Review Buku Zonal Marking: Jebakan Premis dan Argumentasi Sepak Bola
https://www.helmantaofani.com/2019/10/review-buku-zonal-marking.html?m=0
Liga Inggris musim 2016/2017 menjadi panggung bagi 7 pelatih kaliber dunia yang mengusung genre berbeda. Josep Guardiola, Juergen Klopp, Antonio Conte, Arsene Wenger, Jose Mourinho, Mauricio Pochettino, dan Ronald Koeman. Laga liga ini dianggap sebagai latar yang seksi untuk dibahas secara khusus sebagai salah satu monumen sepak bola kiwari (modern).
Latar tujuh pelatih tersebut kemudian dijadikan narasi oleh Michael Cox dalam bukunya, Zonal Marking (Harper Collins, 2019). Buku tersebut mengambil nama akun twitter milik Cox, yang memang dikenal dengan analisa taktiknya. Cox juga menulis untuk sejumlah media, serta tampil sebagai pundit, di samping mengelola media sosial dan blognya sendiri. Buku Cox ini merupakan karya pustakanya usai The Mixer, yang mengusung premis ambisius: The Making of Modern European Football.
Cox membagi periode berpengaruh pada sepak bola Eropa kiwari berdasarkan karakteristik dan latar tujuh pelatih tersebut di atas. Sesuai yang diduga, amalgamasi adu taktik ketujuh personalitas sepak bola di Liga Inggris itu menjadi titik temunya.
Premis Periodikal Evolusi Taktik
Yang pertama adalah periode sepak bola Belanda, secara khusus pada periode pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Naiknya pengaruh Johan Cruyff dan Ajax era Louis Van Gaal yang tentu saja dikaitkan dengan Ronald Koeman (melatih Everton pada musim 2016/2017). Cox menyebut era membangun sepak bola dengan pressing dan umpan-umpan pendek menjadi fondasi bagi sepak bola kiwari.Periode berikut adalah periode Italia, terutama pada era keemasan Juventus dan awal-awal dekade 2000-an. Ini merupakan latar yang membentuk sosok Antonio Conte. Terkait "inovasinya" yang menggunakan 3 bek pada Liga Inggris, ternyata Cox berhasil menarik tren berupa penggunaan formasi serupa di Serie A pada awal milenia.
Menyusul adalah periode Perancis, respon atas keberhasilan tim nasional mereka menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Namun, fokus utama Cox adalah munculnya pemain-pemain berkarakter tertentu dari akademi Clairefontaine, terutama untuk posisi penyerang cepat macam Thierry Henry dan gelandang bertahan seperti Claude Makelele. Arsene Wenger disebut sebagai salah satu pelatih yang sangat bisa menggunakan karakter pemain lulusan Clairefontaine ini.
Setelah Perancis, naiknya Jose Mourinho dengan pendekatan pragmatis, serta munculnya sayap-sayap berbakat binaan Sporting Lisbon menjadi sorotan. Produknya, sudah tentu: Cristiano Ronaldo. Jose memopulerkan sepakbola counter attack yang menjadi basis susksesnya bersama FC Porto kala menjuarai Liga Champions tahun 2004. Jose, pada 2016/2017 tentu saja mewakili dirinya sendiri ketika menukangi Manchester United.
Periode berikut juga banyak mengambil sample dari Josep Guardiola sendiri. Terutama pada periode ia menukangi Barcelona sambil menginspirasi timnas Spanyol untuk berkembang melalui tiki-taka. Di fase ini, Guardiola masih menyambungkan hubungan taktik Cruyff dan sepakbola Argentina - antara lain oleh Marcelo Bielsa yang menekankan pressing. Periode ini, selain diwakili Guardiola sendiri di Manchester City, juga memunculkan Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur) yang juga menganut paham Bielsa.
Jerman menjadi sorotan berikut, dengan pengalaman Guardiola juga yang menjajal Bundesliga. Kulminasinya adalah sukses timnas Jerman di Piala Dunia 2014. Banyak aspek yang membentuk karakter timnas Jerman di era Joachim Loew, antara lain menggabungkan karakter sepakbola pressing dan passing ala Pep dengan kekuatan counter attack (vertikalitas) ala tim-tim Bundesliga. Hasilnya, tentu saja istilah "gegenpressing" yang dipopulerkan Juergen Klopp kala menukangi Borussia Dortmund. Klopp di 2016/2017 memulai kariernya di Liverpool.
