Review Konser Prophets of Rage: Kepalan Tangan Dua Dekade Kemudian
https://www.helmantaofani.com/2019/09/review-konser-prophets-of-rage-kepalan.html
“Apa kalian ingin mendengar lagi hip-hop klasik?” tanya B-Real. “Kalau begitu, aku minta kalian duduk.”
Jelas permintaan yang aneh untuk dialamatkan kepada penonton yang sudah panas di separuh repertoir konser Prophets of Rage. Supergrup yang berisi anggota Rage Against the Machine (RATM), Public Enemy, dan Cypress Hill ini manggung di helatan Hodgepodge Festival, Jakarta Hari Minggu (1/9) kemarin.
Tampil sebagai headliner utama, yang menutup festival musik antargenre dua hari tersebut, Prophets of Rage naik panggung pada pukul 22:30, sesuai dengan itinerari acara. DJ Lord adalah personil yang pertama muncul, membunyikan turntable-nya dengan sirine. Personil lain: Tom Morello, Tim Commerford, Brad Wilk (ketiganya dari RATM); Chuck D (Public Enemy), dan B-Real (Cypress Hill) menyusul kemudian. Memberi kode pada 5000-an penonton untuk mengepalkan tangan ke udara, sesuai backdrop yang menggambarkan kepal.
Sirine adalah kode untuk single pertama supergrup tersebut. Berjudul sama dengan nama band, yang merupakan rework dari lagu Public Enemy. Penonton menyambut daur ulang lagu yang jauh lebih berotot dengan kehadiran rhythm section eks band rap-rock RATM. Percikan api mulai tersulut, dan meledak ketika Tom Morello memainkan intro untuk lagu kedua, “Testify”.
Moshpit dan Penantian
Lagu RATM dari album ketiga tersebut memicu ledakan moshpit di muka panggung. Ini mengesahkan asumsi bahwa sebagian besar hadirin ada di sana untuk RATM. Hal yang bisa diciri dengan mengamati kaos apa yang dikenakan rata-rata pengunjung. Separuh lebih menggunakan kaos Rage Against the Machine. Bisa diperkirakan mereka adalah umat-umat Zack de la Rocha, frontman RATM, yang dulu menjadikan sleeve album sebagai bahan materi kuliah politik dan hukum.Sambutan terhadap lagu-lagu RATM memang lebih meriah. Banyak juga di kalangan hadirin yang “singalong” dalam verse-verse poetik panjang tulisan De La Rocha. Namun, yang paling kentara adalah moshpit yang kian lama kian membesar. Hukum juga berlaku surut untuk urutan album. Artinya, semakin tua lagu yang dibawakan, apresiasi juga membesar.
Konsep ini rupanya disadari juga oleh Prophets of Rage. Susunan setlist konser memberi jeda satu persatu antara lagu Prophets of Rage dan RATM. Mereka menaruh katalog dari album studio terakhir RATM (“Testify” dan “Guerilla Radio”) di awal. Tensi (dan juga moshpit sebagai hubungan sebab-akibat) makin naik ketika “Know Your Enemy” disulut oleh permainan bass Tim Commerford. Tentu saja menjadi koor massal untuk meneriakkan “all of which are American dream” di akhir lagu.
Apresiasi untuk lagu-lagu Prophets of Rage juga tidak terlalu jelek sebetulnya. Katalog yang mereka bawakan cukup dihapal juga oleh para penonton. Terutama “Prophets of Rage” dan “Unfuck the World”. Dua di sesi mula lainnya (“Hail to the Chief” dan “Heart Afire”) juga tetap enak untuk mengantar badan mengikuti beat dan groove dari Brad Wilk cs.
Sesi mula ditengahi dengan DJ set. Para punggawa rhythm section rehat, menyisakan DJ Lord, Chuck D, dan B-Real. Mereka membawakan lagu hip-hop klasik dari Cypress Hill (“Insane in the Brain”). Sesudahnya adalah lagu “Jump Around” yang diawali dengan instruksi B-Real di awal tulisan ini.
Penonton duduk dan jongkok, sampai DJ Lord membunyikan intro yang sangat dikenal anak-anak 90-an dari House of Pain. Sontak semuanya loncat kala bass drop, memberi getaran seismik mini yang mengesankan, sambil terus singalong mengikuti B-Real. Tom, Tim, dan Brad menginterupsi di pertengahan lagu. Membawa gitarnya ke depan drum set Brad Wilk, Tom membunyikan intro “Sleep Now in the Fire”. Moshpit kembali pecah.
Tributasi dan Korelasi
Usai lagu yang videoklipnya dibuat dengan jalan demontrasi di depan Wallstreet tersebut, Tom Morello melangkah ke mik sentral. Ia mengungkapkan sukacitanya bermain pertama kali di Indonesia, tempat yang terpisah ribuan mil dari kampung halamannya. Ia juga mengingatkan bahwa konser tersebut adalah itinerari terakhir bagi kru gitarnya yang sudah bersama lebih dari 25 tahun."Kami senang bisa membawakan pengalaman Public Enemy, Cypress Hill, dan Rage Against the Machine," ujar Tom sembari melepas Chuck D, B-Real, dan DJ Lord rehat ke samping panggung. "Sayang kami tidak bisa membawa pengalaman band kami satunya lagi, Audioslave."
