwa pembaca cetak NYT menghabiskan waktu lebih banyak untuk membaca berita dibanding pembaca digital. Mereka menyukai aspek keterkejutan dalam menemukan dan membaca berita-berita yang tidak diniatkan untuk dicari sebagaimana pembaca digital.
Ritual membaca tersebut termasuk melahap rubrik-rubrik khusus pada waktu yang khusus pula. Pelanggan koran yang masih muda banyak yang menginginkan untuk melepas diri dari gadget, tetapi tetap terhubung ke dunia dan informasi di baliknya sebagai bahan obrolan dengan anak-anak mereka (yang sehari-hari terpapar ponsel atau tablet).
"Daya tarik koran cetak adalah ia bukan website," kata Tom Bodkin, wakil redaktur pelaksana sekaligus Chief Creative Officer NYT. Ia meneliti desain koran dan properti digitalnya. "Aku sangat menyukai koran. Aku menyukai teknologi usang. Aku mengoleksi teknologi purba, termasuk sepeda motor klasik dan kamera film. Aku menggunakan mereka. Tetapi aku sadar bahwa mereka tak akan bertumbuh lagi."
Meski revenue dari koran cetak cenderung stabil, mereka tetap tidak akan menghasilkan pertumbuhan. Yang mungkin terjadi, kata Bodkin, koran cetak akan mempertahankan core audience, tua atau muda sekalian. Sama seperti piringan hitam. Core pembaca itu yang kemudian akan menjadi basis utama dari brand. Mereka membaca NYT di ruang pribadi, tidak terganggu dengan berbagai tautan atau gangguan sumber berita lainnya.
"Ketika kita membaca New York Times, kita tidak merasakan tengah membaca di platform yang sama dengan orang lain." Sementara media digital seperti BuzzFeed atau Huffington Post (mengaku) mempunyai audiens lebih banyak, loyalitas pembaca mereka sama sekali bukan tandingan pembaca New York Times. NYT berinvestasi pada brand dan identitas dari masa ke masa dengan banyak upaya. Sedangkan BuzzFeed dan Huffington Post hanya mengandalkan klik dan kunjungan sesaat pada headline-nya saja. BuzzFeed mungkin telah mempekerjakan penulis konten yang hebat, beberapa kali menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas, tetapi artikel aneh seperti mencicipi sembilan merk makanan kucing masih mendatangkan traffic yang siginifikan.
Langganan digital, seperti punya saya, memberi stabilitas finansial bagi NYT untuk membiarkan edisi cetaknya settle ke skala bisnis yang lebih kecil, yang lebih niche. Tetapi koran lain yang menggratiskan versi online-nya kini terperangkap di antara cash yang menipis dan inisiatif digital masa depan yang menggerus uang. Tidak ada koran yang bisa jadi contoh paradoks seperti itu dibanding The Guardian, yang memproklamirkan diri sebagai leader dalam digital newsgathering.
"Tak ada yang bingung mengenai ke mana perusahaan ini akan menuju," kata Robert Yates, kepala desk The Observer, koran Minggu The Guardian, ketika ditemui di pub yang terletak di bawah tangga kantor Guardian di depan stasiun King's Cross (London).
"Mempertahankan koran cetak bagi kami bukan hanya sebuah pilihan estetika. Koran cetak masih menjadi tulang punggung revenue kami, meski proyeksi revenue dari online juga sejauh ini masih dirasa cerah." Pembaca cetak The Guardian mencapai dua setengah kali lipat pembaca digitalnya. Angka itu jelas masih menggiurkan bagi pemasang iklan. Tetapi jumlah tersebut terus menurun. Sebagaimana koran lain di London, Yates merasa bahwa koran masih punya masa depan sebagai barang mewah. "Ketika majalah mingguan dari koran beredar di 1960-an, mereka merupakan barang mewah yang didorong oleh kepintaran agensi-agensi iklan untuk mencari segmen pembaca baru sekaligus membuka outlet baru untuk konten kreatif mereka."
The Guardian bereksperimen dengan mengawinkan teknologi dan model bisnis baru untuk menciptakan produk koran yang sesuai dengan masa depan. Pada 2013, The Guardian meluncurkan The Long Good Read, kompilasi ringkasan konten yang paling banyak mendapatkan komentar, paling banyak dibaca dan berbagai konten menarik dari algoritma website The Guardian. Produk ini dicetak dan dibagikan gratis di kafe milik The Guardian di East London.
