Iman ke Lapangan Hijau
https://www.helmantaofani.com/2018/12/match-fixing-bola.html?m=0
Saya menonton bola dari 1996.
Sudah ratusan pertandingan, kekalahan dan kemenangan. Tahu dan sadar sepenuhnya permainan ini bisa memberi apa. Sama sesadarnya ada oknum yang berusaha meraup keuntungan dari hal yang tidak baik di dalamnya.
Apakah itu menghentikan hasrat untuk menyukai bola?
Kemarin satu paket baru saja tiba. Dari Inggris, majalah tahunan These Football Times yang menampilkan edisi sepak bola Italia. Negara yang saya suka, cerminan dari negeri kita juga. Silang-sengkarut, karut-marut, berbagai kasus dan melodrama yang sebetulnya seperti penggemar sepak bola lain, bisa sesederhana ditendang ke laut dan pindah mendukung sepak bola Inggris misalnya.
Menyukai sepak bola ini menyukai kehidupan. Football imitates life. Ada banyak hal-hal yang tidak kita suka ikut hadir dalam imajinasi indah tentang permainan ini. Hidup kita tidak seperti feed instagram, momen selalu senyum di tempat-tempat yang eksotis. Sepak bola tidak selalu perayaan juara. Sering juga kekalahan, blunder konyol, tragedi, hingga kriminalitas macam suap.
Sama seperti hidup, para spoiler brengsek juga selalu hadir. Mereka yang coba menafsirkan peristiwa berdasarkan sudut pandang sempit. Analis-analis dadakan yang baru muncul dati sudut ketika ada hajatan besar. Ketika lampu sorot ada di kita.
Selalu ada opini-opini eskapis yang mencoba aktual. Sama seperti politik dan kebangsaan kita. Mencoba larut dalam latah komentar, menunjukkan kita kritis dan peduli. Tetapi acap abai ke hal dasar. Bila ada kekalahan, itu disuap. Bila ada yang menang, itu curang. Berhenti menonton dan berhenti komentar sajalah.
Di belahan dunia lain ada orang yang sukarela menonton rekayasa pertandingan gulat. Mereka tahu sudah ada yang mengatur dan menyeting. Are they entertained?
Blunder, kekalahan, kemudian kemenangan itu bagian dari iman. Bagian juga dari hidup, we rise, we fall, and rise again. Saya pernah melihat Paolo Maldini melakukan blunder. Saya juga menyaksikan sendiri Cristian Zaccardo memegang medali Piala Dunia, hal yang Maldini tidak punyai.
Saya ikut sedih di berbagai kejadian bersama timnas Indonesia. Tetapi menerimanya sebagai bagian cinta sepak bola. Percaya dan masih melihatnya sebagai harapan. Persetan eskapis dan para apatis. Atau juga para oportunis, politis yang mencoba menyeret ini ke ranah entah.
Suap terjadi, kejahatan terjadi, tetapi demikian juga kesalahan terjadi. Demikian pula keberuntungan terjadi. Manusiawi saja, dan memenuhi pikiran dengan kabut paranoid bahwa segala sesuatunya sudah diatur itu hanya merusak kesenangan. Tuhan saja membiarkan manusia menyibak misteri meski sudah diatur-Nya.
Saya percaya ketidakberuntungan. Saya percaya kemenangan. Saya percaya kiper, bek, gelandang, dan para penyerang. Saya tidak percaya ofisial brengsek berdasi yang duduk di belakang meja berpikir mereka bisa membuat Indonesia juara dunia.
I stand with players!
Posting Komentar