Review Buku Garis Lurus: Romansa dan Tautan-tautannya
https://www.helmantaofani.com/2019/09/review-buku-garis-lurus.html
Karena persamaan premis, saya “menemukan” buku berjudul “Garis Lurus”. Bukan. Bukan bicara tentang akun-akun organisasi keagamaan yang saling klaim kebenaran.
Premis di buku ini mengangkat soal arsitektur dan spektrum autisme. Saya lulus sebagai sarjana arsitektur tahun 2005. Empat tahun kemudian mempunyai anak yang pada usia dua tahun divonis autistik.
Genre fiksi sebetulnya bukan dalam preferensi saya. Lahapan mengenai literatur autisme dan arsitektur, tentu saja, berupa non fiksi. Tapi saya sempat membaca “Curious Incident of the Dog in the Night Time” karya Mark Haddon. Buku fiksi yang berkisah dari sudut pandang anak autistik (asperger) memecahkan kasus matinya seekor anjing.
Nah, “Garis Lurus” karya Arnozaha Win ini juga bicara dalam perspektif orang pertama. Arsitek dengan spektrum autisma (asperger) bernama Miko. Membaca premis, lalu melahap satu bab pertama, sudah bisa diduga jalan ceritanya.
Buku ini sepertinya lebih tertarik untuk berbicara dua hal.
“Iya, keledai. Hewan yang seperti kuda tapi lebih cebol dan berkuping panjang. Ia punya nomenklatur sebagai Equus africanus. Jangan lupa menulis huruf besar pada kata pertama binominal.”
Tapi mungkin itu perasaan bicara dengan orang asperger yang tidak memahami konteks tersirat seperti sarkasme dan sinisme. Seperti karakter Miko yang sayangnya tidak selalu konsisten dengan ke-asperger-annya. Sindromanya muncul sebagai penjelasan glosarium, seperti menjelaskan keledai tadi. Impresi yang mirip ketika pertama membaca "Supernova"-nya Dewi Lestari.
Namun, impresi mengenai ke-special-needs-an yang saya ingin gapai tidak terlalu tampak. Padahal justru ini yang ingin saya gapai saat ini. Fase di mana saya meninggalkan segala keilmuan mengenai ruang dan bangunan, mencoba mendalami dimensi kelima untuk mendapatkan gambar potongan pikiran anak saya yang autisma.
Autisma (asperger) di sini sebagai latar saja. Tanpanya, cerita masih bisa jalan dengan alur yang disepakati. Orang-orang normal membuat kesalahan yang sama seperti Miko terhadap orang lain. Orang-orang normal juga bereaksi yang sama apabila dihadapkan dengan kejadian luar biasa. Semua tentu pernah dengar kata "trauma".
Masa yang sama dengan pergulatan mengenai kontekstual, modern dan posmodern, serta anak-anak belum matang mencoba menafsirkan bebas Jacques Derrida dari literatur membingungkan mengenai dekonstruksi.
Saya berbagi ruang waktu yang sama, sehingga membaca kalimat pembuka mengenai “organisasi ruang” membawa senyum mengingat lagi macam-macam hal yang dipelajari sampai 14 tahun yang lalu.
“Garis Lurus” membawa kembali ke masa-masa yang disepakati kami (saya dan penulis). Bagi yang punya satu interes, barangkali mendapatkan novel berlatar arsitektur ini tidak sama dengan Avianti Arman menceritakan ruang. Sama seperti asperger, ini sebagai latar saja.
Sebagai cerita, "Garis Lurus" sebetulnya sederhana. Amat sederhana sehingga saya selalu berharap ada twist yang membedakan alur dan prediksi kala menerjang berbagai halaman.
Satu lagi kontekstual kuat adalah mengenai lokasi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan lingkungan sekitarnya yang juga menjadi lakon dan latar. Hal ini juga yang membuat tautan tambahan. Saya pernah tinggal tidak lebih dari 2 kilometer dari setting Keputih yang dibicarakan dalam cerita.
Pada akhirnya, memang tautan atau konteks personal terhadap dua hal di atas (atau mungkin minimal satu hal) yang membawa saya menyelesaikan 292 halaman dalam waktu yang relatif lekas.
Premis di buku ini mengangkat soal arsitektur dan spektrum autisme. Saya lulus sebagai sarjana arsitektur tahun 2005. Empat tahun kemudian mempunyai anak yang pada usia dua tahun divonis autistik.
