Suar Industri Sinema dalam Film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film
Menonton "Jatuh Cinta Seperti di Film-Film" mengingatkan lagi memori sekitar awal 2000-an, mengenai jalur apa yang mesti diambil sinema Indonesia agar bisa bersaing dan punya unique selling point?
Pada masa itu, dunia perfilman mulai bergairah lantaran beberapa sinema lokal bisa unjuk gigi secara komersial. Dua film, Ada Apa Dengan Cinta? dan Jelangkung membuka percakapan film lokal yang relevan terhadap penonton umum, tanpa harus terjebak pada stigma dan selera pasar.
Sebelumnya, dekade 1990-an adalah stagnasi sinema Indonesia dengan merajanya siaran televisi dengan sinetronnya, serta film bioskop yang begitu-begitu saja (tidak jauh dari sensualitas Sally Marcelina dkk). Di akhir 1990-an, sejumlah sineas muda mulai membuat gerakan pembaruan, antara lain dengan film Kuldesak.
Film yang disutradarai 4 sutradara muda (Riri Riza, Mira Lesmana, Nan T Achnas, dan Rizal Mantovani) itu mengikuti apa yang dilakukan Quentin Tarantino, Robert Rodriguez, dan dua sutradara lain ketika membuat "collective portfolio", dalam wujud film 4 Rooms, guna menunjukkan jalur mereka yang berbeda dari sutradara di industri.
Dari Kuldesak, Riri Riza dan Mira Lesmana menghasilkan AADC. Sedangkan Rizal Mantovani membuat Jelangkung. Nan T Achnas juga menghasilkan Pasir Berbisik pada era tak jauh dari kedua film pembaru tersebut. Konteksnya, kiblat sinema Amerika mulai mendapat saingan dari sinema Asia, khususnya Korea dan Thailand pada saat itu.
Kronik Seperti di Film-Film
Sinema Korea mulai menggeliat dengan rilisan sejumlah sinema dengan karakter yang kurang lebih mirip. Film seperti Il Mare, Ditto, memberi gambaran bahwa arah sinema Korea saat itu ada pada film-film bergenre drama dengan naskah yang kompleks. Sinema-sinema tersebut mengawali penjelajahan atas kedalaman cerita dan akting dari film Korea yang di kemudian hari menghasilkan Oldboy hingga Parasite.
Sedangkan Thailand mantap menatap dengan produksi film horor mereka. Pada masanya, film seperti Shutter sangat menginspirasi sejumlah sinema lokal, yang lucunya, turut dibantu dengan kisah sukses Jelangkung.
Sinema Indonesia sejak saat itu mulai berkembang pesat. Produksi film per-tahun mengalami peningkatan, pasar mulai tercipta. Namun, dilemanya kemudian juga membuka ke gelombang film-film "turunan" dari dua genre yang diwakili AADC dan Jelangkung. Kalau tidak drama romantis ya horor.
Dari genre tersebut, sampai sekarang katalog film Indonesia bisa diklasifikasi. Dengan tambahan baru, mungkin, yaitu sisi komedi. Membaca selera, tiga hal yaitu drama, komedi, dan horor menjadi kata kunci yang senantiasa dieksploitasi dan diperah habis-habisan oleh rumah produksi dan produser.
Beberapa genre lain mencoba masuk, seperti epik, sejarah, atau fantasi yang sayangnya belum mampu mencatat kesuksesan secara komersial yang melahirkan gelombang pengekor seperti halnya drama (komedi) dan horor tadi. Untuk urusan sinema yang membutuhkan produksi detail dan canggih seperti itu, sepertinya memang Hollywood masih sulit dikalahkan.
Eksplorasi Seperti di Film-Film
Lalu, seperti apa seharusnya eksplorasi sinema Indonesia? Eksplorasi atas tiga genre yang terbukti terserap pasar di atas bisa dijadikan pedoman. Sineas bisa lebih kreatif mengeksplorasi naskah, penyajian kreatif, atau superioritas akting yang secara obyektif bisa bersaing di level Asia.
Film seperti Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (JCSF) adalah salah satu bentuk eksplorasi yang saya tunggu untuk hadir di khasanah sinema Indonesia. Film ini mengeksplorasi kreatif sisi pembuatan film dengan menyisipkan kisah drama komedi romantis dengan sangat baik
Lewat JCSF, penonton bisa mendapatkan edukasi juga mengenai dunia perfilman. Bagaimana struktur cerita dalam film drama komedi, struggle sineas melawan produser, dan seterusnya. Filmnya mengingatkan pada film Adaptation yang dibintangi Nicholas Cage dulu, tetapi JCSF jauh lebih mudah dipahami.
Secara eksekusi, film seperti ini tampak "mudah" dibuat karena tidak ada hal-hal yang rumit dari sisi teknis (seperti efek, busana, bahkan dialog). Semua ditampilkan dengan wajar, bahkan ketika ada celah untuk mengkritik ketika dialog mulai terasa terlalu "naskah", film ini menyiapkan jawabannya.
JCSF berkisah mengenai penulis naskah film yang hendak membuat sinema bergenre drama dari pengalaman atau obsesi pribadinya akan sosok wanita yang ditaksirnya sejak remaja. Temanya sangat membumi, dan si penulis naskah coba membuat "love letter" melalui film, seraya berharap ketika jadi nanti si pujaan bisa menonton dan mengetahui maksudnya.
Referensi Seperti dalam Film-Film
Dari latarnya, penulis sekaligus sutradara Yandy Laurens seperti menuliskan berbagai kisah-kisah "insider_ di industri film. Misalnya kiat membuat naskah film drama, "curhat" mengenai profesi penulis naskah melawan para produser, lalu bagaimana kiprah mereka ketika didapuk juga sebagai sutradara.
Filmnya mengalun linear, dan mudah dinikmati meski dalam konsep hitam putih. Pada akhirnya kita akan mengerti kenapa filmnya dibuat demikian. Bagi saya, film ini sungguh kreatif meski dieksekusi cukup sederhana dan bersahaja. Hal seperti ini justru, menurut saya, adalah kekuatan film Indonesia yang (seharusnya) bisa dieksplorasi. Khususnya dari genre drama.
Aspek akting, dialog, hingga teknis seperti sinematografi tetap berhasil dieksekusi. Biasanya hal ini tidak berimbang pada umumnya film-film drama. Ketika berhasil di aspek teknis, sutradara film Indonesia cenderung tergoda untuk meneruskannya ke ranah arthouse (film Wregas Bhanuteja atau Teddy Soeriaatmadja). JCSF bisa tetap berimbang di ranah komersial.
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film menyimpan banyak easter egg yang berteriak: "Referensi!". Banyak subtle joke yang muncul, dan beberapa di antaranya throwback ke masa-masa sinema Indonesia bergeliat yang saya tulis di atas. Riri Riza dan Mira Lesmana masih disebut. Kemudian film horor yang laku juga masih menjadi punchline komedik. Serta tentunya transisi drama dari merajanya siaran televisi yang melahirkan gelombang penulis naskah pada masanya, yang alumni sinetron dan FTV.
Film ini mencoba mengkritik hal tersebut dengan sangat subtil, dan mendidik dengan cara yang enak ditonton. JCSF sangat bisa diajukan sebagai salah satu suar sinema Indonesia yang bisa dijadikan pengingat mengenai industri sinema di Indonesia. Kita bisa memahami bagaiman industri ini bekerja lewat gambaran dari "insider", sembari tetap menikmati suguhan akting Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir.
Posting Komentar