Titip Rindu Buat Ayah
https://www.helmantaofani.com/2018/11/titip-rindu-buat-ayah.html
Kita menyerap banyak di usia "emas". Anak yang banyak tahu. Banyak tanya. Kemudian ketika balig, kecerdasan emosional mulai dibentuk. Mulai mempengaruhi apa yang kita suka dan tidak suka. Pendek kata, selera mulai dibentuk dan akan berhenti, sesuai dengan riset, di usia 30-an.
Selanjutnya, seorang individu akan mulai memompa wawasan lain, yaitu memahami realitas. Ini adalah penempaan utama menuju fase usia 40 tahun dan seterusnya, era belajar kembali dalam wujud kebijaksanaan. Di usia 40-an kita mulai mengerti konteks, atau mengutip frase orang barat, mulai bisa "read between the line".
Fase ini terus berkembang hingga memasuki usia 60-an, ketika otak sudah berhenti berkembang, baik pengetahuan dan kebijaksanaan mulai turun. Yang tersisa adalah rekoleksi, kenangan-kenangan, dan pengalaman. Rekoleksi inipun mulai turun kembali seiring dengan usia hingga mungkin memudar dan meredup.
Hidup itu linier, bukan siklus.
Anak saya, 7 tahun, banyak nanya dan selalu ingin tahu. Tidak apa-apa. Fasilitasi dan layani saja. Kita tidak mesti banyak tahu juga, tetapi berdaya untuk mencari tahu. Ada masanya ia akan stop, dan kita merindukan sosoknya yang banyak tanya.
Dengan remaja, dan orang-orang yang lebih muda (saya 36 tahun), kita pahami apa yang menjadi pencarian mereka. Biarkan berkembang dan mencari jalan sendiri, tanpa terlalu banyak interupsi. Anak zaman ini banyak mengamati dibanding menanyakan. Saatnya kita tampil sebagai teladan yang baik.
Kita mulai menyadari kapasitas belajar mulai terbatas, sehingga mencari hikmah dari segala pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki. Pemahaman eksistensial mulai muncul, dengan keinginan untuk masuk ke sisi spiritual. Oleh karena itu, belajarlah sebelum usia 40. Setelahnya, mulai amalkan.
Yang paling membuat sedih adalah momentum di mana kita sudah tidak bisa lagi menyerap. Pangkal berbagai konflik dengan orangtua kita. Mungkin kita melihatnya sebagai sosok yang mulanya berwawasan, selalu kita tanya dan teladani. Di masa tuanya dianggap sebagai pribadi konservatif, ketinggalan, dan berpikiran sempit.
Masa ini adalah ketika orangtua kita mengadalkan memori dan rekoleksi dari pengalaman masa lalu. Ia tidak akan bisa mendapatkan wawasan baru mengenai apa itu bitcoin. Ketika Anda mengajaknya berdebat mengenai Jokowi dan Prabowo, mungkin jawabannya kembali ke era Masyumi.
Dan kita menggerutu.
Membahagiakan orangtua yang masuk ke fase rekoleksi ini jadi tolok ukur berbakti sesungguhnya. Mudah saja, mereka hanya ingin ada kita di dekatnya. Kehadiran kita adalah rekoleksi mereka, melihat masa demi masa yang mereka lalui bersama kita. Riset membuktikan, kepikunan lebih cepat melanda orangtua yang tinggal sendirian, terpisah dari anak-anaknya.
Janganlah kau desak ia dengan argumen ilmiah. Janganlah kau kecewa ketika ia hanya mendengarmu bicara, tidak lagi tangkas memulai dan bercerita. Ia tengah menikmati kehadiranmu, denganmu bicara. Mendengar suaramu.
Ayah saya, 72 tahun, kemarin baru saja kami bersua. Ia adalah orang hebat, berwawasan, dengan pengalaman yang sangat luas. Saya menulis ini sebagai refleksi. Saat itu merasa sedikit ada yang berbeda dengan puluhan tahun lalu ketika kami bicara Alvin Toffler, antitesa, konsep masyarakat madani, dan berbagai debat tentang kesahihan hadis.
Ayah saya masih mengajar, berceramah, tetapi saya mulai merasa ia membahas hal yang sama. Terkejut mendengar ia abstain terhadap beberapa isu sosio-politik yang seolah tak lagi menarik. Kecewa mendapati bahwa ia kurang menanggapi ketika saya berkisah mengenai Yuval Noah Harari dan ramalannya mengenai masa depan.
Ketika saya ajak pergi, hening lebih sering hadir di antara kami. Sepanjang jalur kenangan, tempatnya dulu meniti karier di jalan umara dan ulama. Selama tiga dekade ia menjelajah hingga pojok kabupaten. Ia tidak banyak bercerita tentang apa yang pernah dilaluinya dulu. Hanya berkomentar ketika menjumpai masjid di suatu tempat terpencil.
"Ini ayah pernah mengaji di sini."
Lebih sering saya menyetir mencari jalan dan ia tenang, diam. Dalam hening saya lihat ia tengah menunduk. Terpejam mata, seperti tertidur. Ayah tersenyum. Saya lantas menangis.
Sesaat kemudian, saya mengajaknya cerita tentang harapan, mimpi, dan apa yang baru saja saya alami. Saya ceritakan hipotesa saya seperti tiga paragraf di awal. Tidak ada tanggapan. Saya terus bercerita. Tak lagi saya tengok, karena tak ingin mengganggunya rekoleksi, cukup dengan mendengarkan suara anaknya yang sok tahu.
Posting Komentar