Kembalinya Media Cetak (Bagian Ketiga)
https://www.helmantaofani.com/2018/10/kembalinya-media-cetak-bagian-ketiga.html?m=0
Ketika digital jelas diuntungkan dengan skema distribusi, profit model-nya masih jadi misteri. Di balik segala kehebohan mengenai matinya media cetak, kebanyakan media digital ternyata masih merugi. Hal itu mematahkan asumsi bisnis industri media digital, yang bagi saya tercermin pada suatu ketika di Oktober 2008, melalui komentar salah seorang pengunjung pesta yang diselenggarakan Gakwer (web gosip yang berkembang jadi kerajaan media digital) di New York.
Yang berkomentar ini adalah seorang blogger. Lehman Brothers baru saja kolaps beberapa minggu sebelumnya, harga saham sedang anjlok, dan resesi mulai membayangi industri media. Media cetak bertumbangan dan PHK di mana-mana. "Fantastis," katanya ketika kesuraman media cetak mulai terpapar. "Seluruh iklan yang tadinya mengisi Conde Nast akan berpindah ke kita!" Ia ternyata hanya separuh benar.
Resesi mempercepat perpindahan uang iklan dari media cetak ke platform daring. Sayangnya, tidak semuanya berpindah ke media digital. Uangnya menyebar ke seluruh web. Craiglist dan eBay mendapatkan uang dari iklan baris. Google Adwords dan Yelp mendapatkan uang dari bisnis lokal. Brand dan pengiklan kakap membayar untuk berbagai halaman web yang secara otomatis diatur oleh software (programatik). Uang para pengiklan menyebar ke lebih banyak tempat sehingga berperan dalam penurunan biaya iklan dan membuat baik media digital dan cetak makin merana.
Suatu hari di London, saya ngobrol dengan Jane Wolfson dan Steve Hare yang bekerja untuk sebagai media planner untuk agensi Initiative. Agensi ini menangani planning pemasangan iklan untuk brand seperti Coca Cola dan Amazon. Hare berujar bahwa tren untuk beralih dari media cetak telah menggerus budget iklan yang tadinya 30% (dari share semua platform) pada 2005 menjadi hanya 7% di 2015. Seluruh persentase yang hilang lari ke digital (karena share untuk TV, billboard, dan media lain relatif tetap).
"Saya pikir itu efek headline (media cetak akan mati) saja," ujar Wolfson sembari menjelaskan bahwa klien akan enggan menginvestasikan ke sesuatu yang turun. Meski demikian, kekuatan media cetak bagi pengiklan sesungguhnya tidak hilang. "Media cetak selalu menghasilkan dari sisi ROI (return of investment) murni," katanya.
Iklan cetak mempunyai engagement yang lebih tinggi ketimbang iklan digital. Iklan cetak dilihat lebih lama, dan baik brand maupun media mempunyai kontrol yang lebih besar mengenai bagaimana dan kapan iklan akan tayang. Bandingkan dengan metode algoritma yang ada di iklan digital yang mungkin akan membawa iklan ke konten hoax mengenai video seks Kate Middleton (pengalaman yang benar-benar saya alami). Kala iklan digital acap dipandang mengganggu, seolah memohon untuk di-klik atau menghalangi pandangan sehingga disingkirkan dengan ad-blocker, iklan cetak bisa berdampingan dengan konten editorial. Pada kasus media seperti Vogue, iklan bahkan jadi salah satu alasan kenapa pembaca membeli majalah tersebut. Setara dengan konten editorialnya.
"Saya berani bilang bahwa audiens media cetak lebih berharga daripada audiens digital," kata Wolfson. "Mereka mempunyai perhatian lebih serta loyalitas kepada produk (media), yang berdampak positif bagi pengiklan."
Berdasarkan survei terbaru dari Magnetic, agensi pemasaran industri majalah Inggris, 90% pembaca majalah melihat iklan (paling tinggi dibanding seluruh media lain). 70% dari yang melihat iklan mem-follow up dengan mencari tahu, mengunjungi (tempat atau situs), dan membeli produk. Persentasenya jauh lebih rendah di online. "Sangat sulit untuk membangun brand di online," ujar Hare, "karena seringnya orang keluar-masuk halaman, sangat cepat sehingga susah untuk membangun relasi dengan audiens macam itu."