The Long Good Read kemudian berubah menjadi Contributoria, proyek platform jurnalisme patungan (crowdfunded online). Editor menyodorkan tema, jurnalis-jurnalis freelance akan pitch ide mereka. Pembaca memilih cerita apa yang ingin mereka baca, dari ide dan tema yang masuk pitching. Tiap bulan, konten terbaik dari Contributoria dicetak di koran, dikirim ke pelanggan, dan dikemas bersama edisi khusus The Guardian.
"Dengan digital, kita mendapatkan audiens masif dengan jangkauan global, tetapi pengalaman membaca dan mencerna yang didapatkan dari edisi cetak masih tak tergantikan," kata Matt McAlister, General Manager lini bisnis digital The Guardian, sekaligus CEO dari Contributoria. "Saya pikir orang-orang yang sangat menghargai pengalaman membaca lebih memilih edisi cetak."
McAlister bukan berasal dari kalangan koran Inggris old school yang lekat dengan noda tinta dan kertas. Ia dari Amerika, dan dulu bekerja di perusahaan media Silicon Valley, termasuk Yahoo!. McAlister adalah orang di balik inisiatif The Guardian untuk ke digital. Solusinya terhadap edisi cetak adalah berdasarkan premis bahwa koran bisa dicetak sesuai permintaan (print on demand). "Proyek seperti Contributoria atau The Long Good Read mudah dibayangkan sebagai dunia di mana koran beroperasi seperti itu," kata McAlister, delapan bulan sebelum ia mengakhiri proyek Contributoria.
Perusahaan yang membuat eksperimen The Long Good Road dan Contributoria dimungkinkan, serta meletakkan fondasi on-demand, adalah Newspaper Club yang berbasis di Glasgow, Skotlandia. Newspaper Club didirikan pada akhir 2008, ketika Tom Taylor, Russell Davies, dan Ben Terrett membuat koran yang diberi nama Things Our Friends Put on the Internet in 2008. Koran tersebut mereka pakai sebagai kado bagi 50 orang tamu yang hadir di kantor mereka saat pesta Natal. Sesuai namanya, korannya berisi konten, gambar, dan status yang pernah diunggah oleh tamu-tamu mereka. "Kami tertarik pada benda fisik," kata Taylor, seorang desainer software yang kini bekerja pada perusahaan pembuat kartu nama, MOO. "Orang-orang yang bekerja di dunia digital, seperti kami, justru tidak lagi ingin menggunakan benda-benda digital lagi."
Ketiga tiga orang tersebut menghubungi perusahaan percetakan koran di Inggris untuk mencetak Things Our Friends Put on the Internet in 2008. Mereka menghadapi masalah. Percetakan koran biasa mencetak dalam jumlah masif sekaligus. Minimal puluhan ribu kopi. Meski sejumlah percetakan mulai hilang karena penurunan penjualan koran, mengelola percetakan yang melayani jumlah kecil tidak menguntungkan. Mereka akhirnya menemukan percetakan yang bersedia mencetak hanya seribu kopi untuk Things Our Friends Put on the Internet in 2008. Beberapa kopi diberikan gratis, beberapa dijual di blog mereka. Hebatnya, semuanya ludes.
Tiga orang tersebut menganalisa dua tantangan krusial mengenai kunci sukses bisnis, yaitu pasar dari produk (koran custom), dan kapasitas yang tidak terpakai di industri yang melayani mereka. Apabila mereka bisa menyediakan cara yang mudah untuk merancang koran, dan bisa mencetaknya, maka mungkin koran akan kembali bisa diakses untuk semua orang. Kuncinya adalah munculnya digital printing, dengan teknologi mesin cetak inkjet yang memungkinkan koran dicetak dengan jumlah kecil. Dengan standardisasi layout dalam format tertentu, bahkan memungkinkan untuk mencetak hanya satu kopi koran. "Ini sangat menarik," kata Taylor, "karena itu membuka semua kemungkinan."
Awal dari bisnis mereka adalah layanan berupa Paper Later, yang memungkinkan pengguna untuk menyimpan artikel-artikel dari internet, dan dicetak sebagai koran. Paper Later lantas melahirkan Newspaper Club, yang sekilas memberi gambaran solusi bagi penerbit koran. Semua orang bisa mengunggah desain ke website Newspaper Club, memilih ukuran, gaya, dan kuantitas yang dibutuhkan, lalu langsung dicetak, dikemas, serta dikirimkan ke manapun di seluruh dunia.
