Konser Green Day, Redemsi yang Mengisi Memori




Konser Green Day di Jakarta, Sabtu (15/2) lalu membuka banyak catatan bagi diri saya. Hajatan tersebut menjadi redemsi bagi saya atas ikhtiar yang tertunda setengah dekade.

Sekitaran hari ini, lima tahun silam, saya sedang sering membuka akun twitter dan email. Kabar yang ditunggu adalah kepastian mengenai konser band rock asal Amerika Serikat, Green Day, di Singapura.

Green Day, saat itu, dijadwalkan pentas di negara jiran tanggal 8 Maret 2020. Saya sudah mengantongi tiket konser, pesawat, dan pesanan hotel untuk menonton Billie Joe Armstrong, Mike Drint, dan Tre Cool. Di minggu kedua Februari, pasien terindikasi korona sudah dikabarkan ada di Depok, Jawa Barat.

Hari-hari berikutnya, peringatan yang berkembang menjadi pembatalan dan larangan mulai muncul. Hingga akhirnya munculah pembatasan perjalanan dan isolasi-isolasi yang berujung pada batalnya konser Green Day pada saat itu.

Pesanan hotel dan pesawat dapat dibatalkan karena kejadian luar biasa. Untuk tiket konser, pihak penyelenggara menawarkan opsi refund atau reschedule. Saya, pada saat itu, tidak berpikir wabah korona akan lama. "Mungkin Oktober atau November, Green Day akan kembali," pikir saya.

Tentu saja, wabah berjalan tahunan. Opsi reschedule baru muncul pada 2022, ketika ajang balap mobil Formula 1 mulai diadakan lagi di Singapura. Green Day dijadwalkan sebagai penampil utama di hari balapan. Saya dapat email bila tiket konser 2020 bisa dipakai untuk menonton di arena Formula 1.

Mencentang Lima Tahun Berselang

Dengan ruwetnya perjalanan yang belum sepenuhnya lepas dari pandemi, saya memutuskan untuk tidak pergi. Mengubur mimpi untuk mencentang senarai penampil yang ingin dilihat mumpung masih hidup. Green Day adalah salah satu dari sekian daftar di akhir yang belum saya turuti. Hingga akhirnya, baru dapat kesempatan lima tahun berselang dari seharusnya saya memenuhi hajat menonton konser mereka.

Tanggal 15 Februari 2025, saya menonton Green Day di Pantai Karnaval, Ancol, Jakarta. Saya tidak sendiri melakukan redemsi. Dari puluhan ribu penonton (sekitar 10.000 lebih dalam takairan saya), mungkin ribuan juga yang hajat tertunda dari Singapura separuh dekade sebelumnya. Sebagian lagi, mungkin menjadi hajat kedua menonton Green Day di Indonesia.

Ini adalah kedua kali unit punk rock asal California, Amerika Serikat ini menggelar konser di Jakarta. Tahun 1996, Green Day pernah naik panggung di sini. Ketika itu, mereka masih merupakan band yang sedang naik daun berkat album Dookie (1994). Saya masih SMP pada saat itu, tinggal kota yang berjarak 500 KM lebih dari Jakarta.

Konser di 2025 mulai sesuai jadwal. Tanpa menunggu banyak penonton yang masih berjuang masuk menerjang kemacetan Ancol, jam 19:50 tepat lagu Bohemian Rhapsody milik Queen mulai dilantamkan. Lagu yang memicu karaoke masal ini jadi penanda konser akan segera dimulai.

Drunk Bunny, kelinci yang menjadi maskot Green Day masuk usai "anywhere the wind blows" dibisikkan Freddie Mercury. Kali ini giliran Blitzkrieg Bop punya The Ramones yang menjadi alat engagement Drunk Bunny dan penonton. Teriakan "hey ho let's go" terdengar kedua kalinya di arena. Beberapa saat sebelumnya, band pembuka Rebellion Rose "mencuri" spot lagu ini di sela repertoir mereka.

