Bacot NBA Itu Berat, Jenderal
Sudah hampir tiga bulan ini akrab lagi dengan bola basket. Ya prakteknya, ya nontonnya. Sejak NBA bergulir lagi akhir Juli, tiap pagi nyaris tanpa absen nonton pertandingan basket di depan televisi.
Linimasa yang tadinya penuh dengan sepak bola, kini berganti menjadi NBA. Sama seperti bola, era media sosial juga menandai babak baru dalam menikmati basket. Bahasa Inggrisnya biasa disebut banters, tapi norma selingkung kita bolehlah dibilang “bacot”.
Bacot ini malah lebih parah di NBA ternyata dibanding sepak bola. Di Amerika, pundit atau media tidak melulu harus menjadi moderator netral. Mereka seringnya justru jadi kompor yang memicu berbagai perang bacot di media sosial.
Ada satu perbedaan besar dari bahan bacot di Amerika dan Eropa. Atau langsung tarik saja antara basket dan sepak bola.
Basket, beserta futbol dan bisbol, adalah olah raga yang didominasi ras Afrika-Amerika. Secara tradisi, ras tersebut memang melahirkan atlit-atlit luar biasa, dengan kemampuan atletis di atas ras lainnya. Di Amerika, banyak ikon olah raga yang berasal dari ras tersebut. Dari Jesse Owens, Muhammad Ali, Tiger Wood, hingga Serena William.
Prestasi mereka secara individu tersebut sangat mentereng dan jadi panutan bagi penerusnya. Orang-orang terinspirasi untuk menjadi individu berprestasi, mungkin secara materi dan pamor, dibanding menjadi bagian dari tim yang berprestasi.
Sejarah perbudakan dan segregasi rasial juga ikut mewarnai kultur ini. Karena masyarakat kulit hitam dianggap warga kelas dua, awal mula kiprah mereka di olah raga hanya dianggap sebagai periferal atau pelengkap. Mereka kerap hanya dianggap sebagai elemen pragmatis, bukan bagian dari tim. Oleh karena itu, ikatan mereka ke tim juga pragmatis. Profesional saja.
Pembicaraan tentang individu jauh lebih kuat dibanding diskursus mengenai unit atau timnya. Hal ini berbeda dibanding Eropa, yang lebih banyak bicara tentang prestasi tim. Meski di era Ronaldo dan Messi, tetapi Real Madrid dan Barcelona tetap saja hangat diperbincangkan.
Di Amerika, dari media hingga fans, mereka lebih banyak membahas mengenai individu. Siapa yang terhebat (Greatest of All-Time), MVP, dan berbagai atribut individu lain. Media menggelar berbagai statistik individu luar biasa yang menjadi bahan perbincangan.
Fans juga lebih sering bacot mengenai individu dibanding timnya. Hanya fans yang memiliki kaitan histo-socio-geografi saja yang punya ikatan kepada tim. Misalnya, penggemar Chicago Bulls yang loyal kepada franchise tersebut ya hanya penduduk Chicago. Fans lain yang menyatakan mendukung Bulls barangkali lebih banyak mengakar ke individu di dalamnya. Entah itu Michael Jordan, Scottie Pippen, atau Derrick Rose mungkin.
Ketika jagoan mereka pindah klub, besar kemungkinan juga mereka balik mendukung klub baru idolanya. Ketika Kevin Durant bermain di Seattle, orang yang menggemarinya menjadi pendukung Seattle. Ketika ia pindah ke Brooklyn Nets, lantas ikut juga menjadi pendukung Nets.
Model klub basket yang berupa franchise juga menjadi alasan mengapa orang tak terlalu terikat dengan tim. Eksepsi barangkali untuk beberapa tim yang sudah lama di NBA seperti Los Angeles Lakers dan Boston Celtics. Namun, klub lain seperti Pelicans, Thunder, Grizzlies, tidak punya obligasi terhadap kota tempat home base mereka. Asosiasi bisa dengan gampang memindahkan home base seperti kasus Seattle Sonics yang berubah jadi Oklahoma City Thunder
Maka, memang menjadi tidak relevan untuk mengakar kepada satu klub. Perbincangan atau mendukung individu mungkin lebih menarik. Apalagi di era bacot saat ini banyak materi yang bisa diangkat. Bukan hanya di lapangan, tetapi juga di media sosial. Terutama Twitter dan Instagram.
Atlit Amerika termasuk pengguna aktif media sosial. Sama seperti penggemarnya, mereka juga doyan bacot di platform daring tersebut. Kasus yang baru mungkin perang bacot antara pemain Los Angeles Clippers (Paul George dan Pat Beverley) dan Damian Lillard (Portland). Perang bacot mereka tentu saja juga diikuti penggemar.
Dominasi isu yang diangkat media juga lebih banyak mengenai hebat-hebatan pemain secara individu. Frasa “top 5” dan “top 10” kerap jadi bahan bacot. Perbicangan mengenai siapa yang ada di Bukit Rushmore (yang di dalamnya ada pahatan 4 wajah presiden Amerika Serikat) menurut kriteria tergentu sering jadi isu yang diangkat oleh media.
Sebagai veteran penggemar sepak bola Eropa, hal macam itu merupakan barang baru. Penggemar bola Eropa lebih banyak bacot mengenai tim. Rivalitas Liverpool dan Man United. Milan dan Inter. Dan seterusnya.
Para penggemar bola juga cenderung lebih berakar pada tim atau unit ketimbang individu. Penggemar MU akan tetap jadi suporter Setan Merah meski David Beckham pindah ke Madrid. Dan penggemar Madrid juga tidak lantas dukung Juventus karena Ronaldo kini bermain di Turin.
Para pemain bola Eropa juga jarang menonjolkan individu di atas tim. Mereka juga hampir tidak pernah menonjolkan bacot individu melalui media sosial. Media juga cenderung lebih menjadi moderator daripada terlibat “politik praktis”. Belum lagi status tim atau klub yang didukung, merupakan klub permanen yang dimiliki seseorang atau badan hukum yang mempunyai ikatan histo-socio-geografi dengan home base-nya.
Dua kutub yang menyajikan tontonan olah raga, tetapi dengan dimensi berbeda. Menarik melihat dari perspektif penggemar yang ada di tengah-tengah - secara geografi.
Posting Komentar