Fenomena ini menjelaskan mengenai revenue yang diraih media dari iklan. "Iklan digital masih seperti keping koin 20 sen, sementara iklan cetak seperti lembaran dollar," kata Nicole Vogel ketika kami bersua di Houston pada 2014. "Revenue iklan digital itu seperti kuahnya saja."
Vogel adalah presiden dan pendiri majalah Houstonia, bagian dari Saga City Media Company yang didirikannya bersama saudaranya sepuluh tahun silam. Saga City kini memiliki lebih dari 50 majalah berbayar yang tersebar di seluruh Amerika Serikat, termasuk Portland Monthly dan Seattle Met, serta majalah-majalah lain yang mengalami pertumbuhan pelanggan. Media cetak masih menjadi core bisnis Saga City.
"Media cetak sangat bagus dalam menyampaikan pengalaman marketing," kata Vogel, "karena hal itu tidak mengganggu dan keputusan di tangan pembaca. Karena pembaca yang memutuskan, ia akan memberi waktu yang lebih lama untuk melihat iklan dibanding sebaliknya (seperti iklan pop-up yang dijalankan programatik). Ketika iklan pop-up muncul, kita akan langsung mencari tanda silang untuk menutupnya. Namun, ketika iklan cetak muncul, tidak ada pembaca yang lantas menyobeknya karena merasa dipaksa melihatnya."
Tanpa dana dari pemodal, media digital menghabiskan lebih banyak uang untuk memproduksi konten daripada menghasilkannya melalui revenue iklan. Hal ini bukan revolusi yang diharapkan di dunia media atau tidak memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi. Sederhananya, ini adalah situasi bisnis yang memburuk.
Saya sudah pernah didekati oleh berbagai editor blog, apps, website, dan "bentukan baru storytelling digital" lainnya yang meminta kontribusi konten. Ketika saya menanyakan akan dibayar berapa, jawabannya tidak pernah jauh dari "kami belum bisa membayar penulis saat ini, tetapi kami bisa memberi exposure". Saya selalu menjawab bahwa saya lebih butuh uang daripada exposure. "Recehan digital melawan duit cetak," kata seorang penulis di London untuk menggambarkan persaingan ini dalam sebuah adagium.
Salah satu perbedaan mendasar antara media cetak dan digital adalah kemampuan untuk memasang tarif terhadap produknya. Kebanyakan media cetak harus dibeli, sementara media digital mayoritas gratis. Ini tampak menguntungkan dalam hal menarik sebanyak mungkin audiens untuk pengiklan. Tetapi yang sebenarnya terjadi adalah hal itu menurunkan value dari audiensnya. Beberapa majalah cetak independen kini memilih untuk menjual produk mereka daripada memberikan secara gratis. Model konten gratisan selalu bermasalah, bahkan di media digital.
"Media daring sekarang tenggelam karena kebanyakan konten gratisan," ujar jurnalis Michael Wolff di kolom opini New York Times pada 2015. "Google dan Facebook, agregator universal, mengontrol arus traffic dan secara efektif menentukan harga iklan. Pertumbuhan traffic mereka yang fenomenal telah merusak pasar iklan, yang menyebabkan penurunan harga. Media digital, dari The Guardian hingga Buzzfeed, mampu bertahan hanya dengan strategi menarik traffic, bukan menumbuhkan audiens loyal. Menarik jutaan pembaca yang hanya melihat sekilas sehingga pengiklan tidak mau lagi membayar semahal sebelumnya."
Kasus mengenai model berbayar melawan gratisan bisa dilihat dari The Economist, majalah yang saya langgani lebih dari satu dekade. Sebelum ke London, saya sempat membaca bahwa oplah The Economist tumbuh dari 1 juta per-minggu di 2006 menjadi 1,6 juta di 2015. Tumbuh di saat banyak media cetak mengalami penurunan oplah. The Economist tumbuh meski terus memaksa pelanggannya membayar, baik untuk edisi cetak dan digital, sekitar 150 dollar AS setahun. Harganya sama untuk cetak dan digital.
"Model bisnis kami berasumsi iklan cetak akan hilang," kata Deputi Editor The Economist, Tom Standage, pada sesi makan siang kilat di kedai sushi. "Kami bisa saja memberikan konten secara gratis untuk mendapatkan uang iklan. Namun, ketika tidak ada lagi pendapatan dari iklan, maka kami tidak akan mampu memproduksi konten. Kami tidak tertarik untuk mendapatkan reach. Kami hanya tertarik untuk mendapatkan profit!"
