The Last Dance dan Dialektika GOAT di Olahraga
https://www.helmantaofani.com/2020/05/the-last-dance.html?m=0
Sebulan belakangan, tiap hari Senin, linimasa di twitter saya dipenuhi kicauan tentang Michael Jordan. Film dokumenter tentang era Jordan di Chicago Bulls, berjudul The Last Dance, tayang tiap hari Minggu waktu Amerika Serikat. Penonton di Indonesia bisa menyusul via Netflix untuk menonton dokumenter tersebut pada hari Senin sore, mulai jam 15.00 WIB.
The Last Dance dibagi menjadi 10 episode. Setiap Senin, Netflix mengunggah dua episode. Episode pertama tayang 20 April lalu dan rencananya akan berakhir pada Senin (18/5) ini. Usai penayangan, film yang diproduksi oleh ESPN ini menjadi topik hangat yang didiskusikan. Banyak persona sohor yang mengangkat mengenai apa yang mereka dapatkan dari kisah Michael Jordan yang dianggap sebagai "greatest of all time" (GOAT).
Jason Hehir boleh dibilang brilian dalam membesut sebuah film dokumenter yang lantas jadi topik bahasan. The Last Dance bisa dibilang bisa mengalahkan Tiger King, film seri dokumenter produksi Netflix juga yang jadi pembicaraan di awal kuartal I 2020. Salah satu yang membuat The Last Dance menarik adalah bagaimana penceritaan mengenai karier Michael Jordan ini tidak dituturkan secara runut.
Sesuai judulnya, "the last dance" mengacu pada istilah pelatih Chicago Bulls, Phil Jackson, ketika masuk musim terakhirnya bersama klub basket yang dominan di dekade 1990-an itu. Bulls di bawah Jackson menyapu 6 gelar sepanjang dekade, seluruhnya bersama (dan dipimpin) Michael Jordan. Gelar kosong mereka adalah ketika Jordan memutuskan sabbatical (tadinya pensiun) selama dua periode, yaitu di 1994-1995, dan 1999-2000.
Musim terakhir Jordan dan Jackson di Bulls menjadi alur utama penceritaan. Kita berulang kali dibawa balik ke masa lalu, untuk melihat konteks demi konteks dari kejadian di tahun 1998 tersebut. Mulai dari biografi Jordan, karier Jackson, kilas riwayat Scottie Pippen, atau untuk mengenal Jerry Krause, General Manager Bulls yang berperan besar terhadap pasang surut klub.
Kerja keras tim editing The Last Dance patut diacungi jempol, dengan mereka mendapatkan banyak sekali footage "mewah" yang berhasil merekam momen-momen eksklusif. Khususnya di luar lapangan yang selama ini jarang terlihat. Melalui rekaman ini, afirmasi atas beberapa isu yang menerpa Jordan menjadi sedikit banyak terjawab. Antara lain mengenai karakter kepimpinannya, kebiasaan berjudi, atau bagaimana hubungan emosional pemain yang identik dengan nomor 23 ini dengan ayahnya.
Debat GOAT
Namun, hal yang paling menonjol terlihat dari film The Last Dance ini adalah bagaimana motivasi besar dari Michael Jordan untuk menjadi yang terbaik. Seperti yang ia ungkapkan sendiri, kompetisi baginya adalah candu. Ia selalu terdorong untuk mengalahkan asumsi atau pendapat orang, tentang dirinya, hingga pada tahapan kadang mengarang profil antagonis untuk membakar semangatnya. Menjadi luar biasa karena diiringi juga dengan etos kerja yang sangat besar. Sehingga, memang layak ketika paripurna dari Bulls, Michael mengantongi 6 cincin juara sekaligus menjadikannya GOAT.Nah, pembahasan mengenai GOAT ini yang selalu menarik. Seperti yang ditulis di atas, usai pemutaran film, diskusi mengenai Michael Jordan langsung menghangat. Salah satunya adalah pertanyaan siapakah GOAT dari sisi basket? Umumnya orang, apalagi yang menyintas dekade 1990-an akan mudah menjawab Jordan. Tetapi bagi mereka yang tidak tumbuh di era tersebut, mungkin lebih familiar dengan Kobe Bryant atau LeBron James. Nama terakhir acap diperbincangkan karena mendominasi NBA dan memiliki penggemar yang banyak.
Diskusi semacam ini memang jamak dijumpai di berbagai bidang olahraga. Di tinju misalnya, Muhammad Ali barangkali "undisputed" sebagai GOAT. Urusan populer, ia bisa saja bersaing dengan Mike Tyson. Urusan statistika, rekor menang-kalah, juga mungkin banyak petinju lain dengan prestasi lebih baik daripada dirinya. Misalnya Manny Pacquiao, Oscar de la Hoya, Julio Cesar Chavez, atau Lennox Lewis.
