Review Film Ad Astra: Menuju Bintang, Menghayati Keseimbangan
https://www.helmantaofani.com/2019/09/review-film-ad-astra.html?m=0
Ad Astra, film terbaru yang dibintangi Brad Pitt, adalah film fiksi ilmiah mengenai penjelajahan angkasa yang menyiratkan pembelajaran mengenai zen.
Jeda sebulan dari film sebelumnya, Once Upon a Time in Hollywood (OUTH), ekspektasi penonton untuk melihat Brad Pitt (lagi) di Ad Astra mungkin harus di-tuning ulang. Secara film, Ad Astra ada di polar yang berlawanan dengan film Quentin Tarantino tersebut.
Ad Astra berkisah mengenai astronot Amerika, Roy McBride (Pitt). Ia merupakan pribadi yang kalem, tenang, sehingga membawanya ke tugas-tugas penting di luar angkasa. Secara berkala, tingkat stress-nya diukur, dan harus selalu dalam zona tenang. Keputusan yang diambil ketika bertugas sangat menentukan keberhasilan.
Roy mendapatkan tugas untuk melacak jejak ayahnya, Cliff McBride (Tommy Lee Jones). Sama seperti Roy, Cliff adalah astronot juga. Ia memimpin ekspedisi Project Lima yang membawanya hingga ke tepian orbit Neptunus, ujung tata surya yang kita tinggali. Cliff mempuyai misi bahwa manusia bukan satu-satunya peradaban di alam semesta. Ia berambisi untuk menemukan kehidupan lain hingga ke luar tata surya.
Sayang komunikasi Cliff terputus di Neptunus. Beberapa waktu kemudian, badai elektris muncul yang diperkirakan dari Neptunus. Situasi ini membahayakan kehidupan di tata surya. Diperkirakan kondisi ini disebabkan oleh Project Lima. Oleh karena itu, Roy McBride diminta untuk menghentikan aktivitas Project Lima. Untuk menunaikan tugas itu, Roy harus terbang ke Mars. Di sana ia akan mengirimkan pesan kepada ayahnya.
Masalahnya, ayah Roy sudah hilang kontak selama 16 tahun. Ia berpikir McBride senior sudah wafat. Dengan riwayat kemampuannya menghadapi tekanan, Roy dipilih oleh US Space Commando (SpaceCom). Di sinilah axis film ini muncul. Yaitu, apakah Roy bisa memisahkan perasaan dan orientasi tugasnya?
Zen dalam Film
Ad Astra yang disutradarai oleh James Gray ini lebih cocok dibilang sebagai film tentang zen. Zen, seni untuk mencapai keseimbangan dan ketenangan dari Buddhisme Jepang, yang dipotretkan dalam diri Roy McBride. Seluruh elemen dalam film ini berbicara dalam ranah zen. Pelan, datar, dan mengambang seimbang.
Secara pace, kontra ekspektasi dengan film Pitt sebelumnya (OUTH), Ad Astra sangat lambat. Penonton diminta bersabar untuk mengikuti tekanan lambatnya berjalan space walk, dalam kondisi nirgravitasi. Pada penerimaan yang tepat, sisi hebat dari film ini membuat penonton bisa merasakan kondisi tersebut. Sehingga ketika dalam situasi ada gravitasi, perlekatan manusia dengan permukaan bisa ikut dirasakan.
Penerimaan yang tidak tepat, film ini sudah jelas sangat lambat dan membosankan. Pace lain dari sisi cerita juga berjalan seperti space walk itu tadi. Meraba dalam gelap, menanti ke mana cerita akan membawa penonton. Batasan fragmen pembuka, klimaks, dan resolusi sangat tipis dan misterius.
Ad Astra adalah jenis film yang wajib mengendap. Film ini tidak akan membawa euforia seketika keluar dari gedung bioskop. Film ini akan mengambil efek berikutnya, mungkin pagi setelah semuanya meresap. Bahwa James Gray memang mengajarkan kita mengenai zen.
Kita akan dipaksa mengikuti kesabaran yang harus diambil karakter Brad Pitt. Sabar dalam menghadapi plot cerita karakternya. Sabar pula dalam mengikuti gerak-geriknya. Brad Pitt memerankan Roy McBride nyaris niremosi, datar dalam arti yang positif. Kita diminta untuk mengetahui emosinya dari ekspresi yang dibantu dengan narasi.
Orientasi Keseimbangan
Zen berikutnya adalah mengenai sinematografi yang disajikan oleh Hoyt van Hoytema (sinematografer antara lain untuk film Dunkirk). Ad Astra adalah 2001: A Space Odyssey di dekade '10s. Gambar-gambar luar angkasa sangat indah, sehingga apabila ada kesempatan, cobalah menonton di IMAX. Komentar beberapa orang, menonton film ini seperti mengunjungi planetarium. Gambar indah juga didapatkan ketika memberi gambaran lansekap bulan dan Mars.
Semua gambar ini ada keseimbangannya, yaitu antara gelap dan terang. Gray seperti ingin menyajikan keseimbangan purwa yang dikenal dalam berbagai mitologi dan religi. Yaitu antara gelap dan terang, dalam arti visual harafiah atau tersirat. Sebagaimana narasi di awal film yang menyebut setting waktu sebagai "masa ketika harapan dan keputusasaan sudah tidak bisa dikenali lagi".
Keseimbangan juga muncul dari tata suara. Seimbang dalam porsi kesunyian yang membunuh atau kebisingan yang memberi harapan. Sebuah paradoks unik yang bisa dirasakan ketika kita mengambil konteks alam semesta. Bahwa sebetulnya dalam bentang tata surya, skala manusia menjadi sangat kecil. Kita terperangkap dalam kesunyian yang dalam. Sehingga, mendengar deru roket diluncurkan, yang normalnya bising menjengkelkan, menjadi hal yang ditunggu di film ini.
Tema zen di film ini akan membawa ke perenungan mengenai eksistensi manusia dalam konteks yang lebih luas. Digambarkan dalam film ini, penyikapan terhadap pengetahuan ini menumbuhkan kepercayaan dan apati. Berulang kali Tuhan disebut dalam konteks yang sangat pas dan realistis. Berulang kali pula digambarkan bahwa manusia itu ternyata tidak eksklusif di tata surya, dari sisi skala.
Resolusi di film ini mungkin tidak membawa ke sesuatu yang konklusif sebagaimana Interstellar karya Christoper Nolan. Cerita berakhir terbuka yang membawa ke perenungan apakah hidup kita ini merayakan kesendirian (solitude) atau embrace kehadiran kehidupan lain. Silahkan baca sendiri dari ekspresi karakter Brad Pitt.
Oleh karena itu, menonton Ad Astra sebaiknya memang menggunakan tuning ekspektasi yang pas. Ekspektasi bisa berangkat dari film-film seperti Gravity atau Solaris, selain yang sudah disebut di atas. Setelahnya, rileks dan ikuti saja ke mana James Gray dan Brad Pitt membawa Anda ke angkasa cerita.
Posting Komentar