Menghindari Tabu Diskusi Politik
https://www.helmantaofani.com/2018/11/tabu-diskusi-politik.html?m=0
Ada pertanyaan di Quora yang berbunyi seperti ini:
"Jika kamu mendukung Prabowo Subianto dalam pemilu 2019, apa alasanmu memilihnya? Apa kelebihan Prabowo Subianto jika dibandingkan dengan Joko Widodo?"
Sekitar seminggu lalu (14/11), jawaban paling populer (di-upvote) adalah bahwa Prabowo Subianto mempunyai seekor kucing yang dibuatkan akun instagram-nya sendiri. Jawaban tersebut menjadi yang paling populer di antara tiga jawaban lain. Dilihat lebih dari 2000 kali, dan di-upvote sekitar 20 orang.
Terus terang, saya cukup sedih juga melihat realitas ini. Bahwa politik menjadi seperti tabu dibicarakan baik-baik. Mengenai piihan-pilihan kini bisa menjurus ke penghakiman. Sehingga, orang cenderung menghindar atau memilih jawaban yang aman (dan tidak berhubungan) ketika ditanya hal yang (sebenarnya tak perlu jadi) sensitif.
Belum lama, saya mengikuti diskusi yang dibuat oleh Asumsi. Dalam diskusi tersebut, host Pangeran Siahaan mengundang Fahri Hamzah dan Budiman Sudjatmiko sebagai narasumber mengenai kewarasan dalam politik. Intinya, diskusi dan debat itu penting, tetapi lebih penting lagi ketika diskusi itu ada dua belah pihak yang saling menyeimbangkan.
Keseimbangan ini yang kini mulai pudar, dikhawatirkan baik oleh Budiman dan Fahri, yang bisa membahayakan demokrasi itu sendiri. Contohnya, penghakiman cepat yang dilakukan kubu pendukung pasangan capres di internet. Kemudian echo chambering, yang kerap dilihat postingan si A (yang condong ke kubu tertentu), tentu akan diramaikan juga oleh pendukung atau kubu yang sama. Hal seperti ini membuat orang (biasa) semakin menghindari diskusi politik.
Hajatan politik kini dipandang sebagai sesuatu yang mengerikan. Sahih juga sebenarnya, karena pengalaman traumatis di hajatan sebelumnya. Namun, perlu juga adanya penyeimbang. Argumentasi yang valid, tidak berdasarkan penghakiman dan stigma, dan masih memperhitungkan bahwa opini orang masih bisa berubah.
Melihat perdebatan netizen seolah semua warga sudah sepakat antara pilih nomor satu atau dua. Itu karena yang berdebat memang selalu mereka yang sudah menetapkan pilihan. Orang-orang yang masih ingin mencari tahu menjadi sungkan untuk terjun karena stigma dan penghakiman itu tadi. Para "swing voters" menjadi ragu untuk mencoba membuktikan argumennya dalam diskusi yang sehat.
Saya berandai jawaban pertanyaan Quora di atas justru dijawab oleh pendukung Joko Widodo sebagai bentuk "self-reflect" atau sekadar "empathic thinking", mencoba berargumen dari sisi seberang. Melihat apa yang dilihat pendukung seberang untuk mengkritisi atau menguji argumennya sendiri.
Bahwa mungkin saja orang akan memilih Prabowo Subianto dengan sudut pandang yang berbeda. Atau orang yang tidak memilih Joko Widodo dengan alasan yang berbeda dari narasi arus utama. Narasi arus utama ini gawat juga sebenarnya, karena di media-media besar, pesan ini seperti diulang-ulang.
Hari ini (21/11), Kompas misalnya, memuat opini mengenai bahaya intoleransi yang menggunakan diksi PKI, kafir, cebong, neraka jahanam, dan seterusnya. Saya setuju. Sama setujunya di sisi lain penggunaan diksi anti-NKRI, anti demokrasi, anti Pancasila, bumi datar, dan kampret juga sama prejudice-nya. Narasi-narasi seperti ini yang celakanya diulang-ulang sehingga mengisi ruang pembahasan publik yang menutupi bahasan lainnya.
Lingkungan warganet kini menjadi "hostile". Tidak ada lagi diskusi baik-baik yang mampu mencerahkan, atau mendapatkan sudut pandang berlawanan untuk memperkuat atau mengganti argumentasi. Dalam hal ini saya rasakan juga, dengan sengaja tidak pernah membahas politik melalui tulisan-tulisan saya di media sosial.
Saya bertekad, mulanya, untuk turut berpartisipasi dengan memberikan tema lain yang tidak mengikuti arus utama. Namun, setelah menjumpai realitas di Quora tersebut, tergelitik juga untuk ikut "nyemplung" di dalamnya. Memberikan opini sebagai orang yang masih mencari, dan mempunyai rasa tidak puas (sekaligus pemakluman) terhadap semua kontestan.
Saya kemudian menjawab pertanyaan di atas dengan sudut pandang yang (semoga) berbeda. Tidak lagi memberikan kengerian-kengerian, seperti bila Joko Widodo jadi presiden maka tenaga kerja Tiongkok akan menjadi kasir Alfamart. Tetapi dari perspektif biasa saja. Perspektif seorang swing-voter yang mencoba menguji argumentasi. Tidak harus dengan paparan data "njlimet", karena toh yang ditanyakan juga pendapat kita dalam forum yang personal.
Jawaban saya adalah seperti ini.
Posting Komentar