Di sepakbola, juga perdebatan tentang GOAT sudah terjadi lebih dari satu dekade, ketika dominasi di cabang tersebut terpusat pada dua sosok: Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Perbincangan mereka mengingatkan kembali pada "dualisme" GOAT sebelumnya, yaitu antara Maradona dan Pele. Bedanya, Ronaldo dan Messi bersaing pada era yang sama dengan statistika yang masih saling susul-menyusul.
Baca: Deitas Diego dan Diabolikal Maradona, Masianello Abad XX
Demikian dengan cabang lain yang juga masih memperbincangkan siapa GOAT mereka. Dari Formula 1, ada Michael Schumacher yang berkompetisi dengan Juan Manuel Fangio. Di MotoGP, Valentino Rossi diperbincangkan dengan pemegang rekor macam Giacomo Agostini, Mike Hailwood, atau Michael Doohan. Padahal di belakangnya masih ada Marc Marquez yang mungkin memecahkan rekornya.
Menakar GOAT ini, bagi saya, setidaknya mempunyai 4 kriteria.
- Secara statistik (prestasi) di atas rata-rata.
- Mempunyai pribadi yang menonjol (sehingga bisa ke nomer 3).
- Mempromosikan cabang olahraga ke audiens global (sehingga bisa ke nomer 4).
- Dikenal oleh orang-orang pada umumnya (termasuk yang tidak menggemari cabang olahraganya).
Dari keempat kriteria tersebut, berbagai rekor atau statistik mungkin sudah terjadi pada masa awal formatif perkembangan cabang olahraga. Seperti rekor Agostini atau Fangio di dunia balap. Namun, mereka relatif tidak memopulerkan olahraganya. Berbeda dengan Valentino Rossi yang membawa MotoGP menjadi sangat populer pada awal dekade 2000-an, sehingga nomor 46 hadir di penjuru dunia. Gabungan prestasi dan kepribadian The Doctor membuat MotoGP menjadi dikenal. Dan hampir semua orang tahu Vale. Sederhananya, Vale adalah GOAT di MotoGP.
Perbandingan tren antara Michael Jordan (MJ), Kobe Bryant, dan LeBron James di 90 hari terakhir. Efek The Last Dance memperlihatkan lonjakan pencarian term MJ mulai April, ketika film tersebut mulai dirilis. Lonjakan pencarian Kobe terjadi sejak akhir Januari, ketika ia meninggal dunia. Titik tertingginya terjadi pada akhir Februari ketika digelar acara memorial, termasuk di dalamnya eulogi MJ yang juga menaikkan pencarian atas dirinya. Sumber: Google Trends. |
Jordan, GOAT Basket
Kembali ke The Last Dance, alasan mengapa film ini diproduksi adalah keterlibatan NBA untuk mempromosikan lagi kompetisi mereka setelah agak tenggelam di dekade 2010-an. Popularitas mereka turun setelah mencapai puncaknya pada dekade 1990-an yang terkait dengan naiknya Bulls dan Michael Jordan. Oleh karena itu, merilis The Last Dance akan mengingatkan lagi orang-orang pada sosok pebasket paling populer yang sampai saat inipun lini sepatunya masih digunakan lintas generasi.Dari intensi ini, sebetulnya sudah terlihat siapa GOAT dalam dunia basket. Rekor Jordan barangkali masih ada yang mengungguli, seperti rekor mencetak skor di atas 100 yang dipegang Will Chamberlain. Atau rekornya juga barangkali akan dipecahkan pemain lain nantinya. Tetapi Jordan hadir ketika NBA tidak populer, lalu ia mengangkatnya ke puncak, dan mungkin jadi alasan saya menulis mengenai film ini juga. Popularitas Jordan luar biasa besar di era 1990-an yang membuat NBA menjadi kompetisi domestik dengan atensi global.
Personality dari atlet asal North Carolina ini tergambar cukup jelas di The Last Dance. Jordan adalah pribadi yang memang bisa mengubah hasil pertandingan di lapangan, serta menjadi sosok penuh inspirasi di luar lapangan. Bagaimanapun banyaknya aspek manusiawi yang ia punya, seperti sikap kompetitif atau perangai kerasnya terhadap rekan tim dan lawannya, ia mempunyai deretan hasil yang bisa dibanggakan. Cincin dan trofi juara, respek, serta inspirasi bagi banyak sekali orang yang membuat mereka memungut bola basket atau sekadar menggunakan sepatu Air Jordan.
Dalam dunia basket, Michael Jordan adalah greatest of all time. Undisputed.
Posting Komentar