Napak Tilas Memori dalam The Lion King
https://www.helmantaofani.com/2019/07/napak-tilas-memori-dalam-lion-king.html
Membuat kesan tentang film Lion King barangkali akan menjadi bias. Sulit untuk tetap objektif, mengingat peranan film klasiknya (1994) yang menjadi salah satu fondasi selera saya sampai saat ini.
Memulai dari kilas balik, saya adalah pecinta mamalia yang hidup di kota kecil. Hiburan saya, saat itu, adalah pemutar video betamax (let's confuse kids nowadays) dengan koleksi kaset terbatas. Mayoritas adalah video dokumenter binatang tentang kehidupan satwa di Serengeti, Afrika. Singa, antelop, citah, dan sebangsanya menjadi menu hari-hari yang kemudian saya hapal anatomi, perilaku, dan ciri khasnya.
Film klasik Lion King yang menampilkan kehidupan koloni singa di Afrika adalah koleksi kaset di akhir periode betamax yang saya punya (atau sewa, agak lupa). Ia berkisah tentang Simba, singa kecil yang merupakan anak dari Mufasa, raja di ekosistem sabana bernama Pride Rock. Kisahnya cukup sederhana, dengan Scar, paman Simba, sebagai antagonisnya, yang menginginkan tahta Pride Rock.
Cerita sederhana ini mungkin bukan kekuatan utama film Lion King. Ialah visualisasi, dialog, dan musik yang demikian paripurna (saat itu). Singkat kata, saya menontonnya, kemudian terobsesi dengannya. Adegan per adegan sangat jelas tergambar. Dialog di dalamnya juga.
Gimmick ikutan dari filmnya kemudian menjadi material koleksi juga. Album stiker, buku, dan yang agak gawat adalah album soundtrack-nya. Mengapa agak gawat? Karena obsesi saya mendengarkan album itu yang di kemudian hari menjadi basis kesukaan saya terhadap hal lain, yaitu musik.
Saya hapal semua lirik, mulai "ngulik" musik-musik yang dikomposisi oleh Hans Zimmer dan Elton John. Ini terus terjadi sampai kesukaan ini coba saya wariskan ke anak-anak. Di sela memori, mungkin jarang anak kuliahan (tahun 2000-an awal) yang mendengarkan soundtrack Disney pada waktu itu. Namun, dalam satu frame kejadian, salah satu yang paling saya ingat adalah lembur mengerjakan tugas malam hari bersama kawan sambil menyanyikan soundtrack Lion King, lengkap dengan dialog-dialognya. Intinya, film klasiknya adalah memento yang sangat membekas bagi saya.
Lion King Versi Baru
So, ketika kabar bahwa Disney akan merilis ulang Lion King dalam wujud film "sebenarnya", tentu saja saya senang.Dan bingung.
Oke, untuk Aladdin, Beauty and the Beast, dan sebagainya, bisa diadaptasi ke film "sebenarnya". Tetapi Lion King ini tidak ada aspek manusia, apakah mereka akan merilis semacam film dokumenter yang dinarasikan? Disney pernah merilis ulang Jungle Book yang 90% diisi karakter hewan. Apalagi ini akan dibabat oleh sutradara yang sama, yaitu Jon Favreau.
Hip atas rilis Lion King mulai naik, bagi saya, ketika album soundtrack-nya dirilis. Komposer musik latarnya masih Hans Zimmer. Mendengarkan lagu-lagu di dalamnya, yang sangat setia dengan rilisan aslinya, (masih) membuat merinding. Kali ini diperbarui tanpa pengisi suara lama seperti Rowan Atkinson atau Jeremy Irons. Mendengar teriakan di awal album (lagu "Circle of Life") ini seperti memutar kembali kaset klasik. Saya berkata ke anak, bahwa nanti kalau menonton di bioskop, jangan kaget. Kemungkinan saya akan menangis apabila napak tilas lagi memento bersejarah ini.
Jadilah kami, pada penayangan perdana (Rabu, 17/7) sudah ada di barisan depan (letterlijk) bisokop. Menanti apa yang akan disuguhkan Jon Favreau. Pada presentasi yang dimulai dengan teriakan "Naaaaaants ingonyama bagithi Baba". Saya mulai emosional.