Segmen Dookie, Segmen Memori

Billie Joe Armstrong, Tre Cool, Mike Drint, dan musisi pendukungnya (Jason White, Jason Freese, dan Kevin Preston) masuk ke panggung sekitar jam 8 tepat. Lagu dari album baru, The Saviors (yang menjadi tajuk tur ini), "American Dreams is Killing Me" membuka gelaran konser. Tetapi yang paling ditunggu adalah rangkaian lagu berikutnya. Lima lagu dari album Dookie menjadi sesi pembuka yang disambut dengan meriah. Mayoritas penonton sudah pasti hafal dengan lagu-lagu seperti Welcome to Paradise, Basket Case, dan When I Come Around.

Memori paling lekat dengan album Dookie adalah kawan-kawan SMP saya membawakan lagu "Basket Case" dan "When I Come Around" di panggung sekolah. Serta, suatu ketika di rumah kami, saya tengah menonton Green Day di layar televisi ketika ada tamu yang berkunjung ke rumah tiba-tiba berkomentar melihat Billie Joe dengan kemeja hitam dan dasi merahnya memainkan gitar.

"Lihat deh," kata tamu tersebut. "Itu main gitar seperti sedang gatal."

Ia mengomentari gaya strumming BJ. Saya, tak memedulikan ucapannya, melihat dengan kagum ke layar kaca. Green Day adalah band yang mengiringi saya tumbuh. Oleh karena itu, ia masuk ke dalam senarai musisi yang mesti saya tonton sebelum bubar atau meninggal. Redemsi yang mesti saya tunggu 24 tahun, kemudian diperpanjang jadi 29 tahun.

Billie Joe kini, di depan mata saya, pada konser di 2025 ini, seperti tidak beranjak dari Billie Joe yang menggaruk gitar. Vokal dan pelototan matanya membawakan lagu-lagu Dookie masih lebih bagus daripada kawan-kawan SMP saya meski di usia kepala lima. Mendengarnya, membawa kembali seperti menatap layar kaca. "Gila, seperti versi kaset," kata orang di sebelah saya. Damn right he is.

Lapis Kedua Menggemari

Ketika kuliah, saya jarang mendengarkan Green Day. Sampai sekitaran hari ini, mungkin tahun 2002, saya mendapat hadiah ulang tahun berupa kaset International Superhits. Kompilasi lagu-lagu terbaik Green Day pada saat itu. Kilas balik, bulan Februari ternyata banyak simpul takdir antara saya dan band yang sudah merilis album dari tahun 1990 ini.

Dari kaset kompilasi tersebut, saya catch up dengan beberapa hits asal album paska Dookie. Tersebutlah Insomniac dan Nimrod paling tidak. Tetapi, sampai sekarang, saya tidak berani menyebut diri sebagai penggemar Green Day. Kasual saja, kalau istilah kiwarinya. Saya masih kadang menulis Billy Joe, alih-alih Billie Joe. Derajat dosa ini seperti cengiran saya ketika melihat orang yang menulis Eddy Vedder.

Bicara mengenai Vedder dan bandnya, Pearl Jam, rupanya kembali membawa saya ke Green Day. Tahun 2004, Pearl Jam bersama Green Day termasuk dua unit terkemuka yang bergerak melawan administrasi Presiden George W Bush. Green Day mengeluarkan album berjudul American Idiot pada tahun itu, yang bermuatan satir dan sarkas terhadap gejolak politik. Aspek itu melirik minat saya.

Ketika mendengar albumnya, saya cukup kaget. Dulu, asumsi saya, Green Day seperti unitnya, membawa lagu-lagi sederhana. Lagu tiga kord yang tak rumit. Lagu yang bisa membuat anak SMP mengangkat gitar dan berani naik pentas.

Namun, di American Idiot, Green Day bagai band rock progresif yang membawakan album konsep. Mereka sangat mengingatkan saya ke band The Who dan album-album operanya. Band ini tidak lagi sederhana. Hanya anak-anak yang musiknya mapan bisa membawakan serta mungkin mengapresiasi Green Day di era ini.