Genre fiksi sebetulnya bukan dalam preferensi saya. Lahapan mengenai literatur autisme dan arsitektur, tentu saja, berupa non fiksi. Tapi saya sempat membaca “Curious Incident of the Dog in the Night Time” karya Mark Haddon. Buku fiksi yang berkisah dari sudut pandang anak autistik (asperger) memecahkan kasus matinya seekor anjing.
Nah, “Garis Lurus” karya Arnozaha Win ini juga bicara dalam perspektif orang pertama. Arsitek dengan spektrum autisma (asperger) bernama Miko. Membaca premis, lalu melahap satu bab pertama, sudah bisa diduga jalan ceritanya.
Buku ini sepertinya lebih tertarik untuk berbicara dua hal.
Asperger
Yang pertama mengenai khasanah penulisnya yang coba diurai dalam berbagai tautan latar. Dari mendefinisikan apa itu TED hingga berbagai istilah yang seharusnya bisa jadi catatan kaki atau glosarium saja. Dalam banyak hal, membacanya agak merasa terganggu saja seperti perumpamaan.“Iya, keledai. Hewan yang seperti kuda tapi lebih cebol dan berkuping panjang. Ia punya nomenklatur sebagai Equus africanus. Jangan lupa menulis huruf besar pada kata pertama binominal.”
Tapi mungkin itu perasaan bicara dengan orang asperger yang tidak memahami konteks tersirat seperti sarkasme dan sinisme. Seperti karakter Miko yang sayangnya tidak selalu konsisten dengan ke-asperger-annya. Sindromanya muncul sebagai penjelasan glosarium, seperti menjelaskan keledai tadi. Impresi yang mirip ketika pertama membaca "Supernova"-nya Dewi Lestari.
Namun, impresi mengenai ke-special-needs-an yang saya ingin gapai tidak terlalu tampak. Padahal justru ini yang ingin saya gapai saat ini. Fase di mana saya meninggalkan segala keilmuan mengenai ruang dan bangunan, mencoba mendalami dimensi kelima untuk mendapatkan gambar potongan pikiran anak saya yang autisma.
Autisma (asperger) di sini sebagai latar saja. Tanpanya, cerita masih bisa jalan dengan alur yang disepakati. Orang-orang normal membuat kesalahan yang sama seperti Miko terhadap orang lain. Orang-orang normal juga bereaksi yang sama apabila dihadapkan dengan kejadian luar biasa. Semua tentu pernah dengar kata "trauma".
Arsitektur
Bagi saya, yang terpaut setahun dengan karakter Miko ketika masuk kuliah, buku ini mengembalikan masa-masa nostalgia era tersebut. Era masih menggambar “free hand”, garis lurus yang disebut Miko mempunya “jiwa”. Era sebelum AutoCAD dan masih menenteng buka Francis DK Ching. Ini aspek yang juga menarik untuk dibicarakan.Masa yang sama dengan pergulatan mengenai kontekstual, modern dan posmodern, serta anak-anak belum matang mencoba menafsirkan bebas Jacques Derrida dari literatur membingungkan mengenai dekonstruksi.
Saya berbagi ruang waktu yang sama, sehingga membaca kalimat pembuka mengenai “organisasi ruang” membawa senyum mengingat lagi macam-macam hal yang dipelajari sampai 14 tahun yang lalu.
“Garis Lurus” membawa kembali ke masa-masa yang disepakati kami (saya dan penulis). Bagi yang punya satu interes, barangkali mendapatkan novel berlatar arsitektur ini tidak sama dengan Avianti Arman menceritakan ruang. Sama seperti asperger, ini sebagai latar saja.
Beli buku Garis Lurus di sini.
Sebagai cerita, "Garis Lurus" sebetulnya sederhana. Amat sederhana sehingga saya selalu berharap ada twist yang membedakan alur dan prediksi kala menerjang berbagai halaman.
Satu lagi kontekstual kuat adalah mengenai lokasi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan lingkungan sekitarnya yang juga menjadi lakon dan latar. Hal ini juga yang membuat tautan tambahan. Saya pernah tinggal tidak lebih dari 2 kilometer dari setting Keputih yang dibicarakan dalam cerita.
Pada akhirnya, memang tautan atau konteks personal terhadap dua hal di atas (atau mungkin minimal satu hal) yang membawa saya menyelesaikan 292 halaman dalam waktu yang relatif lekas.
Posting Komentar