Review 1917: Kartu Pos dari Medan Perang
https://www.helmantaofani.com/2020/01/review-1917-kartu-pos-dari-medan-perang.html
“Maukah kamu menulis surat untuk ibuku?”
Surat dari perang adalah sebuah ironi. Bagaimana kita membungkus sebuah pesan dengan kalimat yang pas. Pada kenyataannya ia menyampaikan pilu. Entah itu rindu, cerita dari medan, atau yang paling tragis kabar obituari.
Saya “membaca” film 1917 seperti sebuah kartu pos yang dikirim dari medan laga. Di satu sisi, ia menampilkan gambar indah. Panoramik, majestik, dan memesona. Sejak detik mula yang dibuka dengan hamparan padang rumput nan indah. Lalu dikontraskan seiring dua karakter utamanya (Tom Blake dan Will Schofield) bergerak, melewati parit dan kenyataan bahwa keindahan dan kengerian di medan perang ini semudah kita membalik kartu.
Bagian di belakang kartunya adalah wajah perang yang lain. Penderitaan, depresi, kerinduan mungkin, dan rasa cemas. Inilah yang seringnya dikabarkan. Dalam 1917, bagian belakang ini ditampilkan secara subtil. Melalui bahasa sepotong-potong, yang oleh karenanya sisi cerita tidak pernah menjadi aspek terkuat dari film karya Sam Mendes ini.
Bintang dari film ini adalah gambar-gambar indah yang dihasilkan maestro "postcard", sinematografer Roger Deakins (coba cek karyanya di film "postcard" lain macam "The Assasination of Jesse James by Coward Robert Ford"). Selain teknik long-shot untuk mendapat efek journey, coba lihat kehadiran pohon ceri yang menjadi bahasa metafora untuk menyampaikan impresi mengenai keindahan di tengah perang. Pohon ceri pula ditautkan sebagai ujung perjalanan yang dijalani protagonisnya.
Adegan di kota Ecoust juga sangat menarik. Pistol suar menjadi sumber pencahayaan utama yang memukau karena dinamis membentuk efek bayangan yang berbeda. Ia "mewarnai" tekstur kota yang hancur karena perang, sekaligus menjadi bintang dramatis yang menonjol. Tidak hanya sekadar setting. Satu demi satu gambar menceritakan kejadian, seperti mendapatkan kiriman kartu pos.
Seperti halnya kartu pos, tidak banyak pula yang bisa diceritakan dari sebidang lahan untuk menulis. Dibandingkan dengan drama perang lainnya, barangkali film ini kekurangan bahan untuk membuat penonton mencengkeram bangku (atau tangan teman nontonnya). Ekspektasi bisa menjadi musuh, ketika penonton mengharapkan (mungkin) beberapa adegan epos kombatan seperti dalam "Saving Private Ryan" misalnya.
Benar-benar seperti halnya kartu pos dari medan perang, ekspektasi ketika membaca kabar di baliknya bisa menentukan apakah kartu tersebut indah atau tidak.
Setiap adegan dalam film ini disimpulkan dalam bahasa visual. Sebagaimana tema pembungkusnya, mengenai surat atau pesan yang akan dikirim kepada keluarga para tentara yang menjalani perang.
Posting Komentar