Tak Ada Pulang Seperti Kala Lebaran
https://www.helmantaofani.com/2020/05/lebaran-tidak-mudik.html
“Badane gek tekan Galurung.”
Dulu ayah saya sering bercanda mengatakan Lebaran masih sampai Tegalurung, sebuah desa yang terletak di sebelah kota tempat saya tinggal. Ia mengucapkan seperti itu kalau saya, usia 7-8 tahunan, sudah terlalu sering menanyakan kapan Lebaran.
Lebaran selalu spesial bagi saya. Ia menyimpan banyak sekali memori. Momen akhir Ramadan ini adalah toples penyimpan jiwa anak-anak saya. Anak-anak yang selalu gembira menyambut 1 Syawal. Atau anak-anak yang senantiasa diingatkan mengenai orangtua dan keluarga. Anak-anak yang melekat pada akar, tempatnya bertumbuh dan mengalami hidup pada mula ia belum tahu mengenai premi asuransi dan potongan pajak.
Mudik, bagi saya, seperti kembali menemukan toples memori itu. Lalu membukanya, dan membuncah semua kenangan-kenangan tentang orang, waktu, dan tempat. Sejenak saya menjadi individu sendiri, mengalami kelahiran kembali secara kontekstual. Untuk bisa berkumpul bersama orangtua, esok hari bertemu saudara, teman. Memperbaiki konstelasi linimasa, dengan berkisah ke anak-anak saya. Ini siapa, apa, dan mengapa. Terutama usai salat ketika mengunjungi makam keluarga. Menjelaskan kepada istri (dulu), lalu anak-anak, mengapa saya cinta sekali dengan para ahli kubur di situ.
“Nisan ini ibuku. Dulu, ketika hendak operasi, yang membuatnya gundah adalah dengan siapa aku di rumah,” ceritaku ke istri. Ketika konstelasi linimasanya terbentuk, sekian Lebaran kemudian, saya baru menyadari konteks pengambilan keputusan itu. Dan Lebaran membuka toples memori itu.
Baca juga: Ritual Mudik yang Dirindukan
“Kakung selalu menangis di buka puasa pengakhir Ramadan. Dulu aku menyebutnya ‘gembeng’,” cerita ke anakku. “Gembeng” adalah dialek lokal untuk cengeng. Saya melihat ayah menangis ketika ibu meninggal. Lalu sangat jarang setelahnya. Baru ketika mulai saya dewasa dan merantau, ketika pulang ia sering menangis ketika momen tersebut. Sekarang saya tahu, ia juga punya toples memorinya sendiri. Yang seperti nastar, dibuka di akhir Ramadan. Kali ini tanpa kesulitan mencari ujung selotip.
Lebaran mengembalikan saya sebagai anak, yang harus berbakti kepada asal. Lebaran mengingatkan saya terhadap tempat yang membawa cerita. Di sini bersama ayah. Di sana bersama ibu. Cerita yang mungkin tidak menarik bagi anak saya, tetapi sesungguhnya kita sedang bercerita pada diri kita sendiri. Dan itulah membuka toples memori.
Tahun ini, toplesnya disimpan dulu. Pertama kalinya saya tidak mudik. Biasa mungkin bagi sebagian kalian. Tidak bagi saya. Lebaran terlalu banyak maknanya untuk ditulis dengan cerita pengalaman sebagai khatib salat. Air mata tak terlihat di aplikasi Zoom ketika sungkem online. Positifnya, tidak ada lagi pemandangan tatapan hampa dari mata ayah ketika anak-anaknya pulang. "Sepi lagi," katanya.
Toples ini disimpan saja di lemari. Mungkin sebentar lagi kita akan buka sama-sama. Tetapi memang tak ada pulang ke kampung halaman seperti pulang kala Lebaran.
“Pak, badane ming tekan Galurung. Ora tekan Parakan.”
Posting Komentar