Setlist Sandwich Generasi

Sesi kedua konser Green Day adalah membawakan lagu-lagu dari album American Idiot. Sebelumnya, usai sesi Dookie, mereka menyisipkan lagu-lagu dari album The Saviors dan album lainnya yang mendapatkan apresiasi dari lapis penonton yang berbeda. Ketika Know Your Enemy (21st Century Breakdown, 2009) memulai sesi interval, ada lapis penggemar yang antusias. Giliran Minority (Warning, 2000), lapis lain yang bergejolak.

Green Day menjaring penggemar-penggemar baru melalui American Idiot. Mereka menciptakan renaisans karier yang sangat langka di dunia musik. Hanya beberapa band yang bisa dan menciptakan seolah dua layer penggemar. Penggemar era Dookie dan terusannya, lalu penggemar era American Idiot dan terusannya. Lapis ini mempunyai demografi yang cenderung berbeda juga.

Milenial yang saat ini berusia 40 tahun lebih adalah (katakanlah) lapis Dookie. Sedangkan milenial yang kini masih berkepala tiga barangkali merupakan lapis American Idiot. Lapis unik seperti ini bisa terjadi pada band yang mengalami renaisans kedua seperti U2 (era Bad dan All That You Can't Leave Behind), Red Hot Chili Peppers (era Blood Sugar Sex Magik dan Californication), Santana, Aerosmith, dan segelintir lainnya.

Membagi konser menjadi dua set, dengan "interlude" berupa mix-era, adalah solusi traktiran adil bagi dua segmen penggemar. Lapis kedua melihat resital konser 1996 via sesi Dookie. Lapis pertama bisa melihat wibawa seorang Billie Joe dalam menguasai panggung di sesi American Idiot. Ia sangat menguasai bagian-bagian mana saja yang bisa memicu engagement penonton.

Demi apa sekelompok bapak-bapak membuat moshpit? Demi lagu American Idiot tentu yang membuka sesi kedua. Dinamika dua kelompok ini bisa dipantau pada percakapan-percakapan di platform milenial macam Threads. Namun, itulah yang membuat konser Green Day ini interaktif.

Kepalan tangan, teriakan "hey" di lagu Holiday menjadi spektakel yang enak ditonton siapa saja. Penonton kita juga membanggakan, karena tahu cue apa dan harus berbuat apa. Seperti serempak berteriak "1, 2, 3, 4..." di lagu St Jimmy.

Memori dari Interaksi

Memiliki tetenger album Dookie dan American Idiot memang pantas dirayakan. Kebetulan juga mereka terpisah tepat satu dekade, dan tahun lalu (2024) ketika konser Green Day di Indonesia diumumkan, keduanya memiliki usia "cantik". Dua dan tiga dekade. Usia yang membuktikan panjangnya kiprah Billie Joe dalam menyanyikan "She".

Lagu-lagu Green Day dengan tema sederhananya (rata-rata formula verse-bridge-chorus dan variasinya) tetap saja membius. Tanpa hafal lirik dan konteks, mendengar koor Wake Me Up When September Ends tetap membuat saya hampir menangis. Meratapi lirik: "Here comes the rain again, falling from the sky. Drenched in my pain again, becoming who we are."

Saya baru sadar di lagu tersebut, korona tak hanya merampok kesempatan (saat itu) bersua Tre Cool. Tapi setahun wabah, ia membawa juga Bapak saya. Kali ini tidak akan ada redemsi, tapi saya sepakat dengan yang didendangkan Billie di akhir konser.

So make the best of this test
and don't ask why.
It's not a question
but a lesson learned in time.

Airmata menetes, menyepikan dari dentum kembang api yang mengakhiri konser dua jam. Magi dan ironi sebuah konser adalah ketika mampu membuat kita tenggelam sepi di tengah riuh rendah sekitar tengah memberi aplaus kepada penampil.

Konser ini benar-benar menjadi redemsi. Andai tak tertunda, mungkin hanya suara kaset Billie cs yang akan saya sematkan. Apa yang kemudian terjadi selama penundaan itu yang kemudian berkelindan dengan kapsul waktu menjadi konteks yang memasukkan pengalaman ke dalam memori dan hati.