Loyalitas Terhadap Versi Klasik
Yang namanya napaktilas mungkin sekali-sekali menjumpai memento yang memicu kenangan. Apa yang dilakukan Jon Favreau ini agak keterlaluan. Agak keterlaluan dalam arti sangat positif (bagi saya) karena kesetiaanya terhadap versi klasik. Adegan per adegan ditampilkan sesuai dengan film aslinya. Seolah screenplay-nya langsung menggunakan adegan di film asli. Frame by frame!Binatang-binatang yang tampil juga masih sesuai dengan film aslinya. Yang hebat, semuanya menggunakan model spesies sungguhan. Tidak ada spesies maya. Pada entusias taksonomi seperti saya, melihat citah maka itulah Ancionyx jubatus. Rafiki adalah mandril (Mandrillus sphinx), Zazu adalah rangkong (Ocyceros griseus), gajahnya setia dengan gajah Afrika, dan seterusnya.
Perilaku binatang diamati dengan seksama, sehingga tidak ada kekakuan atau keanehan untuk menangkap adegan "joged" di lagu "I Just Can't Wait to be King" misalnya. Jerapah minum ya dengan pose seperti itu. Animasinya sangat mulus, sehingga ketika ada komentar bahwa menonton The Lion King ini seperti menonton National Geographic, maka sesungguhnya itu adalah komplimen sahih terhadap aspek visualnya.
Music score, yang sangat saya hapal, masih menggunakan Hans Zimmer yang menggubah latar musik di film aslinya. Pada cue tertentu saya akan tahu bahwa ini akan masuk ke babak apa. Tangan saya sering secara instan mengikuti flow musik layaknya konduktor. Berlebihan? Mohon maaf, ini adalah peristiwa emosional.
Dari sisi cerita, film ini juga sangat setia dengan plot aslinya. Bahkan hingga dialog-dialognya juga 60% memuat dialog asal. Kutipan-kutipan seperti "I laugh in the face of danger" masih ada. Yang dikembangkan sesuai dengan konteks adalah improvisasi dan bit-bit komedik dalam scene Timon dan Pumbaa yang diisi duo komedian Billy Eichner dan Seth Rogen.
Apresiasi
Bagi saya, kesetiaan luar biasa terhadap versi aslinya ini merupakan homage yang sangat menyentuh. Dari visual, musik, dan dialog, yang menunjukkan bahwa film The Lion King aslinya adalah sebuah karya yang paripurna. Sehingga ketika ada kekurangan, yang muncul tentu saja perbandingan dengan aslinya. Satu yang mungkin akan terasa hilang adalah karakter pengisi suara Scar (kali ini diisi oleh Chiwetel Ejiofor) yang inferior dibanding film aslinya (diisi dengan suara kharismatik Jeremy Irons).Perubahan karakter ini dikompensasi ke lagu "Be Prepared" yang dimodifikasi. Mungkin juga dengan improvisasi visualisasi yang di film aslinya menampilkan hyena berbaris ala Nazi. Lagu "Be Prepared" yang asli, diisi oleh Irons, adalah salah satu fitur terbaik. Adegan di sana juga menjadi pivot point cerita. Lagu penggantinya, di versi baru, nyaris bersifat seperti filler yang hanya menjadi bridging atas adegan berikutnya (stampede).
Bagaimana dengan sudut pandang para penonton baru, atau yang tidak memiliki ikatan dengan film aslinya? Tentu saja akan berbeda. Grip mereka akan terpaku pada cerita, yang seperti saya tulis di atas, bukan kekuatan utama dari film klasiknya. Cerita demikian dengan visualisasi realistis menjadi tampak aneh, karena komentar seperti menonton film dokumenter bagi penonton normal yang mengharap hiburan bisa jadi merupakan sebuah apresiasi negatif. Ada tautan besar, berupa konteks ke film aslinya, yang mungkin tidak dimiliki oleh semua orang.
Bukan saya tentunya.
Secara keseluruhan, menonton film ini, bagi saya, adalah seperti menapaktilasi kampung halaman yang kini sudah direnovasi. Gambaran-gambaran picturesque dulunya, kini dipampang nyata, sehingga kandungan memorinya keluar semua.
Membuncah.
A version of 13 years old me will die happily in the theater, because my 37 years old version already did.
Posting Komentar