Review The Batman: Kiat Kiwari Supaya Pahlawan Super Membumi
Menarik ketika melihat tren studio sebelah (Marvel), yang menarik film superhero ke kompleksitas dan majestisitas, Matt Reeves justru membawa DC ke genre yang membumi.
Menonton The Batman ala Matt Reeves ini membuat kita menerka-nerka. Apa yang sebetulnya ia pitch ke studio untuk konsep baru franchise superhero DC ini? Reeves barangkali membawa kata kunci "detektif" yang ada dalam nama DC (Detective Comic), serta gothic yang mendasari nama Gotham, setting kota fiksi tempat Batman beraksi.
Jauh dari ingar-bingar jagad pahlawan super, dalam The Batman kita betul-betul menonton kinerja deteksi melawan teka-teki The Riddler. Ambience film ini lebih pas sebagai film thriller psikopat. Sementara itu, mood film ini bisa dibilang murung, gothic. Selaras dalam setting versi gotik New York, sebagaimana Gotham dikonsep oleh Bob Kane.
Robert Pattinson mentransformasi sosok Bruce Wayne yang juga gelap. Barangkali ini versi paling murung dari Bruce Wayne dari semua versi fitur film yang ada. Namun, (untungnya) film ini tidak (perlu) banyak mengulas penyebab Wayne menjadi “ansos” (istilah kekinian), meskipun naratif mental health (isu kekinian) juga bisa jadi penyebab.
Batman Kiwari
Konteks kekinian lain hadir juga dalam “political correctness” yang membuat versi Afro-Amerika untuk James Gordon (Jeffry Wright) dan Selina Kyle/Catwoman (Zoe Kravitz). Bukan pertama kali Catwoman jatuh ke Afro-Amerika, Halle Berry pernah mendapatkan role tersebut di spin-off film yang kurang sukses. Nah, kali ini pilihan tersebut diselamatkan oleh permainan apik Zoe Kravitz yang berhasil membangun chemistry seiring film mengalun sebagai love interest Batman. Aspek kiwari lainnya adalah egaliternya hubungan Bruce Wayne dengan Alfred Pennyworth (Andy Serkis). Alfred kini tidak terlalu tampak sebagai butler yang harus memanggil Bruce dengan sebutan "master" lagi.
Cerita The Batman ini berada dalam "verse" yang berbeda dengan kontinuitas jagad DC. Berbeda jagad juga dengan versi Batman yang lain. Dikisahkan dalam film, Batman sudah dua tahun sebagai vigilante yang menerjang dunia kriminal Gotham. Relasinya juga sudah terbentuk dengan James Gordon, yang dalam film ini masih menjadi letnan polisi.
Gotham diteror dengan sejumlah pembunuhan tokoh penting di seputar pemilihan Walikota dan kasus penyergapan narkotika beberapa waktu sebelumnya. Pelakunya meninggalkan jejak teka-teki yang ditujukan kepada Batman. Satu demi satu keping puzzle harus dirangkai Batman untuk menguak pelaku yang menyebut dirinya The Riddler, sekaligus membongkar skandal di balik kekuasaan kota.
Nuansa film thriller detektif sangat kental dalam The Batman. Bagaimana The Riddler mengirimkan pesan, sangat mengingatkan pada teror pembunuh berantai zodiak (Zodiac Killer) yang terjadi di Amerika pada dekade 1970-an. Ia menghubungi media untuk berbicara ("This is The Riddler speaking..."), dan mengirimkan pesan bersandi.
Sementara, motif di balik pembunuhan dan modus operandinya juga berbau psikopat, banyak mengingatkan pada thriller seperti "Se7en" (1995), meski secara grafis masih sangat dijaga untuk mempertahankan rating 13+.
Konsep thriller sangat terasa pada durasi hampir 3 jam (176 menit) yang rata-rata disumbang oleh adegan-adegan lambat yang membangun ketegangan. Adegan-adegan pada momen-momen seperti membuka amplop surat, mengambil barang bukti, dan sebagainya. Bukan berpusat pada aksi atau teknologi.
Dengan durasi cukup panjang, alur film tidak terlalu kompleks. Hanya ada satu alur dan lini masa yang berjalan. Fokus penonton bisa dijaga sehingga akan mudah mencerna jalan cerita. Tidak banyak juga flashback atau narasi sampingan untuk menjustifikasi cerita (ahem, Martha) atau membangun karkater. Dengan terungkapnya misteri The Riddler, satu demi satu pembentuk karakter Bruce Wayne/Batman, Selina Kyle, mulai muncul alamiah.
Membumikan Batman
Nuansa The Batman ini memang betul-betul membumikan Batman. Lawan-lawannya adalah villain manusia biasa. Selain psikopat dalam The Riddler, jejaring mafia Carmine Falcone dan Penguin juga menjadi lawan "manusiawi" yang dihadapi Batman. Setidaknya untuk di instalasi pertama ini. Ini mengembalikan memori juga dalam satu-satunya "penjahat manusiawi" yang ada dalam trilogi Batman Christoper Nolan, yaitu The Dark Knight (2008).
The Dark Knight yang merupakan instalasi kedua baru menunjukkan flirting film superhero ke genre thriller. Tetapi di dua film lainnya, film Batman-nya Nolan kembali ke koridor film superhero.
Dalam The Batman, Reeves langsung mengambil pendekatan yang mungkin akan menentukan setting serta tone Batman berikutnya. Versi Batman yang membumi, gelap, dan murung. Angle ini mungkin sedikit kurang populer dari sisi komersial (bersaing dengan jagad Marvel), tetapi lebih baik dalam menawarkan alternatif konsep film pahlawan super yang berbeda.
Tolok ukur yang bisa dilihat salah satunya adalah penerimaan publik ke sosok Bruce Wayne ala Robert Pattinson. Berbeda dibanding sebelumnya, tetapi lebih masuk akal mengapa ia sampai bertopeng dan berjubah untuk berpeluh memberantas penjahat. Sama halnya dengan soundtrack-nya yang berwujud lagu paling murung dari Nirvana, "Something in the Way".
DC seharusnya bisa menemukan pola yang lebih otentik dalam karakter franchise-nya, tanpa terlalu berambisi untuk menyaingi MCU. Dari sisi komersial, bolehlah The Batman inipun (rasanya) tidak akan bisa menyaingi Spider-Man: No Way Home. Tetapi dalam aspek apresiasi, instalasi Batman ini bisa mempunyai nilai tawar dan pasar yang berbeda pula dari Marvel.
Just be consistent with it, sebagaimana konsistensi mood dan alur di sepanjang The Batman ini.
Posting Komentar