Damn!

Green Day Live at Pantai Karnaval
Jakarta, Indonesia
Sabtu, 15 Februari 2025

American Dream is Killing Me
Welcome to Paradise
Longview
Basket Case
She
Paper Lanterns
When I Come Around

Know Your Enemy
Forever Now
Dilemma
21 Guns
Minority
Brain Stew

American Idiot
Holiday
Boulevard of Broken Dreams
Are We The Waiting
St Jimmy
Give Me Novacaine
Letterbomb
Jesus of Suburbia

Bobby Sox
Good Riddance (Time of Your Life)

Related

Review Film A Star is Born

Film tentang artis yang memudar, bertemu dengan lawannya yang naik daun sudah berulang kali dipanggungkan. Kisah itu seperti curahan hati para pelaku dunia panggung mengenai siklus yang normal terj...

Kembalinya Media Cetak (Bagian Keempat - Akhir)

Bila majalah menampakkan tanda-tanda cerah di platform cetak, maka jalur yang ditempuh koran lebih berliku. Bisnis koran dibangun dengan intensi produk ini sebagai kendaraan informasi yang paling m...

Kembalinya Media Cetak (Bagian Ketiga)

Ketika digital jelas diuntungkan dengan skema distribusi, profit model-nya masih jadi misteri. Di balik segala kehebohan mengenai matinya media cetak, kebanyakan media digital ternyata masih m...

Posting Komentar Default Comments

Hot in WeekRecentComments

Recent

Konser Green Day, Redemsi yang Mengisi Memori

Konser Green Day di Jakarta, Sabtu (15/2) lalu membuka banyak catatan bagi diri saya. Hajatan tersebut menjadi redemsi bagi saya atas ikhtiar yang tertunda setengah dekade.Sekitaran hari ini, lima tah...

Konser Pearl Jam Nite XII, Energi dari Kolektivitas Penampilan

Lama tak dihelat, Pearl Jam Nite XII meluncur di Bandung. Event bertajuk Alive at The Star ini diadakan di (sesuai namanya) The Star, yang menyatu dengan Avery Hotel Bandung pada hari Sabtu, 9 Novembe...

Narasi Reaktif untuk Album Pearl Jam, Dark Matter

Terpaut 4 tahun dari album terakhirnya, Pearl Jam kembali dengan meluncurkan Dark Matter yang dirilis tengah malam WIB tadi (19 April 2024).Album sebelumnya, Gigaton (2020) memegang rekor sebagai albu...

Suar Industri Sinema dalam Film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

Menonton "Jatuh Cinta Seperti di Film-Film" mengingatkan lagi memori sekitar awal 2000-an, mengenai jalur apa yang mesti diambil sinema Indonesia agar bisa bersaing dan punya unique selling point?Pada...

Kedekatan Dune dan Konteks Dunia Nyata

Sebagai penonton yang lumayan paham dengan sejarah Islam dan sedikit dunia Arab, film Dune jadi bisa dinikmati lebih dalam.Ada yang belum menonton Dune? Saat ini seri keduanya tengah mengisi gedung pe...

Comments

Anonymous:

Katanya menjadi ustadz,ini kok pendeta?

Faizal jam:

selalu renyah membaca tulisan helman ini, bahasa luwes & ringan, sehingga ga bosen membacanya. cuma masukan aja, ada tradisi dari PJ nite 1 hingga ke-12, yaitu koor bareng antara vocalist & au...

papa4d:

Thanks on your marvelous posting! I seriously enjoyed reading it, you may be a great author

Anonymous:

"It seems silly, like, 'We cannot have real roulette however we will to} have this,' " Lockwood says. "But it is certified everywhere in the the} country as a slot machine, not ...

Anonymous:

In Germany and lots of|and lots of} other countries, the earnings from lotteries and betting swimming pools are used to subsidize newbie sports. Major League Soccer the highest soccer league within th...

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item