Belenggu Premis dan Argumentasi
Cox menjelaskan dengan semi mendongeng. Mereplika lagi momen-momen klasik dalam dunia taktik sepak bola melalui narasi tertulis. Membacanya, imajinasi menjulang ke dalam fantasi yang surealistik. Padahal, ketika kemudian melihatnya di YouTube, bisa jadi momentum tersebut muncul lantaran faktor aksidental saja. Contohnya, momentum gol Mario Goetze ke gawang Argentina di final Piala Dunia 2014.Dalam istilah Jawa, berulang kali ada upaya "utak-atik gatuk" (dimodifikasi supaya "nyambung") yang dilakukan Cox. Di antaranya terjebak pada obligasi untuk mengikuti premis yang ia susun sendiri dengan mengabaikan banyak fakta perkembangan taktik yang berpengaruh juga. Pengaruh Clairefontaine misalnya, dalam sejarahnya tidak sebesar itu. Memang kemudian muncul pemain seperti Henry, tetapi itu tidak unik dari Perancis dan tidak terlalu berevolusi mengubah taktik.
Sebaliknya, pengaruh pelatih seperti Alex Ferguson, Carlo Ancelotti, dan sebagainya justru tidak banyak dibahas karena tidak dalam garis premis. Padahal keduanya sangat berpengaruh menentukan dinamika sepak bola, terutama dari medio 1990-an dan 2000-an.
Namun, banyak juga Cox berargumentasi dengan data-data pendukung. Misalnya statistik penguasaan bola (possession) Jose Mourinho, rasio tembakan ke gawang untuk tim-tim Bundesliga, dan sebagainya, yang secara nalar tentu saja memberi dukungan kuat terhadap hipotesa taktik. Cox juga cukup obyektif untuk menjelaskan bahwa sebetulnya pengaruh Zinedine Zidane tidak sebesar reputasinya.
Salah satu bagian terbaik dari buku ini adalah penjelasannya mengenai sepakbola Jerman yang berkembang (secara taktikal) ketika Josep Guardiola menukangi Bayern Munich. Pep, sapaan Guardiola, memodifikasi taktik dengan kondisi lawan-lawannya. Ini kemudian melahirkan pakem yang saat ini dibawa bersama Manchester City. Bagaimana ia beradaptasi dengan peran sayap yang berbeda, juga kehadiran target man (mulanya bersama Mandzukic, kemudian Lewandowski) mengubah pendekatan permainannya.
Hal ini sebetulnya pro juga dengan premis umum yang berkembang, mengenai pengaruh Pep terhadap tim nasional negara yang klubnya ia tangani. Pengaruh Barcelona besar pada era Spanyol juara dunia (2010). Demikian juga dengan pengaruh Bayern pada saat Jerman juara di 2014.
Penantian yang sebetulnya nyaris terjadi ketika timnas Inggris berprestasi hingga ke semifinal Piala Dunia 2018, meski selalu kalah dari tim unggulan (dua kali kalah melawan Belgia, dan sekali kalah lawan Kroasia). Apakah hipotesa Pep effect mulai pudar?
Di samping itu, fakta bahwa dari sekian jagoan pelatih yang ia susun sebagai premis, Ronald Koeman bahkan tidak survive hingga semusim di Everton pada musim 2016/2017. Lalu ketika kita cek ulang bahwa pada awal musim 2019/2020, sudah tidak ada lagi Jose Mourinho, Arsene Wenger, dan Antonio Conte di sana. Apakah hipotesa Cox menjadi over-premis dan pretensi?
Apresiasi
Melihat bahwa fore-runners untuk Liga Inggris kali ini adalah tim di bawah Guardiola dan Klopp, sebetulnya tidak keliru juga. Oleh karena itu, sekali lagi, bab paling fundamental dalam buku ini adalah pembahasan mengenai sepak bola Jerman. Saya pikir tidak berlebihan bila tren sepak bola saat ini banyak mengambil "template-template" pada Bundesliga era Klopp vs Pep dulu.Secara khusus, pembahasan mengenai taktikal pada periode tersebut juga sebetulnya cukup untuk membuat resume yang menarik mengenai antitesis-antitesis taktik yang belakangan muncul dari fenomena pelatih-pelatih "baru" seperti Maurizio Sarri, Thomas Tuchel, dan Diego Simeone. Nama terakhir luput juga dibahas, dengan kariernya yang sudah lama dan menjadi antitesis sepakbola Pep.
Zonal Marking adalah buku yang mengasyikkan untuk dibaca. Buaian naratif mengenai play by play, dan analisa taktiknya sangat menghibur sekaligus memberi wawasan. Kita bisa mengerti mengenai peran-peran tertentu dalam sepakbola, atau pendekatan yang dilakukan pemain tertentu terhadap permainan. Namun, di sisi lain, untuk dijadikan sebagai referensi yang ketat, banyak monumen perkembangan yang diabaikannya.
Untuk pasar pembaca yang tidak terlalu catch up dengan sepak bola, mungkin tidak jadi soal. Seperti pasar pembaca Amerika Serikat yang menggemari genre non fiksi olahraga. Berbeda dengan mereka yang masih mengikuti perkembangan sepak bola sampai saat ini. Mungkin mendapati buku ini agak terlalu memaksakan narasi kepada premis yang sudah dibuat Cox sendiri.
Posting Komentar