The Economist tidak peduli terhadap cetak atau digital selama pembaca mereka membayar.
Standage berpendapat bahwa edisi cetak The Economist tumbuh karena hal yang ia sebut sebagai "finishability": kemampuan pembaca untuk menyelesaikan satu edisi. Majalah cetak mempunyai batasan jelas yang mana awal, tengah-tengah, dan akhir edisi. Ketika mencapai akhir, hal itu akan menimbulkan rasa puas bagi pembaca. "Kami menjual perasaan 'tambah pintar' ketika pembaca usai menyelesaikan satu edisi," kata Standage. "Itulah katarsis dari menyelesaikan (sesuatu)."
Hal itu kontras dengan website berita yang tidak pernah bisa diselesaikan. Konten mengalir, update, fitur spesial dan sebagainya yang dipromosikan sebagai endless content. Yang menarik, menurut Standage, pertumbuhan audiens The Economist versi digital justru terjadi di pembaca yang tua. Untuk pembaca yang lebih muda, malah memilih edisi cetak. "Kami berasumsi orang yang lebih muda menginginkan The Economist sebagai pendongkrak status sosial," tukas Standage. "Kita tidak bisa menunjukkan ke orang lain apa yang kita baca di edisi digital. Membawa iPad kini tidak membuat orang tampak lebih pintar."
Referensi Standage tentang iPad menyibak cerita lain. Gadget tersebut jadi indikasi gap antara janji manis media digital dan kenyataan. Pada awalnya, media menyambut iPad sebagai solusi finansial mereka dan lekas membuat konten yang sesuai dengan karakteristiknya. Mereka berharap pembaca mau membayar untuk konten eksklusif edisi iPad tersebut, dan mendapatkan edisi standarnya di website secara gratis. Tapi konten di iPad ternyata membutuhkan biaya untuk pengembangannya, dan yang celaka, tidak ada audiens yang mau membayar untuk konten tersebut. Penjualan iPad juga lantas tumbang, sehingga media juga turut meninggalkan pengembangan untuk tablet.
"Dua atau tiga tahun lalu, kita semua percaya tablet akan melejit dan menggantikan platform cetak. Kenyataannya?" tutur Daren Mazzucca dari Martha Stewart Living yang dikutip dari wawancara dengan blog Launch Monitor tahun 2016. "Format cetak masih jadi kendaraan utama yang diinginkan pembaca. Mereka membalik halaman, membawanya, sementara tablet masih teronggok di rak-rak toko."
Jeremy Leslie menggelengkan kepalanya ketika saya menyebut tablet. "Aku ikut di banyak meeting pengembangan konten untuk edisi iPad dan digital. Ketika mereka membicarakan desain dan user experience, aku tinggal berkata 'Format paling pas adalah A4 yang dicetak bolak-balik!' Majalah selalu lebih baik."
Alasan yang sederhana adalah membaca di atas kertas lebih fungsional dan secara alamiah sesuai bagi manusia. Aktivitas itu menggerakkan panca indera sebagaimana dijelaskan oleh Maria Sebregondi ketika menuturkan daya tarik (buku catatan) Moleskine. Meski konten di edisi cetak The Economist sama persis dengan edisi web atau apps, pengalamannya berbeda jauh. Tidak ada bau tinta, suara membalik halaman, meraba tekstur kertas, dan sebagainya di versi digital. Mungkin ini terdengar tidak relevan berkaitan dengan bagaimana sebuah konten dicerna. Tapi coba baca di iPad, semua artikel tampak dan terasa sama. Absennya dinamika dari halaman satu ke yang lainnya menambah perasaan penuh, dari informasi yang juga sudah penuh.
Media digital menyadari hal ini, dan beberapa mulai mencoba untuk berpindah platform ke cetak. Beberapa tahun terakhir, website Pitchfork, blog Politico, media Ibrani Tablet, dan website IT Pando Daily merilis edisi cetak dalam bentuk majalah bulanan yang dipaket dengan piringan itam atau kemasan lainnya.
