Review Film Bebas: Romansa Menemukan Celahnya
https://www.helmantaofani.com/2019/10/review-film-bebas.html?m=0
Tanpa terpapar dari kisah asli (film Korea, Sunny) yang diadaptasi ke film "Bebas", saya terpaut romansa saja dengan film dari Riri Riza ini. Romansanya adalah mesin waktu ke era 90-an yang agung. Bagi saya pribadi, pemilihan "Bebas" sebagai keyword yang ditautkan ke lagu Iwa K sangat berhasil.
Ada banyak celah mesin waktu di film ini. Mulai dari bahasa yang digunakan, meski sebagai survivor era tersebut rasanya tidak seperti yang di film. Ikon-ikon tempat di Jakarta, yang sayangnya tidak terlalu terpapar. Serta, seperti yang saya kutip di atas, soundtrack-nya.
"Bebas" berkisah di dua periode. Kiwari dan tahun 1995 di Jakarta. Mengenai sekelompok perempuan (dan satu pria) yang dulu terkoneksi pada masa remajanya dalam sebuah geng. Tokoh Vina (diperankan Maizura untuk versi remaja, dan Marsha Timothy di versi dewasa) masuk sebagai pengantar. Sebagai siswi pindahan, ia harus bertahan dalam upaya sosialisasi dan perundungan yang pada masa itu memang seperti premanisme di sekolah (pengakuan dari korban palak - red).
Di linimasa paralel, sekitar 30 tahun kemudian, karakter-karakter tersebut coba merekonstruksi jalinan mereka ketika salah satu di antara mereka sekarat. Memori pribadi dan kolektif kemudian berpacu. Tetap dari sudut pandang Vina, baik saat remaja maupun dewasa.
Andai mau membedah detil, kita bisa mempunyai materi review berupa easter eggs dekade tersebut, lengkap dengan beberapa kesalahan-kesalahannya. Salah satunya adalah penyebutan "Kementerian Penerangan", yang pada saat itu jelas bernama "Departemen Penerangan". Dekade 90-an digambarkan dengan berbagai ikon dan artefak yang muncul sekilas, sebetulnya bisa di-set pada masa kapanpun pada lini cerita. Artinya, ikon-ikon itu ya muncul sebagai gimmick saja.
Tetapi ini tetaplah romansa bagi penontonnya. Entah Anda masuk dari sisi mana. Ada yang mungkin berelasi terhadap karakter-karakternya. Yang kadang memang membuat baper di beberapa momentum, meskipun secara pribadi saya merasa agak terganjal dengan chemistry karakter-karakternya. Cukup jauh dibandingkan kohesi di geng Cinta di Ada Apa Dengan Cinta misalnya.
Karakter Jessica (versi remaja diperankan Agatha Priscilla, versi dewasa diperankan Indy Barens) dan Jojo (versi remajanya yang diperankan Baskara Mahendra) menjadi perekat yang sangat baik pada dua era. Kris (diperankan Sheryl Sheinafia untuk versi remaja) sebagai leader of the pack juga cukup menonjol di era mudanya.
Impresi dan Relasi
Namun saya tidak pernah mendapat impresi mengenai karakter Vina yang jadi pemandu alur untuk benar-benar bisa masuk ke dalam kohesi kelompok ini. Beberapa alur seputar Vina ini juga tidak terlalu penting, yang seharusnya durasinya bisa dialokasikan untuk membangun kohesi itu tadi.Secara kisah, ini adalah film untuk perempuan mungkin. Lantas apa yang saya peroleh? Bahwa dekade 90-an memang agung. Bagi saya?
Tentu saja!
Musik latar film ini menyadarkan saya (lagi) bahwa produk budaya pada masa itu adalah momentum terakhir menikmati karya-karya adiluhung (subyektif). Lagu-lagu Dewa 19, Singiku, dan tentunya Iwa K adalah fragmen kecil yang membuat saya bersyukur sempat merasakan era transisi ke digital ini. Masa ketika mendengarkan lagu secara kolektif tidak harus dilakukan di bilik karaoke. Masa ketika baik-baik saja ke luar rumah tanpa harus meng-update lokasi.
Oleh karena itu, bohong, apabila sebagai penyintas masa ini, tidak pernah ikut berteriak "O-oh" pada lagu "Cukup Siti Nurbaya" setelah Ari Lasso berteriak: "Katakaan..."
Catat! Film ini, menurut saya, cukup berhasil membawa resurjensi bagi lagu "Bebas" milik Iwa K untuk kembali disantap generasi Z.
Mungkin, bagi orang lain juga akan berseru bahwa pada masanya, jalan-jalan di Blok M itu mengasyikkan. Bermain tetris itu candu. Komik-komik Elex Media menjadi bawaan di tas sekolah. Dan yang kurang adalah wajibnya gitar dalam tongkrongan, yang kini digantikan dengan kewajiban swafoto di tiap rendez vous.
Mungkin, bagi orang lain pula akan berseru punya relasi hubungan dengan anaknya yang saat ini kian beranjak dewasa. Kompleksitas mereka yang pada dekade 90-an menjadi remaja, dan kini mendapati anak-anak mereka menapaki takdir akil balig mereka.
Apapun celahnya, film ini cukup mudah memasuki relasi ke penonton. Meski tidak superior dari jalan cerita dan aspek intrinsik, romansa itu bisa datang melalui relasi jalan belakang.
Posting Komentar