Koran yang mereka cetak beragam. Dari proyek sekolah, koran SMA, jurnal seni budaya, katalog clothing, presentasi bisnis, event musik, festival kuliner, hingga suvenir pernikahan. Kadang-kadang, Newspaper Club bisa melayani pencetakan koran untuk retailer besar atau agensi iklan. Frekuensinya sesering mereka tiba-tiba melayani seorang remaja yang ingin membuat koran. Newspaper Club ini ibarat platform blog versi analog. Ia melayani segala bentuk permintaan cetak, dan meluncurkan slogan "Print's Not Dead".
Newspaper Club kini dikelola oleh Anne Ward, mantan pustakawan dan penulis buku travel dari Glasgow. Perusahaan tersebut kini menangani koran dengan oplah paling banyak 70.000 kopi. Namun, mayoritas proyeknya berkisar di koran dengan angka oplah sepuluh kopi atau lebih sedikit lagi.
Ketika kami bertemu di London, Ward mengatakan bahwa Newspaper Club akan mencapai milestone mencetak koran ke-8 juta mereka. "Kami merayakan pencapaian per-juta koran, dan tiap tahun jarak perayaannya makin dekat." Perusahaan tersebut kini bertumbuh lebih dari 40% per-tahun dan menghasilkan profit sejak 2013. Pelanggan mereka rata-rata di Inggris dan bertumbuh pesat di Amerika Utara.
"Kami tidak terlibat sama sekali dengan konten. Koran tradisional itu bisnis yang payah. Mereka mencetak banyak konten yang tak dibutuhkan, dan orang-orang mulai kehilangan kepercayaan terhadap mereka," kata Ward terkait skandal hacking tabloid di Inggris yang sempat mencuat. "Namun, koran masih menarik pembaca. Koran itu mudah, dan masih merupakan cara penerbitan yang efektif. Ketika percetakan makin jarang, kesempatan untuk melayani permintaan-permintaan receh ini mulai naik. Di situlah kekuatan kami."
Delapan puluh persen order Newspaper Club datang dari koran dengan oplah di bawah 300 kopi. Permintaan ini dilayani dengan sebuah percetakan di dekat London. Untuk permintaan yang besar, order dikirim ke Sharman's, percetakan koran tradisional yang terletak di luar kota, yaitu di kota kecil Peterborough.
Sehari sebelum bertemu Ward, saya berkereta ke sana untuk bertemu Mark Sharman, generasi keempat dari keluarganya yang mengelola percetakan sejak 1910. Mark Sharman berusia 40-an, berambut shaggy dan mempunyai senyum lebar seperti Charlie Watts, drummer Rolling Stones. Kakek buyutnya yang membangun bisnis percetakan koran untuk kota-kota di Inggris, terutama koran dengan oplah antara 50.000 hingga ratusan ribu kopi sekali cetak.
Di awal 2000-an, pengusaha koran melakukan konsolidasi global, mengakuisisi koran-koran lokal dan tentu saja operasionalnya. Sharman's kehilangan banyak kontrak pencetakan. Yang paling parah pada 2006, dengan 60% lebih bisnis percetakan langsung hilang. Mark Sharman menemui saya di ruangan dengan peta Inggris Raya terisi dengan berbagai titik-titik kecil penanda percetakan koran lain yang masih beroperasi. Sejak ia terjun ke bisnis cetak pada 2002, jumlah titik-titik di perta tersebut sudah berkurang separuh.
Untuk bisa survive, Sharman's mulai menerima order dalam jumlah kecil yang ditolak percetakan lain. Koran sekolah, koran dewan kota, brosur, atau buletin. Beberapa tahun sebelumnya, ia mendatangi festival musik dan menemukan Newspaper Club, yang mencetak itinerari acara. Ia tertarik dengan pendekatan baru mereka dan akhirnya berbuah kesepakatan untuk menangani order besar dari Newspaper Club.
Awalnya, hanya satu-dua order cetak yang ditangangi Sharman's tiap pekan. Kini, mereka menangani order hingga 25 publikasi dari Newspaper Club per-pekan, mewakili 20% dari keseluruhan order Sharman's, serta menghasilkan profit paling besar. Tahun lalu, Sharman's membeli sebagian saham di Newspaper Club untuk mengamankan order mereka, yang kini jadi salah satu lini profit.