Tentu saja konteksnya adalah karena vokalis Audioslave, Chris Cornell, meninggal pada 2017 lalu. Ia kemudian mengajak penonton untuk mengenang Chris dengan mengisi part vokal pada lagu "Cochise" yang dibawakannya (secara instrumental) bertiga bersama Brad dan Tim. Panggung meredup, dengan cahaya merah berpendar, sementara bagian tengah kosong dan disorot dengan cahaya putih ke arah mik tanpa tuan. Sebuah tributasi yang menyentuh.
Tributasi lain untuk Audioslave disematkan Tom Morello untuk mengawali lagu "Bulls on Parade" dengan memainkan lick "Like a Stone" dengan efek delay. Penonton sudah hapal mengenai ritual tiap kali lagu dari album kedua RATM, Evil Empire (1996) ini hendak dibawakan. Persiapan mosh pit sudah mulai terbentuk, makin meluas, sehingga ketika cue drum dari Brad Wilk dihunjam dengan rhythm intro, keriuhan meledak.
Moshpit berputar, melebar, debu-debu terbang. Melihat sliuet orang-orang didalamnya sepintas seperti berkorelasi dengan judul lagunya. Seolah ada parade banteng-banteng yang membuat keriuhan di depan panggung.
Masih berpeluh debu, energi tersebut tetap dijaga dengan introduksi ke salah satu lagu paling populer RATM, "Killing in the Name". Pancingan dengan backdrop yang berubah menjadi "Make Jakarta Rage Again" cukup membakar juga dengan lautan jari tengah muncul sambil berteriak "fuck you I won't do what you told me".
Mengakhiri konser dengan panas adalah hal yang paling meninggalkan impresi. Mengingat durasi dari slot yang disebut dalam rundown acara sudah lebih, Tom segera mengindikasikan band akan bermain satu lagi. Sudah bisa ditebak dan afirmasi dari intronya, bahwa "Bombtrack" disimpan untuk mengakhiri konser.
Selesai lagu, moshpit mereda, kerumunan kembali mendekat ke panggung untuk durasi 90 menit konser yang masih relatif terlalu singkat. Band menyampaikan apresiasinya terhadap sambutan yang mereka terima, dengan berfoto dengan penonton sebagai latar. Kali ini tidak ada lagu kejutan, sesuai dengan pola setlist mereka sepanjang tur kali ini. "Black Hole Sun" dipilih sebagai koda, mengantar penonton berbalik punggung dari panggung.
“Tunai sudah umrah-nya,” kata salah seorang yang mengenakan kaos RATM di jalan keluar dari venue. “Hajinya nanti, kalau suatu saat Zack kembali dan RATM ke sini.”
Sulit membayangkan pada masanya dulu, bahwa orang-orang yang besar dengan kitab sleeve album RATM berisi lirik-lirik tajam De La Rocha akan mengalami konser ini. Muatan politik RATM dulu tampak sangat jauh untuk bisa pentas di Indonesia.
Yang aneh dari RATM adalah betapa lirik-lirik mereka, selepas dua dekade berselang, justru makin relevan. Masih menyalurkan frustrasi yang sama, akar masalah yang sama, dan seolah justru apa yang terjadi di Amerika pada masanya dulu sekarang tengah dialami Indonesia.
Kini, meski masih berkekuatan 3/4-nya, tetapi muatan politik band ini relatif melunak. Tidak lagi frontal seperti demonstran ala Zack, tetapi lebih bijak seperti menyampaikan unifikasi atau isu sosial (homelessness) via lagu-lagu Prophets of Rage.
Inilah yang menjadikan keterkaitan antara konten lagu dan pendengarnya, setidaknya yang dirasakan dari respon penonton pada konser Prophets of Rage. Sekumpulan orang menuju paruh baya, beberapa masih menggulung rambut dreadlock-nya, yang mulai memahami makna kemarahan-kemarahan Tom Morello cs terhadap mesin yang bekerja mekanis.
Prophets of Rage rasanya cukup mengatasi dahaga konser (internasional) berkualitas bagi segmen generasi 1990-an. Dengan set yang rapat, permainan yang rapi dan profesional, serta dukungan venue dan sound yang cukup nyaman, menjadikan konser ini salah satu yang terbaik tahun ini. Dan yang mengejutkan, raihan audiens-nya tidak terlalu jelek juga meskipun diadakan di Minggu malam dan jadi pengakhir festival dengan line up yang sama sekali berbeda segmen.
Setlist Prophets of Rage
Hodgepodge Festival
Minggu, 1 September 2019
Prophets of Rage
Testify
Unfuck the World
Guerilla Radio
Hail to the Chief
Know Your Enemy
Heart Afire
Take the Power Back
Insane in the Brain/Jump Around (DJ Set)
Sleep Now in the Fire
Cochise (instrumental)
Living on the 110
Bullet in the Head
How I Could Just Kill a Man
Bulls on Parade
Killing in the Name (Fight the Power intro)
Bombtrack
Posting Komentar