Pearl Jam for Overthinker
https://www.helmantaofani.com/2019/12/pearl-jam-for-overthinker.html
Diberkati sebagai seorang introvert, salah satu ciri khas saya adalah cenderung “overthink”. Banyak kepikiran. Ngga selalu baik juga, kadang jadi membuat ritme hidup lebih lambat. Hal yang harusnya instan, masih dipikir. Dalam fase yang gawat, orang seperti saya mudah depresi.
Namun, seperti yang Jonathan Davis (Korn) bilang dalam lagu Twisted Transistor, di kala sendiri saya menemukan musik sebagai kawan. Dan beruntung pula, di antara kawan tersebut mengenal Pearl Jam. Terutama lirik yang ditulis oleh Eddie Vedder.
Saya pernah membuat setlist (atau playlist) tentang lagu-lagu Pearl Jam yang banyak menjaga kewarasan. Sederhananya, saya sebut ini sebagai repertoir Pearl Jam untuk overthinker.
Sometimes (No Code)
Mendengar lagu ini membuat saya merenung mengenai eksistensi. Perumpamaan “my small self like a book among the many on the shelf” sering saya renungi untuk mencari hakikat hidup. Berat ya?
Corduroy (Vitalogy)
Lagu ini bagi saya adalah epifani. Mendengarkan lagu ini membuat saya berpikir apakah hidup materi ini sesuatu yang sejatinya dikejar? Apakah memenuhi hasrat itu menjadi hal yang harus diperjuangkan mati-matian?
World Wide Suicide (Pearl Jam)
Eddie V menulis ini tahun 2005, dalam kondisi frustrasi karena rezim George W Bush yang menghabiskan uang untuk perang. Frasa “President took for granted, writing check let us to pay” ajaibnya masih relevan, bahkan di Indonesia, 15 tahun kemudian.
Light Years (Binaural)
Ellie Goulding, yang menggemari Pearl Jam, menulis lagu berdasarkan elegi yang dibuat Vedder untuk mengenang mereka yang meninggal. Saya menggunakan lagu ini untuk mengenang mereka yang berjasa mengantar sampai ke titik ini. “Your light made us star.”
Love Boat Captain (Riot Act)
“Trying to cure the cancer off. Oh, stupid human being.” Dalam filsafat stoisme yang naik daun belakangan, lagu ini mengantar kita untuk tidak fokus pada sesuatu yang tidak bisa kita kontrol. Dan yang personal bagi saya, menjalani hidup bahagia itu juga bentuk empati terhadap tragedi.
Unthought Known (Backspacer)
Bagi saya, filsafat positivisme terbaik yang pernah ditulis dalam bentuk musik adalah pada lagu ini. Saya menggunakan semua lirik di sini sebagai mantra untuk bersikap positif. Eddie Vedder mengajarkan semangat gelas setengah penuh yang sangat baik. Bahwa laut itu ada bukan memisahkan, tetapi menghubungkan. Bahwa rasa lelah ketika bekerja mencari nafkah untuk keluarga itu sejatinya hidup.
Faithful (Yield)
Lucu bila mengingat beberapa “ajaran religi” saya dapati dari seorang agnostik seperti Vedder. Lagu ini yang membawa saya meyakini bahwa peribahasa “keyakinan adalah kemauan melangkah meski kita tidak melihat tangganya” adalah benar adanya. Menjadi orang yang yakin, mungkin berbeda dengan misi penulisan, tidak ada salahnya juga.
Oceans (Ten)
Penutur berbahasa Inggris tidak dikaruniai kata serapan yang banyak, sebagaimana bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mereka pandai menggunakan metafora dan kiasan. Seperti lagu ini, menggunakan kiasan terapung di papan, sejatinya merenungkan hidup juga. Agar kita bertahan memperjuangkan perubahan nasib. “Hold on to the thread, the current will shift.”
In My Tree (No Code)
Semakin nasib membawa kita ke atas, semakin tercabut juga kita dari orang-orang yang pernah menjadi bagian. Filosofi ini diumpakan Eddie seperti memanjat pohon, yang ketika di atas kita bangga bisa sampai pucuk. Namun, dengan konsekuensi orang lain ada di bawah dan kita tidak bisa menjangkau mereka. Dilema dalam hidup.
WMA (Versus)
Lagu ini ditulis usai peristiwa kerusuhan rasial di Los Angeles tahun 1992. Di Amerika, konteksnya relevan dengan “privilese” ras kaukasia, dari gender pria. Secara umum, lagu ini mengajak kita berpikir bahwa orang tidak bisa memilih lahir dari ras apa.
Wishlist (Yield)
Tulisan tentang perumpamaan terbaik dalam lagu tanpa refrain dan bridge. Lagu ini adalah rapalan monoton mengenai keinginan manusia yang tidak ada habisnya (oleh karenanya, di versi album, lagunya menggunakan fade out untuk menggambarkan infinitas). “I wish I was, I wish I was. I guess this never stop.”
Immortality (Vitalogy)
Meski banyak relasi tentang popularitas, tema lagu ini juga relevan mengenai jiwa-jiwa yang resah dan mencari rumah (“truant finds home”). Kadang mereka singgah ke tempat yang salah, karena tergiur untuk mendapatkan kebahagiaan abadi.
Garden (Ten)
Meski kutipan “I don’t question our existence, I just question our modern needs” banyak dibahas, sebetulnya lagu ini berkisah mengenai kesungguhan tekad. Seberapa determinasi kita untuk memperjuangkan sesuatu yang kita yakini? Lagu ini juga berempati pada orang-orang yang bekerja keras.
I Am Mine (Riot Act)
Sebelum “Love Yourself” dari Justin Bieber ada, saya mengambil filosofinya dari lagu ini. Sebelum kita mencintai orang lain, dan orang-orang lain, sudahkah kita mencintai diri kita sendiri? Mantra yang banyak diucapkan bagi depresan, yaitu “love yourself”, adalah core dari lagu yang ditulis Vedder usai peristiwa 9/11.
Just Breathe (Backspacer)
Sama seperti “Unthought Known” yang berada di album yang sama, lagu ini sangat berkesan karena semangat positifnya. Kesedihan yang menjadi propelan untuk menjalani hidup. Kehilangan yang jadi motivasi untuk menemukan. Dan sesuai pesan di akhir lagu, toh nanti juga kita akan dipertemukan lagi di akhirat.
Soon Forget (Binaural)
Tamparan paling telak terhadap pandangan materialistis. Saya sering merenungi pencarian terhadap hidup. Apakah akan menumpuk saldo rekening, tetapi menjalani hidup yang lewat begitu saja? Kita punya kontrol.
Posting Komentar