Di ruang percetakan, sebuah mesin cetak raksasa tengah mencetak di atas gulungan kertas yang berputar cepat, melalui deret tinta dan plat untuk memproduksi order terbaru dari Newspaper Club. Sebuah panduan acara festival kuliner di Irlandia yang dicetak full-color. Tak lama, sebuah koran yang sudah terlipat muncul di ujung mesin. Mark Sharman mengambil satu kopi dari rak sortir dan membolak-balik hasilnya untuk cek warna, kontras, dan resolusi.
"Tanpa Newspaper Club, situasi akan sangat sulit bagi kami," kata Sharman di balik ribuan kopi koran yang baru selesai dicetak. "Kami mungkin di situasi koran menurun, tetapi nyatanya kami bisa ada di sisi bisnis yang trus bertumbuh."
Saya melihat ke sekeliling gudang Sharman's dan menemukan banyak bundel koran yang berasal dari Newspaper Club, dari tesis desain grafis hingga The Bedford Clanger, koran seni dan budaya dari Bedford yang didirikan Erica Roffe pada 2011 dengan oplah 40 kopi, setelah tahu tentang Newspaper Club di internet. "Saya pikir kemudahan mencetak melalui Newspaper Club akan meningkatkan minat di level grassroot," tulis Roffe melalui email. "Ketika koran nasional menurun, banyak publikasi niche yang akan muncul."
Di tengah lautan koran di gudang Sharman's ini saya memikirkan ke pertanyaan awal. "Ngapain bikin buku?" Hal itu yang membawa saya ke London. Ada banyak jawaban logis mengapa orang masih memilih media cetak. Pembaca lebih memerhatikan media cetak, iklan juga lebih bagus di media cetak. Produk cetak juga lebih bagus dan punya model bisnis yang sederhana. Tetapi yang kuat bagi saya justru alasan irasional mengapa saya masih percaya ke medium cetak.
Saya menulis sejumlah buku dan artikel untuk media cetak karena kecintaan terhadap produk cetaknya. Kecintaan yang diturunkan dari orangtua saya, dan hal yang mereka perlihatkan ketika sering membelikan saya buku atau majalah. Rumah kami diisi dengan berbagai pustaka cetak. Kecintaan itu tampaknya juga menular ke anak saya. Tiap malam ia akan memilih buku dari rak untuk dongeng pengantar tidurnya. Hal seperti itu mengembalikan keyakinan saya akan hal baik di dunia. Seperti yang diungkapkan cedekia abad ke-12, Judah bin Tibon, "Jadikan buku sebagai hartamu dan rak-rak baca sebagai kebun kebahagiaanmu."
Kecintaan terhadap produk cetak membawa saya ke seluk-beluk industri analog ini. Saya menulis untuk mengisi halaman-halaman buku yang akan dibaca orang lain. Inilah yang saya kerjakan. Saya adalah pembaca sekaligus penulis. Namun, untuk menulis tanpa tahu proses akhir itu semua mewujud ke hal fisik, tinta ke atas kertas, kemudian menjadi sebuah produk yang dibeli dan dibawa pulang ke rumah, bagaikan menghilangkan segala kepuasan atas pemcapaiannya.
Mengapa memilih buku? Mengapa memilih produk cetak? Karena itu nyata. Karena saya bisa memegangnya begitu selesai dicetak, melihat nama saya tertera di sampul, dan tahu bahwa jerih-payah saya selama ini ada hasilnya, terlepas dari sebanyak apa yang terjual. Rasa tersebut adalah kemewahan yang sangat berharga, yang saya bersedia berdarah-darah untuk hal itu, baik sebagai pembaca atau penulis.
"Kita tidak bisa mengalahkan hal-hal yang ragawi, mengambil sesuatu, meletakkan sesuatu, mengapit, dan membacanya di kereta," kata Ward sambil mengambil sebuah koran yang tersedia di pameran seni. "Inilah perwujudan sederhana bagi sebuah ide yang menjadi nyata."
- Terjemahan dari bab Revenge of Print pada buku The Revenge of Analog: Real Things and Why They Matter karya David Sax (Public Affairs, 2016). Bukunya bisa dibeli di sini.
- Kredit foto: Shutterstock.com
Posting Komentar