"Jujur saja, di industri media, cetak jauh lebih bernilai dibanding digital," kata Penny Martin ketika bertemu di kantornya. Martin adalah pemimpin redaksi The Gentlewomen, majalah biannual tentang fesyen yang cukup tenar di skena majalah independen Inggris. Tiap terbit, lebih dari 100.000 kopi terjual, dan edisi lamanya dijual di atas harga eceran. Martin dulunya seorang blogger fesyen yang lambat laun mulai melihat jurnalisme digital mencabut esensi ide dan konten. Sebuah poster bertuliskan "I Blame the Internet" dipasang di dinding kantornya.
"Harapan besarnya selalu akan dapat iklan," aku Martin ketika menceritakan pengalamannya di media digital. "Tetapi iklan tidak pernah datang." Brand fesyen yang kini memasang iklan di majalah The Gentlewomen antara lain Chanel, yang hanya memasang iklan di media cetak karena iklan di digital terlihat tidak eksklusif. Iklan cetak, menurut Chanel, kini jadi barang mewah. "Kalau ada yang bilang kertas makin mahal, makin terbatas, ini justru mengangkat nilai kertas setara dengan kulit," ujar Martin.
Rata-rata majalah yang sukses di Inggris kini mengadopsi konsep mewah dengan konsekuensi ongkos produksi yang dikompensasikan ke harga eceran. Pionir dari model bisnis ini adalah Tyler Brule, jurnalis Kanada yang berbasis di London, yang mendirikan Wallpaper pada 1996 setelah sembuh dari peluru yang menerjangnya di Afghanistan. Setelah ia menjual Wallpaper ke Time Inc, Brule merilis Monocle, majalah berkualitas tinggi dengan kertas eksklusif, fotografi yang dihasilkan dari kamera analog, serta staf, reporter, dan biro yang tersebar di seluruh dunia. Setiap terbit, Monocle hadir dengan ketebalan lebih dari satu inci dan dijual eceran rerata dengan harga 20 dollar AS.
Andrew Tuck, pemimpin redaksi Monocle, menceritakan tentang pendekatan intuitif dari Brule ke industri media justru pada saat media besar beralih dari cetak ke digital. Intuisi itu sangat menghasilkan saat resesi di 2008, atau setahun setelah Monocle terbit perdana. "Krisis terjadi dan kami malah dapat untung besar," kata Tuck ketika kami bertemu di Midori House, markas dari Monocle di London. Sejak saat itu, Monocle bertumbuh sekitar 7% per tahun, tanpa banyak upaya di media sosial, dan tidak satupun memberikan edisi secara cuma-cuma. Meski Monocle mempunyai bisnis sampingan, mulai dari clothing hingga kafe, keuntungan terbesarnya tetap disumbangkan oleh iklan dan penjualan majalahnya.
Tuck yakin format cetak membuat Monocle mampu menjalin hubungan jangka panjang dengan pembacanya. Setiap edisi Monocle bisa dibaca hingga setahun setelah terbit. Majalahnya akan disimpan di rumah para pembacanya, yang mungkin akan membacanya berulang kali kemudian meminjamkannya ke pembaca lain. Di sisi lain, "ketika kita membaca artikel di website atau iPad, kita hanya membaca sekali," tukas Tuck.
Format cetak juga memungkinkan nilai keterkejutan (value of serendipity) karena mereka membaca dengan proses linear (dari depan ke belakang). Hal itu membuat mereka bertemu dengan kisah, gambar, dan ide yang berbeda seiring mereka membalik halaman. Ini tidak ada dalam format digital, dan nilai keterkejutan itu sangat berharga.
Akhirnya, segala sesuatunya tampak lebih bagus dalam edisi cetak. Terutama iklan. Segala keuntungan di atas menjadi nilai tawar bagi harga tinggi yang harus dibayar pembaca atau pengiklan Monocle. "Kami sangat percaya tentang platform cetak sebagai pilihan pemasaran konten kami. Sekarang pendulumnya sudah mulai berbalik," kata Tuck. "Tidak ada romantisme di dunia digital. Romantisme hadir di produk cetak. Bisa dirasakan, indah, dan bisa dicium bau ambisi di tiap halamannya. Kita tidak bisa mencium bau ambisi di laman daring."
Romantisme analog dan bumbu ambisi adalah bahan jualan Monocle.
- Terjemahan dari bab Revenge of Print pada buku The Revenge of Analog: Real Things and Why They Matter karya David Sax (Public Affairs, 2016). Bukunya bisa dibeli di sini.
- Kredit foto: Shutterstock.com
Posting Komentar