Privilese Koran Menimbang Narasi, Menampilkan Foto, dan Menuai Komentar
Merasa tidak fair karena berita di koran dan fotonya tidak nyambung?
Dulu saya sering komplain ke Redaksi, kalau baca berita olahraga di koran, artikelnya membahas klub apa, yang muncul di foto klub apa.
"Kok fotonya AC Milan tapi di artikel cuman tiga paragraf, mas?" protes saya. "Malah lebih banyak ngomongin Juventus!"
Saat itu konteksnya adalah tentang kiprah wakil Italia di ajang Liga Champions Eropa. Hampir 80% artikel lebih membahas mengenai pertandingan Juventus, lengkap dengan komentar pascagim. Sedangkan Milan hanya menerangkan hasil tanpa kutipan. Tetapi fotonya mengenai laga yang dijalani Rossoneri.
Di koran, dengan lahan yang terbatas, satu kavling berita memang mau tidak mau jadi penggabungan beberapa berita dengan topik yang sama. Berbeda dengan media digital yang bisa memberi porsi masing-masing berita ke dalam artikel. Bahkan kerap antara laporan laga dan komentar pascagim dipisah. Di digital tidak ada "space-constrains".
Bertumpuknya beberapa topik dalam satu berita kemudian berusaha dimoderasi oleh editor. Idealnya, tentu saja, masing-masing topik mendapatkan jatah yang sama. Akan tetapi, faktor "newsworthiness", dan yang lebih penting lagi, naratif yang disusun kadang tidak memungkinkan pembagian fair.
Sebagai penulis (amatir), saya merasakan sendiri susahnya membagi topik dalam satu bodi tulisan. Ketika penulis masuk ke dalam zona mengalir bercerita - biasanya ketika masuk ke topik yang disuka - ia mampu menuangkannya ke dalam alinea-alinea. Sehingga, ketika sadar (seringnya bahkan tidak sadar), porsi untuk topik lain menjadi makin terbatas.
Apalagi ketika menulis untuk media cetak seperti koran. Jumlah karakter bin spasi sudah dipatok harga mati, kalau tidak ingin adu omel dengan editor foto dan tukang layout. Sebagai mantan tukang layout, saya paham dinamikanya. Paling sebal kalau ketemu penulis yang in-the-zone.
"Bikin berita apa nulis novel, sih?"
Nah, untuk mengompensasi topik lain yang belum terbahas tuntas, editor biasa menambahkan foto lain sebagai penguat. Jadi, dalam satu kavling berita, secara tulisan mungkin berita Juventus 80% mendominasi narasi. Tetapi secara ruang layout, dengan adanya foto AC Milan di sana, porsinya jadi 50-50.
Bahkan, seringnya, yang ada fotonya malah dianggap lebih penting. Terutama di era visual seperti saat ini. Maka tak heran reaksi spontan saya di atas muncul. Sepertinya itu juga yang akan muncul dari kebanyakan orang.
Juventino mungkin meradang juga, merasa klubnya sudah dibahas banyak tetapi tidak diberi foto. Memang susah menyenangkan semua orang.
Memang, ada privilese mengetahui dapur produksi yang membuat saya bisa mengerti duduk perkaranya. Tetapi, sependek pengalaman saya, hal seperti itu kerap terjadi di banyak berita koran.
Keluhan dari narasumber yang diwawancara berjam-jam lalu hanya muncul dua paragraf?
Sering.
Keluhan lain dari tukang layout, minta penulis memangkas tulisan supaya fotonya tetap bisa termuat dengan rasio ideal. Penulis kemudian memangkas, tanpa sengaja ada bagian penting yang mencabut konteks ikut terpenggal. Seperti ini kejadian juga?
Sering.
Tetapi percayalah. Urusan menyusun berita di koran itu bukan rocket science. Kendalanya manusiawi, yaitu mengakomodasi pesan penulis, persepsi estetika editor foto serta tukang layout ke dalam ruang yang terbatas. Bila kemudian ada lengah, entah itu typo atau mungkin judul yang oversensitif, kadang-kadang hal seperti itu memang terjadi.
Hukum koran cetak adalah ketika tercetak, tidak mungkin ditarik kembali. Tak perlu jejak digital, ketika sudah dicetak ya permanen. Makanya, di koran lebih sulit membingkai-bingkai peristiwa lantaran tidak ada privilese banyak ruang.
Lagipula, setelah kenal betul, saya juga belakangan tahu bahwa yang melayout di koran tempat saya bekerja itu semuanya kalau nggak penggemar Liverpool ya Man United. Kalaupun ada tukang layout atau wartawan yunior klubnya tidak jauh dari Man City atau Chelsea.
Jadi tidak ada yang peduli dengan agenda setting atau membingkai klub sepakbola Liga Italia. Dinosaurus seperti saya saja yang menggugat lahan untuk Milan harus lebih superior dibanding Juventus.
Jadi begitulah. Di Sabtu nan lega ini, Anda tahu pasti, saya mendedikasikan waktu membuat tulisan ini agar AC Milan dan Juventus bisa viral lagi. Sehingga suporter Milan akan membanjiri boks komentar, atau cancel culture dengan memberi rating satu bintang di penyedia aplikasi.
Semua gara-gara koran.
2 komentar
Kemarin sempat lihat yang ramai-ramai di Twitter karena persoalan foto dan judul. Saya sih cuma menyimak saja karena malas ikut debatnya. Lebih menarik debat apakah Messias layak jadi starter atau tidak. Tapi, debat sama siapa? 😂
Kalau Pioli mau twist sisi kanan lebih oke sih, misalnya Brahim ditaruh di situ, atau Yacine Adli sempat dicoba juga.
Posting Komentar