Efek Diksi Kampanye Pemilihan Presiden
https://www.helmantaofani.com/2019/04/efek-diksi-kampanye-pilpres.html?m=0
Apakah hasil pemilu nanti akan sedemikian menentukan nasib sebagaimana yang tercermin dari diksi kampanye?
Diksi-diksi kampanye selalu menarik dilihat. Dulu, yang efektif adalah diksi kampanye yang dibikin oleh Anies Baswedan. "Orang baik pilih orang baik". Ini jelas bikin divider, good and evil side. Dan termakan pula di pendukungnya, sehingga 2014 lalu sengit.
Diksi kampanye juga muncul di 2019 ini. Kubu 02 menggunakan diksi pro dan anti asing. Pro dan anti impor. 2000 T. Bocor. Ibu Nurjanah dari Palembang. Masih seputar program. Bukan hal divisif yang akan menyematkan julukan Bani Nurjanah misalnya. Paling-paling istilah "Raja Kartu" saja.
Sebaliknya, diksi dari kampanye 01 yang masih divisif. Permulaan yang krusial adalah dengan kasus-kasus hoax. Kasus Ratna Sarumpaet paling fatal, karena stigma percaya hoax langsung hinggap di kubu 02 akibat reaktif menanggapi isu ini mulanya.
Fatal karena stigma itu tentu bisa diulang dipakai, dan dugaan saya, bahkan dipancing. Isu-isu macam kontainer kotak suara, dan sekarang surat tercoblos ini sudah sistematis dibuat untuk memancing dan menggariskan "bani hoax". Yang bahaya, diksi seperti ini bisa dipakai untuk menyembunyikan hal lainnya.
Kasus surat suara tercoblos, kontainer, dan sebagainya, apabila bukan merupakan rekasaya, tentu saja akan menguntungkan salah satu pihak. Apabila merupakan rekayasa, bisa jadi senjata juga untuk menghantam lawannya dengan dalih termakan hoax. Apapun yang muncul, akan menguntungkan. So, diksi ini jadi senjata paling efektif untuk digunakan selama kampanye.
Diksi lain adalah tentang Pancasila dan Anti-Pancasila. Isu ini juga efektif digoreng. Ada yang membawa gerbong ide khilafah jadi senjata efektif untuk menstigma 02 sebagai intoleran, konservatif, dan tidak menerima kebhinekaan. Tapi, pendukung 02 banyak yang menerima juga stigma macam ini dan tidak secara cerdas menanggapi.
Diksi anti-Pancasila ini juga gampang digoreng dengan beberapa provokator medsos. Misalnya ketika mengomentari isu terkini. Menggiringnya gampang. Apabila ada kasus intoleransi seperti penolakan rumah ibadah, gampang diasosiasikan ke kubu siapa. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Baca juga: Jangan Lupa Milih Caleg
Sekarang diksi baru mulai muncul, optimis dan pesimis. Diksi ini setidaknya dibawa di kampanye akbar Jokowi dan diulanginya ketika debat terakhir. 01 adalah kaum optimis, 02 adalah kaum pesimis. Dari sisi apa? Dari diksi divisif sebelumnya, pesimisme justru banyak tergambar dari pendukung 01. Takut khilafah, takut hoax, takut anti kebhinekaan. Membayangkan hal-hal yang "seru" bila Prabowo menang, sehingga paranoia berlebihan. Pesimisme juga.
Eh, tanggapan terhadap program juga jarang dibahas.
Bahasan-bahasan yang dibahas seusai kampanye juga masih bersifat sebaran ketakutan. Terakhir di acara nonton bareng debat bersama Asumsi, menanggapi salah satu ronde debat, wakil dari 01 meniupkan ancaman Indonesia seperti Venezuela kalau mengerem keran impor.
Optimis di mananya?
Kritik mengenai laju pertumbuhan ekonomi yang tidak spektakuler bukan bayangan pesimisme. Opini mengenai kebocoran anggaran juga bukan pesimisme. Buruk sangka mungkin, tetapi bersifat skeptis dan kritis ini sejatinya oposisi kan?
Masa sepakat semua?
Betul masih ada diksi sisa-sisa 2014 dan Pilkada DKI lalu seperti anggapan 01 pro-LGBT, pro-Syiah, dan seterusnya. Tapi pernahkah itu diangkat ke mimbar oleh wakil 02? Sebaliknya, semua diksi di atas, tentang hoax, khilafah, anti-pancasila, dan optimis-pesimis pernah dibawakan langsung oleh Jokowi di mimbar kampanye.
Demokrasi adalah Optimisme
Bagi saya, masih adanya pemilu, demokrasi yang baik, dan munculnya kandidat yang bertarung merebut RI 1 adalah optimisme. Pesimisme adalah ketika tidak ada yang berani mengajukan diri bertarung. Kabarnya, itu hampir terjadi apabila tidak ada upaya meyakinkan Prabowo untuk masuk ke kontestasi. Jadi, langkah Prabowo memberikan alternatif ini sebetulnya bukti otentik optimisme.
Saya tidak menilai satu calon kurang dari calon lainnya. Apalagi menentukan pilihan berdasarkan pendukungnya. Yang akan memerintah adalah satu individu di puncak dan jajaran tim yang membantunya. Bukan pendukung. Ada mekanisme yang bekerja untuk menentukan masa depan dan langkah yang diambil negara.
Siapapun yang memenangkan pemilu, hidup jalan terus. Di level bawah seperti saya, masih memutar roda nasib yang sama. Berjuang dalam skala mikro seperti ibu Mia, ibu Nurjanah, dan entah siapa lagi yang ditemui Sandiaga Uno.
Siapapun yang memenangkan pemilu, optimisme dan pesimisme itu adalah karakter dasar manusia yang akan selalu jadi dialektika menarik menjalani hidup.
Siapapun yang memenangkan pemilu, kita akan kembali kepada hoax non hakiki seperti memperpanjang ejakulasi dan penyembuhan kanker di media sosial dan grup WA keluarga.
Siapapun yang memenangkan pemilu, kebinekaan Indonesia adalah keniscayaan dan demikian pula dengan pengaruh globalisasi. Pertentangan dan unformitas itu gejala di seluruh dunia, yang apabila menyebut blangkon secara konsensus tidak trendi dipakai, itu bukan salah golongan tertentu atau bersikap anti-NKRI.
Sampai akhir masa kampanye ini, saya betul-betul gagal melihat realita yang divisif dari kedua pasangan. Cebong dan kampret sejatinya sama saja. Plus dan minusnya tidak sedalam pertentangan pendukungnya. Mereka yang dicalonkan juga tidak sesempurna yang dielu-elukan pendukung.
Sehingga, pada kesimpulan akhir bahwa keriuhan seperti ini sebaiknya dinikmati saja. Menyetujui tagline dari Narasi TV, "politik tanpa baper". Pilih, dan nikmati prosesnya.
Yha, memang begini saja opsi yang tersedia untuk kita sebagai rahayat.
Posting Komentar